Jampidsus Perintahkan Jaksa untuk Banding atas Vonis Nihil Terdakwa Asabri
Jampidsus Kejagung memerintahkan jaksa melakukan upaya hukum banding atas putusan majelis hakim yang memvonis pidana nihil terhadap Heru Hidayat, terdakwa korupsi PT Asabri. Putusan hakim dinilai melukai rasa keadilan.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tidak menunggu untuk pikir-pikir, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung langsung memerintahkan penuntut umum untuk melakukan upaya hukum banding terhadap putusan majelis hakim yang memvonis pidana nihil kepada Heru Hidayat, terdakwa korupsi pengelolaan dana investasi PT Asabri (Persero).
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak ketika dikonfirmasi, Rabu (19/1/2022), melalui keterangan tertulis menyampaikan bahwa Jampidsus Febrie Adriansyah langsung memerintahkan jaksa untuk segera melakukan upaya perlawanan banding terhadap putusan majelis hakim bagi terdakwa Heru Hidayat. Majelis hakim memvonis Heru dengan vonis pidana nihil dan menghukumnya dengan membayar uang pengganti sebesar Rp 12,6 triliun.
Putusan majelis hakim tidak berpihak dan telah mengingkari rasa keadilan masyarakat yang telah ditimbulkan terdakwa dengan kerugian negara yang begitu besar.
Adapun putusan tersebut dijatuhkan ketua majelis hakim Ig Eko Purwanto didampingi Ali Muhtarom, Mulyono Dwi Purwanto, Rosmina, dan Saefudin Zuhri sebagai hakim anggota, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (18/1/2022).
”Terhadap putusan majelis hakim tersebut, Jampidsus telah memerintahkan (jaksa) penuntut umum untuk segera melakukan upaya perlawanan banding karena putusan majelis hakim tidak berpihak dan telah mengingkari rasa keadilan masyarakat yang telah ditimbulkan terdakwa dengan kerugian negara yang begitu besar,”kata Leonard.
Kerugian negara yang dimaksud adalah kerugian negara dalam perkara korupsi di PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dengan kerugian Rp 16,7 triliun dan dalam perkara PT Asabri (Persero) sebesar Rp 22,7 triliun. Pihak kejaksaan menilai, jika Heru kemudian mengajukan peninjauan kembali (PK) di dalam perkara Asuransi Jiwasraya dan ternyata mendapatkan potongan hukuman, hal itu dapat melukai hati masyarakat Indonesia.
Selain itu, kejaksaan menilai majelis hakim tidak konsisten karena dalam perkara Asuransi Jiwasraya terdakwa divonis penjara seumur hidup, sementara dalam perkara Asabri tidak dihukum. Sikap tak konsisten tersebut terletak dalam pertimbangan hakim yang menilai terdakwa terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, tetapi tidak diikuti dengan penjatuhan pidana penjara.
Sebelumnya, jaksa menuntut agar Heru dapat divonis hukuman mati, tatapi tuntutan itu tak dipenuhi majelis hakim. Dalam pertimbangannya saat menjatuhkan putusan, majelis hakim mengatakan bahwa surat dakwaan merupakan landasan, rujukan, dan batasan dalam pembuktian serta penuntutan sebuah perkara pidana. Oleh karena itu, putusan yang dijatuhkan tidak boleh keluar dari surat dakwaan.
”Bahwa surat dakwaan adalah pagar atau batasan yang jelas bagi penuntut umum agar tidak melampaui kewenangan dalam menuntut terdakwa. Bagi terdakwa, agar ada kesempatan untuk membela haknya dan, bagi majelis hakim, agar dapat memeriksa dalam koridor hukum,”kata hakim anggota, Ali Muhtarom.
Oleh karena itu, majelis hakim menyatakan tidak sependapat dengan penuntut umum tentang penjatuhan hukuman mati karena penuntut umum dinilai telah melanggar asas penuntutan, yakni menuntut di luar pasal yang didakwakan. Di sisi lain, penuntut umum dinilai tidak membuktikan unsur-unsur terkait tuntutan pidana mati sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (2)Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni berupa kondisi tertentu saat terjadinya tindak pidana korupsi karena saat itu negara dalam kondisi aman dan terdakwa tidak melakukan pengulangan.
Selain itu, menurut majelis hakim, hukuman mati pada Pasal 2 Ayat (2) UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bersifat pilihan, bukan keharusan. Sementara, hakim menilai, perbuatan terdakwa dalam perkara Asuransi Jiwasraya dan Asabri bukan merupakan pengulangan tindak pidana karena terjadi bersamaan.
Penasihat hukum Heru Hidayat, Aldres Napitupulu, ketika ditanya mengenai sikapnya atas keputusan banding penuntut umum, mengatakan, sampai saat ini pihaknya belum menentukan langkah karena Heru Hidayat belum menentukan akan menempuh banding atau tidak terkait dengan putusan hakim terhadap dirinya. Meski demikian, penasihat hukum menghormati putusan majelis hakim meski tidak sepakat dengan seluruh pertimbangannya, terutama mengenai unsur-unsur tindak pidana korupsi.
Sampai saat ini pihaknya belum menentukan langkah karena Heru Hidayat belum menentukan akan menempuh banding atau tidak terkait dengan putusan hakim terhadap dirinya.
Ketidaksepakatan yang dimaksud adalah terkait pernyataan majelis hakim yang tetap menyatakan unsur melawan hukum tersebut terbukti, sementara majelis hakim menyatakan sepakat dengan pembelaan penasihat hukum bahwa 22 ketentuan yang didalilkan jaksa penuntut umum tidak dapat diterapkan kepada Heru Hidayat. Selain itu, penasihat hukum juga tidak sepakat dengan pertimbangan majelis hakim yang menyatakan bahwa uang dari pihak terdakwa yang diterima Asabri sebagai uang negara, bukan uang terdakwa. Padahal, majelis hakim mengakui bahwa Asabri telah terlebih dahulu menerima uang hasil penjualan saham ke terdakwa.
”Kami lebih sepakat dengan dissenting opinion dari salah satu anggota majelis,”ujar Aldres. Dalam sidang putusan tersebut, hakim anggota, Mulyono, berpendapat berbeda dalam hal penghitungan kerugian negara sebesar Rp 22,7 triliun dan tuntutan jaksa untuk membayar uang pengganti. Mulyono menyatakan tidak dapat meyakini metode penghitungan kerugian keuangan negara karena inkonsistensi dalam penghitungan.