Memilih ketua NU tidak hanya membutuhkan kalkulasi untung rugi. Namun, juga membutuhkan ketajaman ”istikharah” dan ”ikhtiyarah” yang bersambung dengan cita-cita mulia para pendiri NU.
Oleh
FATHORRAHMAN GHUFRON
·5 menit baca
Sebagai sebuah hajatan demokrasi, muktamar merupakan momentum penyegaran kembali roda organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang selama periode 2015-2021 dipimpin oleh KH Said Aqil Siroj untuk yang kedua kali.
Dalam momentum lima tahunan ini, berbagai lapisan pengurus (jam’iyah) dan warga (jama’ah) NU turut memikirkan sekuat tenaga untuk menyukseskan muktamar. Terutama unsur kepanitiaan, baik yang ada di level PBNU maupun pengurus NU di Lampung yang menjadi tempat penyelenggaraan muktamar, akan berjibaku segenap jiwa raga agar Muktamar NU benar-benar terlaksana sesuai rencana dan agenda.
Meskipun penyelenggaraan Muktamar NU tahun ini dilingkupi oleh pelbagai kendala teknis, salah satunya efek pandemi Covid-19 yang nyaris membuyarkan setiap rancangan rencana dan agenda, hal itu tak menyurutkan semangat para pengurus, panitia, dan warga NU untuk saling membantu dan bahu-membahu agar muktamar bisa tergelar dengan baik. Sebab, bagi warga NU, Muktamar NU adalah harapan baru (new hope) untuk memiliki pemimpin baru dalam menakhodai NU di masa akan datang.
Sebab, bagi warga NU, Muktamar NU adalah harapan baru (new hope) untuk memiliki pemimpin baru dalam menakhodai NU di masa akan datang.
Harapan baru
Terlebih pada tahun 2026 NU akan memasuki fase baru yang dikenal dengan istilah kebangkitan kedua (an nahdlah ats tsaniyah), maka rancang bangun penguatan ke-NU-an yang progresif harus disusun oleh pengurus besar NU periode 2021-2026.
Dalam kaitan ini, untuk menyiapkan berbagai strategi dan langkah taktis penguatan NU diperlukan figur pimpinan NU yang cakap menggerakkan roda organisasi secara sinergis di berbagai level kepengurusan dari tingkat pengurus besar hingga ranting ataupun anak ranting. Sebab, selama ini NU distigmatisasi sebagai organisasi yang hanya bisa berkumpul, tapi tidak bisa berbaris.
Oleh karena itu, tata kelola organisasi NU yang sinergis ini harus menjadi pekerjaan besar yang perlu digarap serius oleh pimpinan baru NU. Pimpinan baru NU harus mempunyai kecakapan merapatkan barisan warga NU, baik di level organisasi (jam’iyah) maupun di level kelompok penganut (jama’ah). Konsolidasi pergerakan ini penting dilakukan agar keberadaan NU bisa menjadi organisasi yang dikelola secara sistemik dan masing-masing pengurus ataupun jemaah NU saling bersenyawa untuk membesarkan NU.
Persenyawaan pikiran dan gerakan ber-NU ini penting diperhatikan dan dioptimalisasi oleh pimpinan baru NU agar di tubuh organisasi NU tidak terjadi tumpang tindih (over lapping) kewenangan yang bisa berdampak pada penyalahgunaan kebijakan. Apalagi selama ini, disadari atau tidak, barisan NU yang tersebar di berbagai kantong massa terkadang berjalan secara sendiri-sendiri.
Antarkelompok yang dilingkupi oleh napas ke-NU-an terkadang pula berseberangan, baik dengan jemaah maupun jam’iyah NU. Semisal, merespons beberapa persoalan sosial-keagamaan, sosial politik, dan persoalan lain yang sudah ditetapkan garis kebijakannya oleh pengurus NU, baik di level pusat maupun daerah, tetai tidak memperoleh respons yang seragam. Bahkan, ada beberapa kelompok yang justru mengakomodasi dan mengikuti kebijakan yang ditetapkan oleh organisasi kemasyarakatan lain yang secara ideologis cukup berseberangan dengan NU.
Dalam hal ini, problem tumpang tindih, sulit bersenyawa, dan cenderung bergerak secara parsial harus diatasi oleh pimpinan NU yang baru. Langkah ini penting dilakukan agar semua lapisan warga NU bisa terjaga dan terpanggil untuk membenahi berbagai aspek penunjang yang mampu melandasi keberdayaan NU di tengah percaturan regional, nasional, ataupun internasional.
Apalagi di era kebangkitan kedua NU, semua warga NU mempunyai berbagai impian untuk menguatkan posisi NU melalui pendirian berbagai jenis layanan publik di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum, dan semacamnya. Maka, dalam mengelola NU, pimpinan yang baru tidak sekadar melandasi ruang gerak organisasi NU sebagai jenis perkumpulan seadanya (taken for granted). Akan tetapi, bagaimana perkumpulan ini dikelola secara manajerial agar menghasilkan sebuah gerakan yang terstruktur, sistematis, dan masif.
Dalam artian, pertama, secara terstruktur berkaitan dengan model penataan organisatoris secara koordinatif dan sinergis dari level pusat hingga ranting dan menguraikan garis instruksi kepemimpinan yang bisa dilaksanakan di setiap jenjangnya dan jemaah yang tersebar di berbagai pesantren serta majelis berdasarkan asas kepatuhan dan kepatutan yang proporsional.
Kedua, secara sistematis berkaitan dengan model konsolidasi gerakan keagamaan yang sistemik agar pemikiran dan pandangan ulama yang sarat dengan nilai-nilai kerahmatan dan ke-aswaja-an ‘ala annahdliyah bisa dijadikan sebagai motivasi sosial bagi jemaah NU dalam mengawal perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketiga, secara masif berkaitan dengan gerakan ideologis dalam mengimplementasikan ajaran keislaman ala NU yang berbasis pada kearifan sehingga karakteristik NU sebagai organisasi yang akomodatif terhadap tradisi (al muhafadzah ’ala qadim ash shaleh) dan responsif terhadap perkembangan zaman (wal akhdzu bil jadid al ashlah) betul-betul dilaksanakan dengan baik serta selalu berupaya melakukan perbaikan ke arah yang lebih baik lagi dan seterusnya (al ishlah ila ma huwal ashlah tsummal ashlah fal ashlah).
Untuk menyikapi harapan baru bagi masa depan NU, tentu ada kalanya sebuah organisasi membutuhkan penyegaran kepemimpinan.
Butuh penyegaran
Untuk menyikapi harapan baru bagi masa depan NU, tentu ada kalanya sebuah organisasi membutuhkan penyegaran kepemimpinan. Dari sekian sosok yang selama ini sudah mendeklarasikan diri sebagai calon pemimpin NU, para muktamirin perlu menimbang mana di antara sosok yang dianggap paling layal mengemban amanah kebangkitan kedua NU dan membawa NU sebagai organisasi yang responsif dengan perkembangan zaman dan perubahan sosial.
Pandangan Martin Van Bruinessen bahwa NU lahir dari ekosistem jemaah yang konservatif, tetapi berpotensi besar melahirkan gerakan yang progresif bisa diwujudkan jika para muktamirin mempunyai mata batin yang kuat perihal siapa sosok yang pantas memimpin NU. Sebab, memilih ketua NU tidak hanya membutuhkan kalkulasi untung rugi. Namun, juga membutuhkan ketajaman istikharah dan ikhtiyarah yang bersambung dengan cita-cita mulia para pendiri NU.
Fathorrahman Ghufron, Wakil Katib PWNU dan Pegiat di Center for Sharia Finance and Digital Economy (Shafiec) UNU Yogyakarta