Di era teknologi digital, segala informasi bisa diterima dan dibaca, termasuk intoleransi yang merupakan bibit dari radikalisme. Untuk itu, usaha untuk mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila harus terus dilakukan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
Nama Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurachman menjadi pembicaraan publik setelah mencopot baliho bergambar pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Muhammad Rizieq Shihab pada 2020. Meskipun terlihat sederhana, pencopotan itu dinilai sebagai aksi nyata Dudung dalam melawan gerakan intoleransi.
Pencopotan baliho tersebut merupakan bentuk keresahan Dudung terhadap gerakan intoleransi yang berbahaya. Saat itu, Dudung masih menjabat sebagai Panglima Komando Daerah Militer Jaya/Jayakarta. Ia tidak ingin ada peluang sejengkal pun terhadap kelompok intoleran yang merongrong Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945.
“Empat Pilar Kebangsaan harus dipegang teguh,” tegas Dudung dalam peluncuran buku Dudung Abdurachman Membongkar Operasi Psikologi Gerakan Intoleransi di Jakarta, Sabtu (29/1/2022). Buku ini ditulis oleh Raylis Sumitra.
Dalam peluncuran tersebut, hadir sejumlah tokoh, di antaranya Rais Aam Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabaroh An Nahdliyyah Habib Luthfi bin Yahya, mantan Kepala Badan Intelijen Negara AM Hendropriyono, Kepala Staf TNI AL (KSAL) Laksamana Yudo Margono, Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Fadjar Prasetyo, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Teten Masduki, Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri Rycko Amelza Dahniel, Tenaga Profesional Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Ninik Rahayu, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Effendi Simbolon, ahli komunikasi Universitas Indonesia Puspitasari, serta ahli teknologi informasi Tyovan Ari Widagdo.
Dudung menegaskan, komitmen pada Merah Putih tidak boleh ditawar lagi. Kebinekaan harus dijaga sehingga tidak ada tempat untuk gerakan intoleran. Ia juga menyoroti tindakan kelompok kriminal bersenjata di Papua yang kembali menyerang aparat keamanan pada 27 Januari lalu. Dalam serangan itu, tiga prajurit TNI AD gugur.
Ia mengingatkan, gerakan intoleran dan radikalisme berkembang dalam hitungan menit. Karena itu, seluruh elemen harus diwaspadai. TNI AD harus tahu dimana kegiatan mereka dan apa yang mereka lakukan. Jangan biarkan gerakan ini semakin pesat berkembang. Dudung tidak akan segan untuk menindak tegas.
Media sosial pun, menurut dia, harus diawasi. Sebab, dengan rekayasa pesan, gerakan intoleran membuat operasi psikologi dengan motif terselubung. Karena itu, anggota TNI saat ini dituntut tidak hanya memiliki kekuatan fisik, tetapi juga harus mampu mengatasi perang siber.
Teten Masduki, yang pernah menjadi Kepala Staf Kepresidenan, mengatakan, penurunan baliho yang terlihat sederhana mampu mengubah keadaan politik karena gerakan intoleran ini merupakan akumulasi panjang. Keberanian Dudung dalam menurunkan baliho tersebut telah mendapatkan dukungan dari kepolisian, menteri agama, dan organisasi keagamaan dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ninik Rahayu, yang merupakan mantan anggota Ombudsman RI, pun mengapresiasi keberanian Dudung dalam memberikan rasa aman kepada masyarakat meskipun tindakannya terlihat sederhana dalam menurunkan baliho. Keberanian itu telah mengembalikan citra TNI yang bisa memberikan rasa aman kepada masyarakat.
Namun tak cukup hanya itu, kemampuan menangkap pengaruh dari teknologi digital dalam memanipulasi pemahaman orang sangat dibutuhkan saat ini. Usaha untuk meletakkan ideologi Pancasila dalam bernegara harus terus dilakukan. Masyarakat harus terus diberi pemahaman dalam menjaga demokrasi.
Luthfi bin Yahya merasakan melenturnya nasionalisme dan kecintaan pada bangsa serta Tanah Air yang terjadi saat ini. Menurut dia, sejauh mana seseorang mencintai republik ini bergantung pada kecintaan kepada bangsanya. Keduanya tidak bisa dipisahkan.
Dengan kecintaan itu, maka mereka tidak akan mudah terpapar gerakan intoleransi. Kecintaan itu diwujudkan dengan perilaku, bukan hanya ucapan. Ia berharap, generasi mendatang tahu sejarah TNI dan Polri. Kepercayaan serta kebanggaan terhadap TNI dan Polri akan membuat mereka tidak mudah terpicu oleh berita bohong terhadap TNI dan Polri.
Ilustrasi
Perang siber
Kewaspadaan terhadap perang siber, diakui Hendropriyono, sangat relevan dengan situasi saat ini, termasuk perang adu domba yang terjadi di media sosial. Menurut dia, pemikiran Dudung dalam mewaspadai perang siber merupakan bentuk sebuah ketegasan dan keberanian. Dibutuhkan nyali yang besar untuk menunjukkan ketegasan itu.
Rycko Amelza Dahniel mengungkapkan, di era teknologi digital, segala informasi bisa diterima dan dibaca, termasuk intoleransi yang merupakan bibit dari radikalisme. Paham ini merasa paling benar dan menggunakan kekerasan. Paham ini membonceng agama dengan bungkus seolah-olah sebuah kebenaran.
“Paham radikalisme tidak bisa menerima perbedaan. Radikalisme tidak boleh ada di Indonesia, bahkan di dunia,” tegas Rycko.
Menurut Tyovan Ari Widagdo, teknologi menjadi pembawa pesan yang efektif. Apalagi, di dalam sosial media terdapat algoritma yang mampu menggambarkan profil seseorang dengan karakter tertentu.
Saat ini, kata Tyovan, dunia sudah masuk era metaverse atau ekosistem virtual. Metaverse bisa menciptakan sesuatu seperti mengumpulkan massa dengan cara profiling. Metaverse bisa mempengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu.
Puspitasari menuturkan, literasi menjadi berubah di dunia digitalisasi. Seseorang mudah terpancing melalui media sosial. Ironisnya, kelompok intoleran juga hadir di media sosial. Mereka meluncurkan teatrikal dan memancing kejutan dengan membawa unsur psikologis.
Sebagai contoh, mereka membawa kekecewaan ditilang untuk memosisikan TNI dan polisi sebagai penjahat. Kelompok intoleran itu membuat proses manipulasi dan membangun heroisme.
Menurut Puspitasari, aksi Dudung mencopot baliho merupakan sebuah perlawanan yang membuat kelompok intoleran menjadi malu. Sebab, sebelum aksi itu, terjadi pembiaran terhadap tindakan yang mereka lakukan. “Kelompok intoleran sudah saatnya dilawan,” ujarnya.