Perang Gagasan Menempa Pimpinan TNI AD Masa Depan
Seskoad, tempat para perwira TNI AD kembali mempertajam kemampuan kepemimpinannya dalam militer, mengedepankan budaya membaca, menulis, dan diskusi. Tugas-tugas bagi para siswanya pun menonjolkan analisis masalah.
Perang gagasan memanaskan suasana kelas Studi Kawasan di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad), Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis pagi, 23 September lalu. Mengesampingkan pangkat, senioritas, dan jabatan, para perwira siswa angkatan ke-61 tak ragu beradu argumen berdasarkan teori, analisis, dan pengalaman. Perdebatan akademis itu menjadi modal menempah pimpinan TNI di masa depan.
Pagi itu, perwira siswa (pasis) Letkol Caj Gaudensia Diana dan rekan-rekannya yang tergabung dalam kelompok 1 mendapat kesempatan perdana memaparkan peran TNI dalam mengelola perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan. Masalah batas wilayah dan perdagangan manusia menjadi isu utama.
Menurut kelompok yang masing-masing terdiri atas 22-23 orang ini, penyelesaian masalah perbatasan memerlukan kerja sama antarnegara yang saling menguntungkan. Mereka mengutip teori neorealisme yang memandang kerja sama internasional sebagai alat mencapai kepentingan nasional. Di ujung pemaparan, mereka menawarkan enam saran untuk mengatasi persoalan tersebut. Salah satunya membentuk gugus tugas pengawasan regional tingkat ASEAN.
Sesi pemaparan berakhir disambung dengan tanya jawab. Sejumlah pasis mengacungkan tangan. Mereka tak sekadar bertanya atau memberikan masukan terkait pembahasan, tetapi juga mendebat saran yang diajukan kelompok 1. Pasis Letkol Kav Fauzi Nurdin mengatakan, pembentukan satgas yang melibatkan ASEAN tidak diperlukan. Sebab, sudah ada komunikasi antara TNI dan Angkatan Tentara Malaysia (ATM) dalam menyelesaikan masalah batas wilayah. ”Jadi, disarankan agar dipertimbangkan hanya (pembentukan) satgas Indonesia-Malaysia untuk menghindari sensitivitas dengan negara lain,” ujarnya.
Tanggapan ini menghidupkan suasana kelas yang dalam sesi pemaparan hanya berlangsung satu arah. Anggota kelompok 1 menyangkal tanggapan itu dengan berbagai pertimbangan stabilitas kawasan. Gaudensia menuturkan, satgas tingkat ASEAN tetap dibutuhkan untuk melihat permasalahan lebih luas. Sebab, persoalan serupa berpotensi terjadi di antara negara lainnya.
Tak hanya memakai teori dan analisis, pasis juga menggunakan pengalaman mereka untuk menjawab pertanyaan. Cara ini sangat ampuh karena pengalaman tugas membuat pasis sangat memahami masalah di lapangan. Anggota kelompok 2, Mayor Ctp Bambang Dwinanto, misalnya, menceritakan pengalamannya saat bertugas mengunjungi patok perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan. Kisah itu menjadi ”senjata” untuk menjawab pertanyaan dari Mayor Inf Masdin Karmas terkait potensi pergeseran patok perbatasan yang dapat merugikan Indonesia.
Baca juga: Siapkan Para Komandan TNI untuk Hadapi Perang Modern
Bambang menyebutkan, patok perbatasan dapat bergeser, tetapi pemicu terbesarnya disebabkan faktor alam, seperti tergerus oleh arus sungai. Jadi, bukan kesengajaan dari negara tetangga yang berpotensi menyulut konflik. Kesimpulan itu ia peroleh dari penjelasan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) saat bertugas di Kalimantan. ”Patok mempunyai koordinat yang tidak berubah karena telah diukur melalui GPS (sistem pemosisi global) geodetik. Itu diukur antara patok Indonesia dan Malaysia,” jelasnya.
Tidak ada menang kalah dalam adu gagasan itu. Sebab, perdebatan tidak selalu melahirkan sintesis tunggal. Diskusi menambah wawasan pasis sekaligus menjadi ”gelanggang” mempertajam analisis dalam memecahkan masalah.
Dosen Seskoad, Kolonel Inf Singgih Pambudi Arinto, mengatakan, kegiatan akademis di lembaga pendidikan tertinggi TNI AD itu tidak jauh berbeda dengan perguruan tinggi. Dalam konteks forum ilmiah, saling membantah pendapat biasa terjadi.
Bukan hanya di antara pasis, melainkan juga bagi dosen dan pejabat Seskoad. Singgih mencontohkan, dalam orasi ilmiah reguler yang digelar setiap Rabu, para dosen diuji argumentasinya di hadapan dosen lainnya dan atasan.
Bukan hanya di antara pasis, melainkan juga bagi dosen dan pejabat Seskoad. Singgih mencontohkan, dalam orasi ilmiah reguler yang digelar setiap Rabu, para dosen diuji argumentasinya di hadapan dosen lainnya dan atasan. ”Kalau forum ilmiah, dengan direktur bintang satu (brigadir jenderal), kami akan berdebat. Hal ini biasa terjadi selama dalam nuansa akademis,” ujarnya.
Singgih mengatakan, akses informasi yang semakin luas membuat pasis Seskoad semakin kritis. Hal ini menjadi tantangan bagi dosen untuk memperkaya ilmu dan wawasan melalui berbagai sumber, seperti buku, jurnal, dan referensi lainnya. ”Pasis sekarang mempunyai literasi informasi lebih banyak dibandingkan saat kami (dosen) mengikuti pendidikan di Seskoad (2011). Dulu, saat istirahat, kami hanya ke perpustakaan untuk mencari bahan bacaan. Tetapi, sekarang, pasis bisa mendapatkan informasi lebih luas melalui gawai dari jaringan internet,” jelasnya.
Komandan Seskoad Mayor Jenderal Anton Nugroho mengatakan, lembaga tersebut mengedepankan budaya membaca, menulis, diskusi, dan komunikasi. Oleh sebab itu, tugas-tugas pasis selama enam bulan mengikuti masa pendidikan berbasis esai yang menonjolkan analisis masalah. Ada tiga tema besar yang dipelajar di Seskoad, yaitu lingkungan strategis, kepemimpinan militer, dan pertahanan matra darat. ”Tahun ini, kurikulum yang digunakan adalah yang tahun 2018,” kata Anton.
Di tengah pandemi Covid-19, pendidikan menggabungkan sistem tatap muka dan daring. Kurikulum disiapkan beradaptasi dengan perubahan potensi ancaman. Selain dibekali pemahaman menghadapi perang terbuka, pasis juga mempelajari perang proksi dan serangan siber. Pembekalan kompleks dan matang sangat krusial karena mereka akan mencapai puncak karier tertinggi di TNI dalam 15-20 tahun mendatang. ”Pasis itu ibaratnya bukan gelas kosong, melainkan sudah terisi separuh. Di Seskoad, mereka diharapkan bisa menyerap ilmu sampai tumpah-tumpah,” ujarnya.
Pelajaran teori di kelas dikombinasikan dengan geladi posko dan medan di lapangan. Tujuannya beragam, mulai dari melatih menyiapkan naskah latihan, membuat posko pertempuran, hingga menggerakkan pasukan. ”Sebagai pemimpin, mereka diharapkan mampu mengambil keputusan terbaik. Pasis disiapkan sebagai komandan staf perang karena fungsi utama TNI AD adalah pertempuran,” ucap Anton.
Tahun 2021 ini, Seskoad mendidik 450 dan 461 perwira siswa yang terbagi menjadi dua angkatan. Setiap angkatan menempuh pendidikan selama enam bulan. Hal ini sejalan dengan perintah Kepala Staf TNI AD Jenderal Andika Perkasa yang meminta agar seleksi masuk Seskoad diubah sehingga lebih banyak yang bisa belajar. Menurut dia, harus sebanyak mungkin perwira yang mendapat wawasan di Seskoad.
Untuk perang modern, para pasis mendapat 6 jam pelajaran tentang perang siber, tentunya tidak di tataran teknis.
Hal ini bukannya tidak meimbulkan diskusi, mengingat Seskoad sebelumnya sangat selektif dengan alasan akan mencetak calon pemimpin TNI AD dalam organisasi yang bentuknya piramida, yaitu semakin ke atas semakin sedikit orang yang berada dalam struktur. Hal lain yang perlu menjadi pertimbangan adalah lamanya waktu belajar untuk bisa menyerap semua hal yang dibutuhkan. ”Kami tengah mengadakan evaluasi dengan mengirim survei secara acak di satuan-satuan yang ketempatan pasis-pasis yang lulus di angkatan kemarin,” kata Singgih.
Para perwira siswa Angkatan 61 ini yang tertua masuk TNI tahun 1990, sementara yang termuda tahun 2005. Menarik melihat bahwa pengalaman operasi mereka berbeda-beda. Dibandingkan sebelum 1998 di mana operasi banyak terjadi di Timor Timur, pasca-1998 perwira TNI mengalami pengalaman bertempur di Aceh, Papua, dan berbagai penugasan di luar negeri. Anton mengakui, sulit untuk membangun intuisi tempur perwira.
Oleh karena itu, latihan diusahakan serealistis mungkin. Pengajar 80 persen terdiri atas perwira militer yang telah mengalami pengalaman sebagai komandan di berbagai wilayah. Untuk perang modern, para pasis mendapat 6 jam pelajaran tentang perang siber, tentunya tidak di tataran teknis. ”Ke depan, kami sedang bangun learning management system sehingga setiap siswa bisa pakai aplikasi ini yang lebih memudahkan dan terintegrasi,” kata Anton.
Baca juga: Moeldoko: TNI Mesti Jadi Tempat Rakyat Berlindung
Anton mengatakan, sesekali ada perwira siswa yang tidak lulus, misalnya karena pelanggaran. Buat yang nilai ujiannya di bawah standar, diberi kesempatan ikut ujian lagi. Para mayor dan letnan kolonel yang menjadi siswa ini bercanda di antara mereka tentang para peserta ”kelas lantai 3”. Pasalnya, para siswa yang mengulang akan dikumpulan bersama di Gedung Sudirman lantai 3 untuk ujian lagi. ”Jadi, kami tidak tahu siapa saja yang mengulang, sampai sama-sama berkumpul di kelas lantai tiga itu,” kata Pasis Mayor Adhy Irawan.
Adhy mengatakan, salah satu pelajaran adalah latihan perang atau olah yuda. Dalam latihan itu, pasis disimulasikan menjadi komandan brigade. Brigade itu melawan musuh yang kekuatannya sepertiga darinya. Dengan skenario itu, mereka belajar taktik, mengatur staf dan komando dalam latihan posko. Skenario yang klasik itu belum melibatkan perang-perang yang nonlinier yang melibatkan siber, perang informasi, ataupun perang biologis.