Ratusan Triliun Dana Daerah Mengendap di Perbankan
Penyerapan anggaran masih bermasalah. Kurang tiga bulan jelang akhir 2020, pencairan anggaran daerah baru 51,83 persen. Sementara Kemendagri mendapati Rp 252,78 triliun dana pemda mengendap di bank. Inilah ironi.
JAKARTA, KOMPAS — Kurang tiga bulan jelang akhir tahun, pencairan anggaran daerah secara nasional baru 51,83 persen. Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri malah mendapati Rp 252,78 triliun dana pemerintah daerah mengendap di perbankan. Fenomena ini merefleksikan rendahnya komitmen kepala daerah bagi kesejahteraan rakyat di tengah pandemi Covid-19.
Berdasarkan data Kemendagri per 30 September 2020, realisasi belanja secara nasional sebesar Rp 612,55 triliun atau 51,83 persen dari target Rp 1,181 triliun. Adapun rata-rata belanja nasional sebesar 66,55 persen.
Bahkan, ada tiga provinsi yang pencairan belanjanya di bawah 40 persen, yaitu Papua (32,21 persen), Sulawesi Tenggara (39,15 persen), dan Sulawesi Barat (39,75 persen).
Baca juga : Penyerapan Anggaran Bermasalah Sebabkan Stimulus Ekonomi Tak Optimal
Mendagri Tito Karnavian melalui keterangan tertulis, Jumat (23/10/2020), mengatakan, pencairan anggaran daerah yang rendah ini berarti uang tidak beredar di masyarakat. Padahal, di saat pandemi, belanja daerah menjadi instrumen terpenting untuk pemulihan ekonomi masyarakat.
Kalau uang tidak dikeluarkan, berarti uang tidak beredar. Masyarakat akan susah. Ini perlu menjadi catatan kepala daerah karena sekarang sudah Oktober, tinggal 2,5 bulan lagi.
”Kalau uang tidak dikeluarkan, berarti uang tidak beredar. Masyarakat akan susah. Ini perlu menjadi catatan kepala daerah karena sekarang sudah Oktober, tinggal 2,5 bulan lagi,” ujar Tito.
Di tengah situasi itu, menurut data Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, ternyata beberapa pemerintah provinsi dan kabupaten/kota menyimpan dana daerahnya di perbankan. Total simpanan pemda per 30 September 2020 mencapai Rp 252,78 triliun.
Rinciannya, total dana pemprov yang disimpan di perbankan sebesar Rp 76 triliun. Sementara dana pemerintah kabupaten/kota mencapai Rp 167 triliun.
Tito menduga bunga dari hasil simpanan di deposito itu tidak mengalir ke masyarakat. Menurut dia, bunga hasil deposito itu justru dirasakan oleh para pengusaha.
”Bank itu mungkin terafiliasi kepada pengusaha-pengusaha tertentu yang mungkin yang mampu. Saya tidak mengerti, apakah mungkin ada pengusaha kecil dan menengah juga yang diberi prioritas. Tetapi, otomatis kegiatan program di daerah yang mendepositokan itu, programnya tidak didikte oleh pemerintah, tetapi didikte oleh pengusaha yang mendapatkan kredit itu,” ucap Tito.
Untuk mendalami segala persoalan itu, lanjut Tito, Kemendagri sebagai pengawas pemerintahan akan membuat evaluasi mingguan dengan semua kepala daerah. Jika masih terdapat daerah yang tidak segera mempercepat pencairan anggaran belanjanya, ia akan mengutus Inspektorat Jenderal Kemendagri untuk mengecek langsung ke lapangan.
”Saya akan minta turun untuk mengecek ke mana dana ini, kenapa tidak turun, kenapa realisasi rendah sekali,” kata Tito.
Saya akan minta turun untuk mengecek ke mana dana ini, kenapa tidak turun, kenapa realisasi rendah sekali.
Libatkan penegak hukum
Sementara itu, Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri Mochamad Ardian Noervianto menambahkan, dari kacamata aturan, tidak ada sanksi terhadap pemerintah daerah yang penyerapannya rendah. Sebab, penyerapan rendah itu bisa dilatarbelakangi beragam persoalan, seperti kontrak proyek yang baru dibayarkan pada akhir tahun.
Namun, di sisi lain, dengan pengeksposan soal itu, Ardian berharap sanksi sosial bisa muncul dari publik. ”Kok di tengah pandemi Covid-19 ini, uang daerah bukan segera dibelanjakan untuk penanganan Covid-19, tetapi ibaratnya masih disimpan di uang kas. Walaupun bisa jadi disimpan karena memang menunggu tagihan,” katanya.
Seharusnya, menurut Ardian, seorang kepala daerah memiliki rencana pengeluaran yang dihitung sampai akhir tahun. Begitu ada sisa anggaran, kepala daerah bisa melakukan langkah-langkah percepatan, misalnya untuk kegiatan penanganan dampak ekonomi, penanganan kesehatan, dan jaring pengaman sosial.
Ardian menjelaskan, dana daerah yang disimpan dalam deposito tidak menyalahi aturan. Sebab, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, apabila pemda memiliki uang berlebih, boleh digeser dari giro ke rekening deposito.
”Namun, sifatnya deposito on call. Suatu waktu bisa dipindahkan apabila diperlukan. Bukan diniatkan untuk didepositokan dalam jangka panjang. Sifatnya manajeman kas,” kata Ardian.
Secara terpisah, Inspektur Jenderal Kemendagri Tumpak Haposan Simanjuntak menyampaikan, pihaknya tengah melakukan pemantauan dan asistensi atas persoalan deposito bank tersebut. Upaya itu dilakukan bersama sejumlah penegak hukum, seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Koordinator Wilayah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri, kejaksaan, dan inspektorat provinsi.
”Kami ingin mengetahui, di mana saja ada anggaran APBD yang didepositokan, apakah deposito tersebut memenuhi ketentuan yang berlaku dan sebagainya,” ucap Tumpak.
Komitmen rendah
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Na Endi Jaweng menyampaikan, penyerapan anggaran yang rendah sebenarnya problem klasik sejak 2001. Namun, jika terjadi di tengah situasi pandemi, itu merupakan ironi besar.
Sebab, sejatinya, sejak April, daerah telah merealokasi anggaran minimal 35 persen terkait penanganan pandemi. Oleh karena itu, pada Oktober ini, paling tidak daya serap anggaran setiap daerah sekitar 65 persen.
”Jadi, mestinya sudah cukup tinggi daya serapnya. Maka, penyerapan rendah itu terjadi di 2020, isunya tak hanya daya serap rendah, tetapi komitmen pemda untuk penanggulangan Covid-19 memang rendah,” tutur Robert.
Semua persoalan ini harus dipotret Kemendagri untuk tahu solusinya. Yang terpenting unsur kerugian publik yang perlu diperhatikan. Daya serap bukan semata persoalan hukum, politik, dan birokrasi, tetapi kepentingan publik yang seharusnya mendapat jaminan perlindungan Covid-19. Semua tertunda karena daya serap anggaran tak maksimal.
Secara umum, lanjut Robert, ada tiga alasan penyerapan rendah, yakni kepala daerah khawatir terjerat masalah hukum, terkendala dinamika politik dengan DPRD, serta masalah mesin birokrasi yang tak bergerak optimal.
Baca juga : Penyerapan Anggaran Semakin Krusial
”Semua persoalan ini harus dipotret Kemendagri untuk tahu solusinya. Yang terpenting unsur kerugian publik yang perlu diperhatikan. Daya serap bukan semata persoalan hukum, politik, dan birokrasi, tetapi kepentingan publik yang seharusnya mendapat jaminan perlindungan Covid-19. Semua tertunda karena daya serap anggaran tak maksimal,” ujar Robert.
Robert sependapat dengan Ardian bahwa uang yang didepositokan ke bank tidak bersalah secara hukum. Namun, di tengah situasi pandemi, hal itu menyangkut soal etis dan tidak etisnya penggunaan anggaran daerah yang berasal dari rakyat.
”Apa pun caranya, pemda harus memutarkan uang yang ada, tidak kemudian uang didiamkan atau disimpan di perbankan. Itu pilihan kebijakan saja. Dari sisi etika, tidak etis. Artinya, komitmen dia kepada masyarakat rendah. Justru di masa sulit ini negara harus hadir lewat instrumen fiskal dan instrumen moneter. Kalau pilihannya menabung ke Bank Indonesia, apalagi dengan orientasi agar mendapat bunga dan masuk ke pemda, tugas pemda itu bukan mencari bunga, melainkan membantu rakyat,” papar Robert.