Ketika Panggung Politik dipenuhi ”Ariel Noah Wanna Be”
Konten memarodikan video yang sedang viral kini digandrungi sebagian politisi. Tak hanya ikut tren, tetapi konten itu terbukti berhasil menarik perhatian warga jagat maya. Apakah ini bisa genjot popularitas?
Kita biasa melihat politisi berdebat mengenai berbagai isu yang kadang tidak dimengerti masyarakat. Agenda yang melibatkan mereka pun umumnya berlangsung formal dan serius. Namun, sebulan terakhir, sebagian politisi berlomba-lomba tampil memarodikan video musik populer dan mengikuti gaya anggota grup band. Menarik perhatian ribuan warga jagat maya, salah satu cara menggenjot popularitas.
Menutup tahun 2021, jagat maya heboh dengan kembalinya video musik lawas grup band Noah yang sebelumnya bernama Peterpan. Kelompok musik asal Bandung, Jawa Barat, itu mengemas kembali klip lagu ”Yang Terdalam” yang dirilis pada dekade awal 2000-an. Jika video yang terdahulu menampilkan sang vokalis, Nazriel ”Ariel” Irham sebagai pemeran utama, di video yang terbaru pemeran utama klip digantikan oleh Iqbaal Ramadhan, aktor dan mantan penyanyi cilik yang kini menjadi ikon bagi Generasi Z. Video musik itu diedarkan di kanal Youtube.
Sama dengan video klip terdahulu, video terbaru ”Yang Terdalam” kembali menuai kesuksesan. Gaya menyusuri jalan seperti yang dilakukan Ariel dan juga Iqbaal dengan latar lagu ”Yang Terdalam”, pun diparodikan warganet dari berbagai kalangan dalam bentuk video klip versi mereka masing-masing.
Parodi itu biasanya dibumbui aneka gurauan. ”Lagu Noah Yang Terdalam jangan di-play terus. Kasihan Iqbal jalan kaki udah sampe Kulon Progo (Yogyakarta),” tutur akun Twitter @fermendkis akhir Desember 2021 yang juga mengunggah video versi pribadinya.
Tak terkecuali, sejumlah politisi yang belakangan namanya selalu muncul sebagai calon presiden 2024 pilihan publik hasil berbagai survei, juga larut dalam euforia ”Yang Terdalam”. Sebut saja Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo melalui akun TikTok @ganjarpranowoofc, mengunggah video tengah berjalan keluar dari sebuah ruangan di kantor Gubernur Jawa Tengah menuju ke ruangan lain. Di dalam video itu, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) ini mengenakan masker merah-putih sehingga hanya terlihat mata dan dahinya. Sekilas ekspresi wajahnya terlihat datar. Pada bagian keterangan, ia menuliskan, ”nemenin jalan sampe kulonprogo.”
Hingga Sabtu (22/1/2022), video Ganjar disukai lebih dari 190.000 akun pengguna TikTok dan mendapatkan 7.084 komentar. Salah satunya dari akun @jennieblackpanther, ”Iqbal jalan bertahun tahun sampe jadi Gubernur.” Adapun akun @kuntringbakulcenil menulis, ”Pak Ganjar, aku mendukungmu jadi Presiden.”
Menyusul Ganjar, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir melakukan hal serupa. Di akun Instagram @erickthohir, ia mengunggah video ”Yang Terdalam” berdurasi 15 detik. Pada video itu, Erick mengenakan setelan serba hitam berjalan menyusuri sebuah area parkir. ”Ganteng, kan, ganteng saya, kan,” ucap seseorang di dalam video tersebut.
Baca juga: Citra Politik Dibalut Konten
Banjir komentar
Sebanyak 213.000 akun menyukai video unggahan Erick. Lebih dari 5.000 komentar membanjiri video tersebut. Salah satunya dari akun grup band Noah @noah_site, ”Bah segan pak @erickthohir ! Cocok pak jadi model video klip. Terima kasih pak apresiasinya.”
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil di akun Instagram @ridwankamil juga mengunggah video berdurasi satu menit berjudul ”Yang Terjail”. Dalam video, pria yang akrab disapa Kang Emil itu mengenakan kemeja putih berdasi hitam yang ditimpa dengan jaket coklat, berjalan menyusuri Jalan Braga, Bandung, sambil menjahili warga sekitar. Dengan wajah penuh canda, ia mencopet dompet warga, hingga mengambil anak kecil dari gendongan ibunya.
”Disclaimer: jail jangan ditiru. Sudah minta izin kepada para korban,” tulis Kang Emil dalam keterangan unggahannya. Ia pun mendoakan agar Noah, grup band yang berasal dari Bandung, Jawa Barat, semakin disukai masyarakat. Ia juga menyatakan, 1.000 persen mendukung karya ekonomi kreatif warganya.
Terbaru, Wakil Ketua Umum Gerindra Habiburokhman mengunggah video ”Yang Terdalam” dengan aktivitas pembagian bantuan sosial kepada warga di daerah pemilihannya (dapil).
Euforia ini juga mendera politisi lain, seperti Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan; Sekretaris Jenderal Gerindra Ahmad Muzani; Wali Kota Medan, Sumatera Utara, Bobby Nasution; dan Wali Kota Serang, Banten, Syafruddin.
Terbaru, Wakil Ketua Umum Gerindra Habiburokhman mengunggah video ”Yang Terdalam” dengan aktivitas pembagian bantuan sosial kepada warga di daerah pemilihannya (dapil). Menurutnya, video itu untuk menjawab tantangan dari para remaja yang ada di dapilnya untuk menampilkan sisi lain dari dirinya. ”Mereka bilang, Om Dewan berani enggak buat video seperti itu, karena menurut mereka saya terlalu kaku dan serius terus di media,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (22/1/2022).
Setelah memenuhi tantangan itu, Habiburokhman pun merasa senang karena banyak warga yang menyukainya. Menurutnya, lewat video itu ia ingin menyampaikan pesan agar sesama warga saling berbagi. Namun, ia menolak jika konten itu dikaitkan dengan upaya mengerek popularitas dirinya maupun partai. ”Kalau soal kampanye, ini masih jauh dari pemilu, justru saya rutin mengunjungi warga, mewujudkan janji kampanye pemilu yang lalu,” kata dia.
Baca juga : Capres Otoritas Versus Elektabilitas
Popularitas
Pengajar komunikasi politik di Universitas Paramadina sekaligus pendiri Lembaga Survei Kedai Kopi Hendri Satrio menilai, maraknya parodi video musik di media sosial merupakan upaya para politisi, terutama mereka yang selama ini disebut-sebut sebagai calon presiden (capres) potensial untuk mendapatkan perhatian dan menunjukkan sisi lain dari dirinya. Mereka ingin memperlihatkan sisi personal yang jarang diketahui publik.
Berdasarkan survei Kedai Kopi terhadap 1.200 responden pada November 2021, popularitas sejumlah tokoh potensial capres belum optimal. Erick, misalnya, popularitasnya masih di 39,3 persen. Popularitas Emil berada di 63,8 persen, sedangkan Ganjar 72,2 persen.
Upaya memanfaatkan konten viral untuk memopulerkan diri juga sebelumnya dilakukan para politisi menggunakan poster pebulu tangkis ganda putri Greysia Polii/Apriyani Rahayu. Saat itu, jagat maya penuh dengan poster ucapan selamat atas keberhasilan mereka meraih emas di Olimpiade Tokyo 2020 pada Agustus 2021.
Saat itu sejumlah politisi beramai-ramai menyampaikan ucapan selamat dalam bentuk poster yang memuat foto diri mereka dengan latar belakang atlet ganda putri tersebut. Poster itu dibagikan ke berbagai kanal media sosial. Poster itu di antaranya dibagikan oleh Ketua DPR Puan Maharani, Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar, hingga Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono.
Tak pengaruhi elektabilitas
Hendri melanjutkan, berdasarkan penelitian disertasinya pada 2020 aktivitas di media sosial memang bisa digunakan untuk membantu popularitas politisi, tetapi hal itu tidak berpengaruh signifikan pada elektabilitas mereka. Sebab, banyaknya ”klik” di media sosial tidak serta merta memengaruhi pilihan politik masyarakat.
Apalagi, saat ini dunia maya didominasi oleh generasi milenial yang lebih kritis dalam melihat perilaku para politisi. Mereka bisa saja menyukai dan menikmati konten yang dibuat, tetapi pilihan politiknya lebih kuat dipengaruhi oleh hasil kerja nyata dari para politisi.
Selain itu, hasil survei Kedai Kopi pada November lalu juga menunjukkan adanya pergeseran kriteria calon presiden yang diinginkan publik. ”Sebelumnya, kriteria presiden yang diinginkan publik adalah sosok yang merakyat, sedangkan saat ini kriteria presiden yang diinginkan adalah yang cerdas dan visioner,” katanya.
Artinya, upaya politisi menunjukkan sikap merakyat di media sosial, sebenarnya sudah bukan lagi hal yang diinginkan publik dari sosok calon pemimpinnya. Konten-konten yang mereka buat pada akhirnya cenderung menjadi sekadar hiburan. Sebab, masyarakat membutuhkan pemimpin yang melampaui itu semua.
Hendri menambahkan, keberhasilan karier politisi justru dipengaruhi kuat oleh momentum politik. Jumlah pengikut yang banyak di media sosial tidak berpengaruh signifikan jika tak diiringi kemampuan mengeksekusi kesempatan di momentum yang tepat.
Hendri memberikan contoh Johan Budi. Politisi PDI-P ini tak ditemukan aktif di media sosial, tetapi publik mengenalnya. Ia lolos sebagai anggota DPR pada Pemilu 2019. Hal ini tak terlepas dari kemampuannya memanfaatkan momentum politik. Di saat aktif sebagai Juru Bicara Presiden Joko Widodo, ia mencalonkan diri sebagai anggota DPR.
Apalagi, sebelumnya, publik telah mengenal Johan cukup lama sebagai juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi.
”Yang semestinya dimanfaatkan betul oleh politisi adalah momentum politik. Contohnya Presiden Soeharto ketika menerima Supersemar, atau Presiden Joko Widodo dengan kesederhanaannya, muncul sebagai sosok berbeda dari pemimpin sebelumnya pada momentum yang tepat,” kata dia.
Baca juga : Menguji Kemapanan Pilihan Partai Politik
Merlyna Lim, peneliti di Digital Media and Global Networks Society dalam artikel ”Many Clicks but Little Sticks: Social Media Activism in Indonesia” menyebutkan, media sosial dengan sifat dasarnya yang partisipatoris merupakan sarana yang paling tepat untuk menyebarkan konten budaya populer. Media sosial juga bisa digunakan untuk membangun keterlibatan dalam politik.
Namun, Merlyna mengingatkan, kapasitas media sosial untuk kepentingan poltik itu terbatas. Hal itu disebabkan, antara lain, jaringan media sosial yang luas serta produksi dan sirkulasi informasi yang serba cepat. Media sosial jadi lebih cocok untuk penyebaran narasi sederhana ketimbang yang rumit.
Media sosial tidak terlepas dari sistem media besar sehingga wacana yang disebarkan perlu diselaraskan dengan media arus utama.
Dengan konsentrasi media sosial yang tinggi di perkotaan, narasi politik akan selalu bersaing dengan konten hiburan yang menjadi konsumsi kelas menengah perkotaan.
Selain itu, menurut Merlyna, media sosial juga tidak bisa dilepaskan dari aspek teknomaterial, yakni akses terhadap perangkat dan juga distribusinya. Dengan konsentrasi media sosial yang tinggi di perkotaan, narasi politik akan selalu bersaing dengan konten hiburan yang menjadi konsumsi kelas menengah perkotaan.
Di media sosial, lanjut Merlyna, konten yang disajikan lebih dimaknai sebagai hiburan yang lewat seketika saat durasi konten berakhir. Belum lagi bersaing dengan konten hiburan lainnya.
Aktivitas para politisi di media sosial yang mendapatkan banyak perhatian, pada akhirnya belum tentu bisa membangun ikatan dengan masyarakat. Ikatan yang nantinya berbuah pada elektabilitas.