Pemerintah Daerah Endapkan APBD di Bank hingga Akhir Tahun
Mendagri Tito Karnavian saat rapat pembahasan simpanan kas daerah pada bank umum, Rabu (22/12/2021), mengatakan, pihaknya telah memantau seluruh simpanan kas pemerintah daerah. Lebih dari Rp 203 triliun dana menganggur.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berdasarkan hasil pemantauan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, dan Bank Indonesia terhadap simpanan kas pemerintah daerah di perbankan, ada lebih dari Rp 203 triliun kas daerah yang tidak bergerak hingga November 2021. Sejumlah dana itu tersimpan di bank, baik dalam bentuk giro, deposito, maupun tabungan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tercatat sebagai pemilik simpanan terbesar yang jumlahnya mencapai Rp 12,4 triliun.
Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian dalam rapat pembahasan simpanan kas daerah pada bank umum yang diselenggarakan secara virtual, Rabu (22/12/2021), mengatakan telah memantau seluruh simpanan kas pemerintah daerah hingga November 2021. Berdasarkan data Bank Indonesia per 30 November 2021, didapatkan simpanan dana milik pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang jumlahnya mencapai Rp 203,95 triliun. Dari total dana tersebut, sebanyak Rp 144,96 triliun tersimpan dalam bentuk giro, Rp 54,38 triliun deposito, serta Rp 4,6 triliun tabungan.
Dari 34 provinsi, ditemukan pula sepuluh pemerintah provinsi dengan jumlah simpanan tertinggi, di antaranya DKI Jakarta yang simpanannya mencapai Rp 12,953 triliun. Disusul Aceh Rp 4,426 triliun, Papua Rp 3,829 triliun, Jawa Timur Rp 2,751 triliun, dan Jawa Barat Rp 2,566 triliun. Selain itu, Kalimantan Timur juga memiliki simpanan sebesar Rp 2,070 triliun, Papua Barat Rp 1,947 triliun, Riau Rp 1,426 triliun, Sumatera Utara Rp 1,128 triliun, serta Jawa Tengah Rp 1,028 triliun.
Sementara itu, berdasarkan data Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri per 17 Desember, diketahui total dana pemda yang tersedia di pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sebesar Rp 159,47 triliun. Dari total tersebut, sebanyak Rp 50,63 triliun berada di provinsi, Rp 85,82 triliun di kabupaten, dan Rp 23,02 triliun di kota.
Untuk mengklarifikasi keberadaan sejumlah simpanan itu, Tito mengundang gubernur dari 10 daerah dengan jumlah simpanan tertinggi. Ia pun mempertanyakan apakah sejumlah dana tersebut masih akan dibelanjakan hingga akhir tahun, sengaja disimpan untuk sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa), atau digunakan untuk keperluan lain. ”Simpanan kas daerah di perbankan membuat realisasi belanja menjadi berkurang dan terkesan ada dana yang tidak bergerak (idle), apalagi ada dana yang didepositokan,” ujarnya.
Simpanan kas daerah di perbankan membuat realisasi belanja menjadi berkurang dan terkesan ada dana yang tidak bergerak (idle), apalagi ada dana yang didepositokan.
Tito mengimbau agar pemda mempercepat penyelenggaraan rapat koordinasi terkait simpanan kas daerah di perbankan. Hasil rapat tersebut dapat dijadikan pegangan bagi setiap pemerintah dalam menyerap anggaran.
Sebab, hingga 17 Desember, realisasi belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) baru mencapai 73,23 persen atau senilai Rp 928,25 triliun. Realisasi belanja ini lebih rendah dibandingkan dengan Desember 2020 yang mencapai 82,69 persen. Untuk tahun 2021, kata Tito, penghitungan yang dilakukan memang baru sampai pertengahan Desember sehingga diharapkan masih akan ada peningkatan yang optimal dalam realisasi belanja pada akhir Desember.
Tidak hanya realisasi belanja, rata-rata realisasi pendapatan APBD juga masih jauh dari harapan. Data per 17 Desember, rata-rata realisasi pendapatan APBD adalah 86,61 persen atau senilai Rp 1.009,33 triliun. Persentase ini juga lebih rendah dibandingkan realisasi pendapatan tahun sebelumnya, yakni 92,48 persen atau mencapai Rp 1.050,93 triliun.
Ia pun meminta kepada pemda untuk terus menggenjot realisasi pendapatan dan belanja masing-masing pada sisa tahun 2021. Hal ini sejalan dengan amanat Presiden Joko Widodo yang kerap menekankan permasalahan tersebut. ”Karena, realisasi belanja baik pemerintah pusat maupun daerah menjadi tulang punggung utama untuk mendorong perekonomian di masa pandemi,” kata Tito.
Mencurigakan
Dihubungi terpisah, anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia, Eneng Malianasari, mengatakan, temuan Kementerian Dalam Negeri terkait sisa kas pemerintah daerah, salah satunya DKI Jakarta, cukup mengejutkan. Ia pun menyayangkan ketidakterbukaan pihak Pemerintah Provinsi DKI atas pengelolaan keuangannya. ”Ini rumit dan mencurigakan, ada gelagat atau tanda-tanda pemprov menyembunyikan uang warga Jakarta,” katanya.
Malianasari pun menuntut agar Pemprov DKI melaporkan simpanan kas daerah ini ke DPRD. Sebab, nilainya sekitar 15 persen dari APBD 2022. Rencana tindak lanjut untuk menjadikannya silpa atau bagian dari pendapatan pemprov juga mesti dibicarakan.
Pemprov harus segera melaporkan kepada DPRD secepatnya agar dapat dirumuskan penggunaan anggarannya, misal untuk kompensasi relaksasi pajak atau insentif bagi pemulihan ekonomi, sehingga tidak memaksakan kenaikan penarikan pajak.
”Pemprov harus segera melaporkan kepada DPRD secepatnya agar dapat dirumuskan penggunaan anggarannya, misal untuk kompensasi relaksasi pajak atau insentif bagi pemulihan ekonomi, sehingga tidak memaksakan kenaikan penarikan pajak,” tuturnya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman mengatakan, persoalan penyerapan anggaran yang rendah dan tingginya jumlah kas daerah yang mengendap di perbankan merupakan persoalan klasik keuangan daerah. Selain disebabkan mekanisme penggunaan anggaran yang menyebabkan penyerapan anggaran baru bisa dilakukan pada pertengahan tahun, pemerintah daerah juga cenderung hati-hati menggunakan APBD karena berhadapan dengan ketidakpastian di masa pandemi Covid-19. Hal lain, pemda juga masih cenderung tidak memiliki prioritas dalam penggunaan anggaran.
”Karena ini problem klasik, pemerintah pusat harus mengambil sikap tegas untuk daerah-daerah yang memiliki dana mengendap dalam jumlah besar, misalnya dengan mengurangi dana transfer di tahun berikutnya. Diperlukan juga batas toleransi berapa banyak kas daerah yang boleh mengendap di perbankan,” kata Herman.