Perjanjian Indonesia dengan Singapura dipertanyakan keuntungannya bagi Indonesia. Perjanjian terkait ekstradisi dan pertahanan substansinya mengulangi perjanjian tahun 2007 yang sudah ditolak Indonesia.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perjanjian kerja sama RI dengan Singapura yang mencakup pengelolaan wilayah udara atau FIR, kerja sama pertahanan, dan perjanjian ekstradisi, dipertanyakan. Dua perjanjian yang terakhir tidak berubah substansinya dibandingkan dengan perjanjian yang ditolak Indonesia pada 2007. Sementara berbagai aspek rinci dalam perjanjian pengelolaan wilayah udara dinilai tak membuat kendali ada di Indonesia.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan, Rabu (26/1/2022), perjanjian ekstradisi sudah ditandatangani Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono sejak 2007. Substansinya pun dinilai sama dengan perjanjian yang diteken Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong di Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (25/1/2022). Saat itu, perjanjian ekstradisi itu tidak kunjung diratifikasi Indonesia karena Singapura ingin perjanjian ekstradisi tersebut dilekatkan dalam satu paket dengan perjanjian kerja sama pertahanan. Masalahnya, perjanjian kerja sama pertahanan itu banyak klausul yang merugikan Indonesia.
Terkait dengan FIR, Hikmahanto mengatakan, perjanjian antara Indonesia dan Singapura yang baru ditandatangani tidak membuat Indonesia mengendalikan FIR di atas Kepulauan Riau, sebagaimana diklaim pemerintah. Ia berharap perjanjian ini segera bisa diakses oleh publik. Akan tetapi, berdasarkan keterangan pihak Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, ada tiga alasan yang menunjukkan kalau FIR belum di bawah kendali Indonesia.
Pertama, di ketinggian 0-37,000 kaki di wilayah tertentu dari Indonesia akan didelegasikan ke otoritas penerbangan Singapura. Hal ini, menurut media Singapura, bisa membuat Bandara Changi, Singapura, tumbuh secara komersial dan menjamin keselamatan penerbangan.
Kedua, pendelegasian diberikan oleh Indonesia untuk jangka waktu 25 tahun. Jangka waktu ini juga masih bisa diperpanjang. ”Ini berarti Pemerintah Indonesia tidak melakukan persiapan serius untuk benar-benar mengambil alih FIR di atas Kepulauan Riau,” kata Hikmahanto.
Ia melihat, 25 tahun terlalu lama dan perpanjangan waktu tidak memberikan kepastian. Konsep FIR memang bertujuan untuk keselamatan penerbangan, tetapi pada kenyataannya Bandara Changi dapat mencetak keuntungan besar jika FIR di atas Kepulauan Riau masih dikendalikan oleh Singapura.
FIR atas ruang udara suatu negara yang tunduk pada kedaulatan negara bisa saja dikelola oleh negara lain. Hanya saja jika dikelola oleh negara lain menunjukkan ketidakmampuan negara tesebut dalam pengelolaan FIR yang tunduk pada kedaulatannya. Lalu, yang menjadi pertanyaan, kehormatan (dignity) Indonesia sebagai negara besar jika tidak mampu mengelola FIR di atas wilayah kedaulatannya dan menjamin keselamatan penerbangan berbagai pesawat udara.
Sementara itu, menurut Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia Chappy Hakim, merujuk pada pernyataan Presiden Joko Widodo di dalam forum penandatanganan dengan Singapura, sangat jelas bahwa ruang udara, yaitu FIR Jakarta, melingkupi seluruh wilayah udara teritorial Indonesia, terutama di sekitar Kepulauan Riau dan Natuna.
Chappy mengingatkan, wilayah udara kedaulatan adalah sumber daya alam (SDA) yang sesuai dengan konstitusi harus dikuasai negara dan diperuntukkan semaksimal mungkin untuk kesejahteraan rakyat.