Kejaksaan Jelaskan soal Pidana Korupsi Rp 50 Juta Tak Dihukum
Setelah menuai kritik dari berbagai pihak, Kejagung menjelaskan terkait pernyataan Jaksa Agung bahwa pidana korupsi Rp 50 juta tak perlu dihukum. Pernyataan itu disebut sebagai imbauan untuk menjadi pemikiran bersama.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pernyataan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin bahwa tindak pidana korupsi di bawah Rp 50 juta diselesaikan dengan cara dikembalikan didasarkan pada analisis nilai ekonomi dalam menangani perkara tersebut. Bisa jadi biaya yang dikeluarkan negara untuk menangani perkara justru lebih besar dari nilai kerugian negara yang dikorupsi.
Hal itu disampaikan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak, melalui keterangan tertulis, Jumat (28/1/2022). Leonard mengatakan, pernyataan Jaksa Agung dalam rapat kerja (raker) dengan Komisi III DPR, Kamis (27/1), merupakan rangkaian jawaban atas pertanyaan anggota Komisi III DPR, Benny K Harman dan Supriansa, yang disampaikan dalam raker dengan Komisi III DPR pada Kamis.
Benny saat itu bertanya mengenai kasus korupsi dengan nilai di bawah Rp 1 juta yang masih diproses hukum. Adapun Supriansa menyampaikan kasus dana desa dengan nilai rendah yang harus masuk pengadilan.
Terkait dengan pernyataan Jaksa Agung mengenai tindak pidana korupsi dengan nilai kerugian di bawah Rp 50 juta diselesaikan dengan cara pengembalian kerugian negar, dianggap sebagai upaya pelaksanaan proses hukum secara cepat, sederhana, dan biaya ringan.
”Penjelasan di atas merupakan respons Bapak Jaksa Agung dan imbauan yang sifatnya umum untuk menjadi pemikiran bersama dan diperoleh solusi yang tepat dalam penindakan tindak pidana korupsi yang menyentuh, baik pelaku maupun masyarakat di level akar rumput, yang secara umum dilakukan karena ketidaktahuan atau tidak ada kesengajaan untuk menggarong uang negara dan nilai kerugian keuangan negaranya pun relatif kecil,” tutur Leonard.
Ia mencontohkan, seorang kepala desa yang tidak mengetahui pengelolaan keuangan negara harus mengelola dana desa sebesar Rp 1 miliar dan terjadi tindak pidana korupsi karena kesalahan yang bersifat administratif. Hal itu dinilai akan melukai keadilan masyarakat apabila dilakukan penindakan.
Contoh lainnya, tutur Leonard, seorang bendahara membuat nilai gaji lebih besar dari seharusnya. Hal yang seharusnya bersifat malaadministrasi tersebut dinilai akan melukai keadilan masyarakat jika ditindak dengan instrumen Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
”Oleh karena itu, Bapak Jaksa Agung RI mengimbau untuk dijadikan renungan bersama bahwa penegakan hukum tindak pidana korupsi pun harus mengutamakan nilai keadilan yang substantif, selain kemanfaatan hukum dan kepastian hukum,” kata Leonard.
Terkait dengan penyelesaian tindak pidana korupsi yang nilainya di bawah Rp 50 juta, menurut Leonard, perlu dipertimbangkan analisis nilai ekonomi dalam penanganan perkaranya. Sebab, bisa jadi biaya operasional penanganan perkara yang dikeluarkan oleh negara dalam menangani perkara tersebut lebih besar dari nilai kerugian negara.
Biaya operasional itu mencakup biaya makan, minum, dan sarana lainnya kepada terdakwa apabila dia diproses hukum sampai eksekusi. Dalam kerangka tersebut, analisis nilai ekonomi (cost and benefit) penanganan perkara tindak pidana korupsi juga penting untuk dipertimbangkan.
Tidak tepat
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhan, berpandangan, pernyataan Jaksa Agung tersebut menafikan kenyataan bahwa persoalan korupsi merupakan persoalan sistemik dan hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki jabatan atau wewenang. Dengan hanya mengembalikan uang hasil korupsi sehingga proses pidana tidak dilakukan dinilai sama saja menyamaratakan tindak pidana korupsi dengan tindak pidana umum.
”Sulit untuk mengatakan bahwa korupsi dengan jumlah puluhan juta adalah korupsi kecil karena biasanya korupsi itu diikuti dengan kejahatan lain,” kata Kurnia.
Dari perspektif hukum, lanjut Kurnia, pernyataan Jaksa Agung itu juga dinilai tidak didasarkan pada argumentasi hukum yang konkret. Sebab, dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana. Sampai saat ini, Pasal 4 tersebut masih berlaku dan tidak bisa disimpangi oleh regulasi setingkat peraturan Jaksa Agung.
Hal senada dikatakan pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, Abdul Fickar Hadjar. Fickar mengatakan, dalam tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi, jaksa hanya dapat menghentikan proses hukum ketika bukti perkara kurang.
”Namun, tidak bisa menghentikan perkara hanya karena pelaku membayar atau mengembalikan kerugian. Tidak bisa dilakukan seperti itu karena perbuatan pidananya sudah ada. Dalam korupsi, itu sudah diatur di Pasal 4 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor,” kata Fickar.