Menguji Kemapanan Pilihan Partai Politik
Kendati masih menduduki tiga besar partai teratas, PDI-P, Gerindra, dan Partai Golkar sama-sama mengalami penurunan elektabilitas. Pilihan capres dinilai akan menentukan keterpilihan partai politik, benarkah?

Deretan bendera partai politik peserta Pemilu Serentak 2019 menghiasi jalan layang di kawasan Senayan, Jakarta, Minggu (7/4/2019).
Tiga tahun menjelang pemilihan umum, konfigurasi kekuatan partai masih didominasi oleh partai politik lama dengan kecenderungan tingkat keterpilihan yang relatif dinamis.
Kemapanan pilihan terhadap partai ini akan diuji oleh potensi pemilih mengambang yang akan bergantung pada pilihan elektoral partai pada kontestasi pemilihan presiden di 2024.
Tingkat keterpilihan partai politik dalam hasil survei periodik Kompas pada Oktober ini menunjukkan partai-partai politik lama yang selama ini mewarnai panggung politik nasional masih mendominasi pilihan publik. Dari konfigurasi partai lama ini pun, tiga besar partai politik hasil Pemilu 2019 tetap berada di papan atas tingkat keterpilihan.
Jika dibagi dalam dua kluster partai, tiga besar partai politik ini masuk dalam kluster pertama survei Kompas. Kluster pertama ini secara umum adalah partai-partai yang relatif stabil berada di tiga besar elektabilitas partai.

Ketiga partai politik tersebut adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang berada di posisi pertama dengan tingkat elektabilitas mencapai 19,1 persen.
Kemudian diikuti Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dengan 8,8 persen di posisi kedua dan Partai Golkar di urutan ketiga dengan tingkat keterpilihan mencapai 7,3 persen.
Sementara kluster kedua berisi partai-partai politik yang mengalami dinamika pergeseran antarpartai terkait tingkat keterpilihannya. Dinamika itu tampak dari posisi antarpartai yang saling berubah antarsurvei.
Dalam survei Oktober ini, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Demokrat yang selama ini berada di luar pemerintahan menjadi dua partai politik teratas di kluster ini. PKS meraih tingkat elektabilitas di angka 6,7 persen, sedangkan Demokrat meraih 5,4 persen suara.

Salah satu pendukung PDI-P saat kampanye Pilkada Kota Surabaya, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (4/9/2020).
Selain kedua partai yang mengambil peran sebagai oposisi terhadap pemerintah ini, partai-partai lain juga masuk dalam kluster ini. Mereka adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 3,9 persen, Partai Nasdem 2,0 persen, Partai Amanat Nasional (PAN) 1,7 persen, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan elektabilitas 1,3 persen.
Dinamika partai-partai di kluster kedua ini relatif lebih berwarna. Sebut saja PKB, misalnya, yang dalam survei Oktober ini elektabilitasnya berada di bawah PKS dan Demokrat. Padahal, dalam survei-survei sebelumnya, PKB selalu berada di atas kedua partai tersebut.
Secara umum, turunnya elektabilitas yang dialami PKB juga terjadi di hampir semua partai politik. Hasil survei periodik Kompas pada Oktober ini merekam penurunan paling tajam memang dialami PDI-P dan PKB.
Dua partai politik pendukung dan pengusung pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin ini mengalami penurunan elektabilitas mencapai 3 persen lebih. Sementara partai-partai pendukung pemerintah lainnya, termasuk Gerindra dan Partai Golkar, mengalami penurunan di bawah angka 2 persen.

Bandul politik memang menentukan. Ketika apresiasi terhadap kinerja pemerintah cenderung menurun, sedikit banyak akan berdampak pada insentif elektoral pada partai oposisi.
Sedikitnya ”hukum besi” ini bisa meminjam teori coattail effect yang disampaikan David Samuels dan Matthew Soberg Sughart. Istilah coattail effect juga merujuk pada suatu tindakan yang menimbulkan pengaruh pada tindakan lain (pengaruh ikutan).
Sayangnya, tesis soal menurunnya apresiasi kinerja pemerintah akan berdampak pada naiknya pamor partai oposisi hanya terjadi pada PKS. Setidaknya survei Kompas merekam, ketika sebagian besar partai politik mengalami penurunan elektabilitas, tingkat keterpilihan PKS cenderung naik. Jika dalam survei April lalu angkanya mencapai 5,4 persen, dalam survei Oktober ini naik menjadi 6,7 persen.
Sementara Demokrat yang selama ini juga berada di luar pemerintahan justru mengalami penurunan seperti yang dialami partai-partai lain, khususnya partai pendukung pemerintah.

Euforia masyarakat pendukung Partai Golkar di atas panggung sebuah kampanye akbar Partai Golkar di Istora Senayan, Jakarta.
Konflik dan ketegangan yang melanda Partai Demokrat terkait perebutan kekuasaan di internal partai, bahkan sampai ke meja hijau, boleh jadi memberikan dampak pada citra partai sehingga cenderung mengganggu tingkat keterpilihannya dalam survei.
Baca juga : Ujian Politik Partai Politik Baru
Pilihan pemilih mula
Terlepas terjadinya penurunan tingkat elektabilitas pada sebagian besar partai politik, kecenderungan kemapanan partai tidak bisa dibantah. Partai-partai yang selama ini meramaikan panggung politik nasional dan berada dalam lembaga perwakilan di DPR pusat sedikit banyak akan tetap bertahan untuk bisa melewati ambang batas parlemen di Pemilu 2024.
Menariknya, kecenderungan pilihan terhadap partai-partai lama ini juga ditunjukkan tidak saja oleh pemilih lama yang sudah mengikuti beberapa pemilu, tetapi juga ditunjukkan oleh mereka yang masuk kategori pemilih mula dan muda meskipun porsinya masih di bawah kelompok pemilih yang lebih senior dan berpengalaman memilih.

Dari kelompok responden Generasi Z yang notabene pemilih mula (17 tahun - < 24 tahun) tercatat sepertiga (31,2 persen) dari mereka mendistribusikan pilihannya ke partai tiga besar, yakni PDI-P, Gerindra, dan Partai Golkar.
Hal yang sama terekam dari kelompok responden dari Generasi Y atau milenial (24-39 tahun). Sebanyak 33,7 persen dari mereka menjatuhkan pilihan ke tiga partai besar yang sama.
Porsi lebih besar tentu disumbang oleh kelompok responden Generasi X (40-55 tahun) yang tercatat 35,6 persen dari mereka memilih tiga partai besar yang sama.
Termasuk juga dari kelompok responden Baby Boomers (56-74 tahun lebih) yang separuh lebih (50,6 persen) dari kelompok ini mendistribusikan pilihan ke PDI-P, Gerindra, dan Partai Golkar.

Upacara peringatan HUT Kemerdekaan Ke-74 RI di Kantor DPP Partai Gerindra, Jakarta, Sabtu (17/8/2019).
Tentu, kecenderungan kemapanan tingkat elektabilitas partai-partai besar ini akan menjadi tantangan, terutama bagi partai-partai lainnya yang sudah ada, termasuk bagi partai pendatang baru yang mencoba peruntungan menjadi partai peserta pemilu di 2024.
Baca juga : Parpol Perlu Kerja Keras Rangkul Generasi Z dan Y
Ambang batas
Potensi kemapanan memang tidak menjadi monopoli tiga partai besar (PDI-P, Gerindra, Partai Golkar), tetapi juga partai-partai politik yang saat ini memiliki kursi di DPR.
Hasil survei mencatat, sembilan partai berpeluang tetap lolos ambang batas parlemen di pemilu nanti. Jika mempertimbangkan potensi kesalahan penarikan sampel sampai 2,8 persen dari survei ini, setidaknya ada dua kategori bagaimana sembilan partai tersebut berpotensi lolos ambang batas.
Kategori pertama adalah partai yang tanpa mempertimbangkan kesalahan penarikan sampel berpeluang besar lolos ambang batas parlemen. Di kategori ini, selain PDI-P, Gerindra, dan Partai Golkar, masuk juga dua partai oposisi yang selama ini berada di luar pemerintahan, yakni PKS dan Demokrat.
Ketegori kedua adalah partai politik yang tetap berpeluang lolos ambang batas parlemen dengan menyertakan dan memperhitungkan tingkat kesalahan penarikan sampel. Di kelompok ini ada PKB, Nasdem, PPP, dan PAN.

Lalu, bagaimana partai politik peserta Pemilu 2019 lainnya? Jika merujuk tren lima kali survei Kompas, tingkat keterpilihan partai-partai ini selalu berada di bawah angka ambang batas parlemen, termasuk jika mempertimbangkan rentang tingkat kesalahan penarikan sampel.
Di kategori ini ada Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Berkarya, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), serta Partai Garuda.
Terlepas kecenderungan kemapanan yang terjadi di dalam elektabilitas partai, kemapanan ini akan diuji oleh masih banyaknya pemilih mengambang yang cenderung menjadi silent voters. Kelompok pemilih ini jumlahnya makin fluktuatif dan bergantung pada isu yang diusung partai.

Spanduk besar tentang partai-partai politik yang ikut dalam Pemilu Serentak 2019 terpampang di salah satu sudut Gedung Komisi Pemilihan Umum, Jakarta.
Dengan desain pemilu serentak antara pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, boleh jadi pilihan elektoral partai terhadap calon presiden akan menjadi pertimbangan bagi kelompok pemilih ini untuk memutuskan pilihannya terhadap partai.
Tidak sedikit pemilih yang silent terhadap pilihan partainya juga tidak lepas dari faktor rendahnya identitas kepartaian kita (party id) di mata pemilih. Survei Kompas menangkap hanya 13 persen responden yang mengaku memiliki kedekatan dan kesamaan diri mereka dengan partai politik tertentu.
Tentu, masa tiga tahun ke depan yang tersisa menjelang pemilu akan tetap membuka peluang kepada semua partai politik untuk membuktikan mereka layak untuk mendapat dukungan. Kita tunggu. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Jalan Lapang dan Terjal Partai Politik