Indonesia Ambil Alih Pelayanan Ruang Udara di Natuna
Penyesuaian layanan ruang udara penting bagi RI. FIR meneguhkan pengakuan internasional atas status Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif di ruang udara di atas wilayahnya.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia mencapai kesepakatan dengan Singapura terkait penyesuaian pelayanan ruang udara (FIR). Persetujuan penyesuaian FIR menurut rencana akan ditandatangani di depan Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong di Pulau Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (25/1/2022). Dalam kesempatan itu akan turut ditandatangani perjanjian kerja sama pertahanan (DCA) dan perjanjian ekstradisi di antara kedua negara.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Novie Riyanto dalam wawancara khusus dengan Kompas pada Jumat (21/1/2022) menyatakan, penyesuaian FIR itu berarti penting. Salah satunya meneguhkan pengakuan internasional atas status Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif di ruang udara di atas wilayahnya sesuai hukum internasional, terutama Konvensi Chicago 1944 dan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982. ”Melalui berbagai upaya dan negosiasi intensif dan berkesinambungan, Pemerintah Indonesia berhasil mencapai kesepakatan dengan Pemerintah Singapura terkait FIR,” kata Novie.
Secara terpisah, Sabtu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah mengonfirmasi rencana penandatanganan persetujuan penyesuaian FIR bersama perjanjian bilateral lain antara RI dan Singapura. Kepada Kompas, Faizasyah membenarkan adanya beberapa perjanjian bilateral yang diharapkan dapat ditandatangani pada pertemuan Presiden Joko Widodo-PM Lee Hsien Loong.
Penyesuaian FIR adalah capaian signifikan yang diraih Pemerintah RI setelah berbagai upaya negosiasi sejak tahun 1990-an. Menurut Novie, itu merupakan aktualisasi langkah konkret pemerintah dalam mewujudkan mandat nasional dan internasional. Mandat nasional tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Adapun mandat internasional tertuang dalam Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) Annex 11 Konvensi Chicago Tahun 1944 dan keputusan ICAO pada Pertemuan Ketiga Navigasi Penerbangan Kawasan Asia/Pasifik tahun 1993.
Sejak awal menjabat pada periode 2014-2019, Presiden sudah menyatakan tekad untuk mengambil alih atau menyesuaikan FIR itu. Lewat penyesuaian RI-Singapura, wilayah udara Kepulauan Riau dan Natuna yang sebelumnya FIR Singapura akan menjadi bagian dari FIR Jakarta. Indonesia memiliki dua wilayah FIR, yakni FIR Jakarta dan FIR Ujung Pandang/Makassar. ”Untuk mempercepat implementasi persetujuan ini, Pemerintah Indonesia secara intensif akan melakukan proses lanjut sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta ketentuan ICAO,” kata Novie.
Secara teknis, demi keselamatan penerbangan, persetujuan FIR mencakup hal khusus, yakni pemberian pelayanan navigasi penerbangan pada porsi ruang udara tertentu di sekitar Bandar Udara Changi dilakukan oleh Singapura. Hal itu untuk menghindari fragmentasi lalu lintas penerbangan pada saat keluar dan atau masuk Bandara Changi di Singapura. Evaluasi operasional akan dilakukan oleh Indonesia atas pemberian pelayanan navigasi penerbangan yang dilakukan Singapura guna memastikan kepatuhan terhadap ketentuan ICAO.
Kerja sama sipil militer dalam Manajemen Lalu Lintas Penerbangan (Civil Military Coordination in ATM/CMAC) antara kedua negara juga akan dilakukan. Hal itu termasuk penempatan personel Indonesia di Singapore ATC Centre sehingga otoritas Indonesia dapat menjalankan kedaulatannya di porsi ruang udara yang pelayanan navigasi penerbangannya dilakukan oleh Singapura. Novie mengungkapkan, kerja sama militer juga tercantum dalam DCA kedua negara. Ini memberi kesempatan Angkatan Udara Singapura menggelar latihan di ruang udara di wilayah yang disepakati.
Selain itu, ada pula konsekuensi terkait pengenaan biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan terhadap penerbangan pesawat udara sipil pada porsi ruang udara yang pelayanan navigasi penerbangannya dilakukan Singapura. Pemerintah Singapura wajib menagihkan biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan tersebut untuk selanjutnya diserahkan kepada Pemerintah Indonesia sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Merujuk pada sejarah, Konferensi Navigasi Udara ICAO di Dublin, Irlandia, pada 1946 menetapkan batas FIR Singapura sesuai dengan kondisi yang ada saat itu. ICAO memberikan tanggung jawab pemberian pelayanan navigasi penerbangan kepada Singapura tahun 1973. Hal itu didasarkan pada aturan Standar 2.1.2. Annex 11 Konvensi Chicago 1944 di mana ICAO memiliki kewenangan untuk memberikan tanggung jawab pemberian layanan navigasi penerbangan di ruang udara di atas laut bebas (high seas) kepada suatu negara. Pada masa itu ruang udara di atas Kepulauan Riau dan Natuna masih berstatus ruang udara di atas laut bebas.
Pemberlakuan UNCLOS 1982 berarti diakuinya rezim hukum negara kepulauan. Maka, ruang udara di sekitar Kepulauan Riau dan Natuna berubah status menjadi ruang udara kedaulatan di atas perairan Kepulauan Indonesia. Untuk itu, diperlukan penyesuaian kembali FIR di wilayah ini. Indonesia-Singapura telah menandatangani persetujuan batas FIR Singapura dan Jakarta. Namun, persetujuan tersebut belum dapat diberlakukan karena belum disahkan oleh ICAO. (RYO)