Selama ini ada kecenderungan pemaknaan Pancasila itu tunggal, seolah-olah milik negara dan pemerintah saja. Di titik ini, dunia akademis dinilai dapat jadi penyeimbang terhadap hegemoni pemaknaan Pancasila oleh negara.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·6 menit baca
Jepang memiliki bushido. Amerika Serikat mempunyai American Dream. China pun menyebut dirinya Chung-kuo, pusat dunia atau negeri pusat. Nilai-nilai itu mampu mengantar bangsa-bangsa tersebut maju. Hal sama semestinya juga terjadi di Indonesia yang sudah merdeka lebih dari tiga perempat abad dan memiliki falsafah atau nilai luar biasa, yaitu Pancasila.
Bagaimana, dari mana, dan ke mana tujuan akhir kita dalam ber-Pancasila? Kesemuanya itu dibincangkan dalam diskusi publik lewat Twitter Spaces Forum Ekonomi Politik Didik J Rachbini dengan tema ”Cak Nur, Pancasila, dan Indonesia yang Adil”, Jumat (14/1/2022) malam. Diskusi digelar dalam rangka Dies Natalis Ke-24 Universitas Paramadina dan niatan untuk mendalami kajian tentang Pancasila.
Pada acara diskusi tersebut, Didik J Rachbini memperdengarkan rekaman suara berisi pandangan Dewan Pembina Yayasan Wakaf Paramadina Jusuf Kalla. Pandangan dari Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Republik Indonesia itu sebelumnya direkam Didik saat berkunjung ke rumah Jusuf Kalla beberapa waktu sebelumnya dalam kaitannya dengan Dies Natalis Universitas Paramadina.
Dalam rekaman itu, Jusuf Kalla mengingatkan bahwa kata adil disebutkan dua kali dalam Pancasila, yakni di sila kedua yang berbunyi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, serta sila kelima yang berbunyi Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Hal ini memberikan nuansa bahwa keadilan dan kemakmuran atau kemajuan merupakan bagian yang diupayakan oleh bangsa Indonesia.
Meski tidak mudah, keadilan dan kemakmuran bagi seluruh masyarakat tersebut harus tetap diupayakan secara bersama. ”Walaupun kita tahu, dalam kenyataannya, kehidupan masyarakat kita ada yang baik (tapi juga) ada yang kurang baik. Semua hal ini tentu harus menjadi upaya kita semua untuk memperbaikinya,” kata Jusuf Kalla.
Manajemen yang baik dinilainya perlu dilakukan agar tidak timbul konflik-konflik. Berdasarkan pengalaman Indonesia dalam berbangsa selama 76 tahun lebih, setidaknya ada 15 konflik besar di negeri ini yang mengakibatkan korban di atas 1.000 orang. Dari 15 konflik itu, sebanyak 11 konflik terjadi akibat ketidakadilan, baik ketidakadilan sosial, ketidakadilan politik, maupun ketidakadilan ekonomi.
Kalla menuturkan dirinya mempunyai beberapa pengalaman dalam hal menyelesaikan konflik akibat ketidakadilan. ”Konflik di Aceh, contohnya, itu bukanlah tentang bagaimana syariat Islam dilaksanakan karena memang sudah dilaksanakan oleh masing-masing. Tapi, (konflik) itu karena rasa tidak adil dalam ekonomi. Di Aceh banyak sumber daya alam, tetapi masyarakat tidak menikmati kemakmuran itu, kekayaan itu, dengan baik,” tuturnya.
Demikian pula pada konflik di Poso dan Ambon, ada ketidakadilan dalam hal politik. Mundur beberapa dekade ke belakang, semua konflik kedaerahan, seperti peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta), pun dapat diselesaikan apabila ada keadilan.
Menurut Kalla, pencapaian keadilan harus diupayakan dengan manajemen pemerintahan yang baik. Bidang ekonomi dan sosial merupakan pendorong utama kemajuan karena dapat memakmurkan masyarakat. Upaya yang baik dapat menjadikan kemakmuran meningkat dan adil. Sumber daya manusia bernilai penting dalam mengupayakan kemajuan ekonomi dan keadilan tersebut.
”Paramadina dan lembaga pendidikan lainnya bertujuan menyiapkan sumber daya manusia agar tidak bergantung (pada) sumber daya manusia dari luar. Kita perlu kerja sama. Kita perlu teknologi yang baik dengan kerja sama. Tapi, kita juga harus menguasai teknologi itu untuk menyelesaikan kekurangan-kekurangan kita. Dengan cara itu, keadilan akan kita capai,” tutur Jusuf Kalla.
Tanpa sumber daya manusia yang baik, kita tidak akan mencapai keadilan masyarakat.
Namun, diingatkan pula bahwa dengan keadilan itu, semua pihak harus saling menghormati. Pihak yang besar atau kaya tentu harus membayar pajak dengan baik dan menghormati yang kecil. Demikian pula pihak yang kecil juga mesti bekerja sebaik-baiknya supaya menjadi besar. ”Itu upaya semua. Tanpa sumber daya manusia yang baik, kita tidak akan mencapai keadilan masyarakat,” kata Jusuf Kalla.
Menyoal keteladanan
Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina Suratno menuturkan, merujuk pemikiran Nurcholish Madjid atau Cak Nur, keteladanan yang pertama dan utama harus muncul dari para pemimpin atau elite. Para pemimpin dimaksud ialah pemimpin bangsa, pemimpin budaya, pemimpin agama, dan sebagainya.
”Muara dari keteladanan ini, menurut Cak Nur, seperti tema kita hari ini, adalah keadilan sosial. Pancasila sila kelima, kan, juga keadilan sosial. (Keadilan sosial) sebagai sila kelima, sila terakhir, sehingga (keadilan sosial) itu menjadi tujuan akhir,” kata Suratno.
Di dalam filsafat terkenal pula pemikiran Aristoteles: justice is not a part a virtue, but the whole of virtue (keadilan bukan bagian dari kebajikan, tetapi keseluruhan dari kebajikan). ”Jadi, kebajikan apa pun kalau tidak dilambari (didasari) keadilan, ya, tidak muncul. Misalnya, pemerintah bikin program apa pun kalau tidak adil, ya, tidak bajik,” kata Suratno.
Suratno mengingatkan, pada tahun 2020, Indonesia Social Justice Network (IJSN) meluncurkan Indeks Keadilan Sosial Indonesia (IKSI). Menurut laporan IJSN tersebut, ada beberapa item dari total delapan item terkait keadilan sosial di Indonesia yang masih rendah dan sangat perlu diperbaiki.
”Sebagai kesimpulan, kita tidak bisa berharap–katakanlah–Pancasila direvitalisasi dan sebagainya kalau pemimpin kita tidak memberi keteladanan dan tidak bisa menciptakan keadilan sosial di masyarakat. (Hal ini) karena (keadilan sosial) itu menjadi inti dan tujuan akhir dari kita ber-Pancasila,” ujar Suratno.
Kita tidak bisa berharap–katakanlah–Pancasila direvitalisasi dan sebagainya kalau pemimpin kita tidak memberi keteladanan dan tidak bisa menciptakan keadilan sosial di masyarakat. Hal ini karena keadilan sosial menjadi inti dan tujuan akhir dari kita ber-Pancasila.
Perguruan tinggi seperti Paramadina dan kampus-kampus lain pun dinilai perlu ikut terlibat dalam diskursus pemikiran dan pendalaman tentang Pancasila. Ketua Yayasan Karakter Pancasila Zaim Uchrowi mengungkap kembali pemikiran Cak Nur bahwa Pancasila adalah ideologi terbuka. Artinya, pemaknaan Pancasila seharusnya tidak tunggal. Pemaknaan Pancasila semestinya milik setiap orang di seluruh negeri ini.
Selama ini ada satu kecenderungan pemaknaan Pancasila itu tunggal, seolah-olah Pancasila itu milik negara saja, dan artinya milik pemerintah. Lalu, pemerintah atau negara mencoba menyosialisasikan Pancasila itu kepada setiap orang. ”Kalau memang itu yang terjadi, orang akan bertanya: ’memang elu siapa’ kepada para pemimpin ini. ’Apa hebatnya elu untuk kemudian kita harus mengikuti?’ Kita sendiri punya tafsir masing-masing yang khas diri kita sendiri. Ini yang di tataran masyarakat,” kata Zaim.
Di titik ini, menurut Zaim, dunia akademis dapat menjadi penyeimbang secara netral terhadap hegemoni pemaknaan Pancasila oleh negara. Apalagi, tidak hanya saat era pemerintahan Presiden Soeharto, di pemerintahan berikutnya pun ada keinginan memberikan hegemoni tentang pemaknaan Pancasila.
”Dunia akademis bisa dengan dingin memandang pendekatan yang lebih baik karena punya basis pemikiran yang lebih utuh dan selalu akan bertanya kepada diri sendiri melalui riset-risetnya serta selalu mengkritisi dirinya sendiri (menyangkut) bagaimana sebaiknya,” kata Zaim.
Zaim pun mengajak semua pihak mulai membangun Pancasila dari diri sendiri. ”(Hal ini) dengan menjadi adil dari diri kita sendiri, di lingkungan terdekat sendiri, seberapa pun. Nanti, saya percaya, akan ada simpul-simpul kebaikan dari orang-orang yang akan menggerakkan masing-masing di titik-titik ini. Dan, ketika simpul-simpul ini berpaut begitu rupa, akan terjadi sesuatu perubahan secara baik,” ujarnya.
Semua pihak diajak pula untuk menguatkan keyakinan tentang ketuhanan, kemanusiaan, rasa persatuan, serta gotong royong. ”Dan, pada akhirnya, kita mencoba menegakkan keadilan sesuai dengan kapasitas masing-masing. (Hal) ini akan luar biasa. Dan, Paramadina bisa berperan besar untuk menyebarkan perspektif positif dari Cak Nur dalam membangun Indonesia yang adil dan ber-Pancasila,” katanya.