Maknai Khitah NU secara Luas Lewat Buku ”Historiografi Khittah dan Politik NU”
Penulis buku ”Historiografi Khittah dan Politik NU”, KH Ahmad Baso, menjelaskan, khitah NU tak sebatas putusan dalam Muktamar Situbondo 1984, tetapi harus dipahami lebih mendasar dan luas lagi sesuai karakter pendiri NU.
Oleh
Nina Susilo
·3 menit baca
LAMPUNG, KOMPAS — Khitah Nahdlatul Ulama kerap dimaknai sebagai prinsip tidak berpolitik praktis. Namun, semestinya khitah NU dipahami secara lebih mendasar dan luas sesuai karakter yang dibangun para pendiri organisasi kemasyarakatan ini.
Penulis buku Historiografi Khittah dan Politik NU, KH Ahmad Baso, menjelaskan, khittah NU sesungguhnya tidak sebatas yang diputuskan dalam Muktamar Situbondo 1984. Namun, penelusuran perlu dilakukan sesuai sejarah NU dari masa ke masa.
Dari karakter NU yang dibangun para pendiri, seperti KH Hasyim As’yari dan KH Wahab Hasbullah, menurut Ahmad Baso, membahas mengenai posisi NU sejak perjuangan kemerdekaan termasuk pengorganisasiannya sebagai kekuatan yang mempersatukan dan memberdayakan.
Visi, misi, dan fungsi Nahdlatul Ulama hadir di Indonesia pun dihasilkan dari totalitas para kyai dalam membahas politik kebangsaan, ekonomi kebangsaan, pendidikan kebangsaan, agama dan Tanah Air. Khitah secara luas ini yang perlu diangkat terlebih dahulu.
”Jangan kemudian pengertian khitah dipersempit. Segenap totalitas NU hilang ketika bicara khitah hanya sebatas teks (Muktamar) Situbondo,” tutur Ahmad Baso.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam sambutannya di acara peluncuran buku Historiografi Khittah dan Politik NU juga mengingatkan, khitah NU bukan sekadar prinsip untuk tidak berpolitik praktis. Justru, khitah NU sejatinya adalah landasan perbaikan di bidang agama dan sosial dan muaranya adalah kemaslahatan bagi umat manusia.
Khitah NU bukan sekadar prinsip untuk tidak berpolitik praktis. Justru, khitah NU sejatinya adalah landasan perbaikan di bidang agama dan sosial dan muaranya adalah kemaslahatan bagi umat manusia.
Seusai peluncuran, dalam keterangan kepada wartawan, Wapres juga kembali menegaskan, khitah adalah landasan berpikir atau platform yang permanen untuk melakukan perbaikan atau reformasi. Namun, dalam setiap zaman, dilakukan penyesuaian langkah (khatwah).
Dicontohkan, NU dalam politik pun berubah-ubah langkahnya. Di suatu masa, NU menjadi bagian dari Partai Masyumi. Ketika Masyumi dinilai tidak tepat lagi, NU bahkan bisa menjadi Partai NU pada 1952 sampai 1974.
Saat Orde Baru, NU menjadi bagian dari Partai Persatuan Pembangunan. Ketika PPP dinilai tak bisa lagi mewadahi aspirasi NU, NU bergerak dan mendorong berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa. Perubahan ini yang disebut Wapres Amin sebagai khatwah atau langkah.
”Khitah itu sesuatu yang permanen dan menjadi landasan berpikir dalam setiap perbaikan. Kalau dalam bahasa sekarang, reformasi,” tutur Wapres Amin kepada wartawan.
Mulai ragtu
Dalam bedah buku, Ketua Lakpesdam NU Rumadi Ahmad menambahkan, buku Historiografi Khittah dan Politik NU menjadi penting. Sebab, mulai muncul keraguan para indonesianis terhadap keseriusan NU dalam membela demokrasi. Bahkan, ada akademisi yang menilai NU menerima demokrasi dan Pancasila sekadar untuk bertahan dan mendapatkan keuntungan ekonomi politik.
”Kesimpulan itu buat saya menyakitkan dan menjadi tantangan besar sekarang ini. Buku Ahmad Baso memberi kontribusi untuk menunjukkan NU tulus dan melihat masalah-masalah secara totalitas,” tutur Rumadi.
Selain itu, buku Historiografi Khittah dan Politik NU memberi makna khittah secara luas dan lentur. Pengamat BRIN, Lili Romli, sepakat dengan hal ini. ”Buku ini meluruskan khitah NU sebagai sesuatu yang tidak pernah terputus,” ujarnya.
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar yang hadir dalam peluncuran buku itu juga mengatakan, NU sebenarnya tidak akan pernah terlepas dari politik. ”Muktamar ini saja politik. Kalau melihat media massa, penentuan tanggal saja politik, 17 atau 31 Desember,” ucapnya.
Kesimpulan itu buat saya menyakitkan dan menjadi tantangan besar sekarang ini. Buku Ahmad Baso memberi kontribusi untuk menunjukkan NU tulus dan melihat masalah-masalah secara totalitas.
Namun, ke depan, menurut Muhaimin, posisi NU sesungguhnya tak lagi sekadar mencari jabatan publik. NU semestinya sudah menjadi kekuatan pendorong kebijakan publik yang sesuai dengan kebutuhan umat.
Dengan itu, masa depan NU pun akan lebih cerah sepanjang solid dan menjadi kekuatan kokoh.
Memasuki seratus tahun kedua NU dengan tantangan yang lebih kompleks, tambah Wapres Amin, NU perlu mengelola dan mengubah potensi yang sudah dimiliki menjadi kekuatan untuk disumbangkan kepada bangsa, negara, dan dunia. Potensi yang dimiliki itu adalah sumber daya manusia, kader NU, yang sudah memiliki pendidikan dan dinilai mampu mengantisipasi tantangan globalisasi ataupun perubahan teknologi informasi.