Di masa Orde Baru, Gus Dur membuat pemilihan Rais Aam NU dengan voting, menghindari intervensi pemerintah saat itu. Sejak muktamar ke-33 di Jombang, pemilihan ”rais aam” melalui musyawarah mufakat dengan sistem AHWA.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
Pemilihan rais aam atau pemimpin tertinggi Nahdlatul Ulama, simbol kiai-kiai sepuh pesantren, akan dilakukan dengan sistem perwakilan atau ahlul halli wal aqdi atau AHWA. Apa sebenarnya metode AHWA yang dianggap sebagai musyawarah untuk mufakat dan tertuang dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga NU tersebut?
Tradisi baru pemilihan itu dimulai saat Muktamar Ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur, 2015. Sementara pemilihan rais aam dalam Muktamar Ke-34 NU di Lampung ini juga akan melalui perwakilan dari sembilan ulama sepuh. Nama-nama perwakilan itu akan diusulkan oleh muktamirin atau peserta Muktamar NU.
Sekretaris Panitia Pengarah Muktamar NU Asrorun Niam, Selasa (21/12/2021), mengatakan, ketentuan mengenai pemilihan Rais Aam dan Ketua Umum Pengurus Besar NU telah diatur dalam AD/ART hasil Muktamar Ke-33 NU di Jombang.
Hal itu tertuang dalam Pasal 40 AD/ART NU yang berbunyi, rais aam dipilih secara langsung melalui musyawarah mufakat dengan sistem AHWA. AHWA terdiri atas sembilan ulama yang ditetapkan secara langsung dalam muktamar. Kriteria utama yang dipilih menjadi AHWA adalah berakidah ahlussunah wal jama’ah annahdliyah, bersikap adil, alim, memiliki integritas moral, tawadhu (rendah hati), berpengaruh, dan memiliki pengetahuan untuk memilih pemimpin yang munadzdzim dan muharrik, serta wara’ dan zuhud.
Adapun ketua umum PBNU akan dipilih secara langsung oleh muktamirin melalui musyawarah mufakat atau pemungutan suara dalam muktamar. Sebelumnya, calon harus terlebih dahulu menyampaikan kesediaannya secara lisan atau tertulis dan mendapatkan persetujuan dari rais aam terpilih.
Sebelum diatur dalam AD/ART hasil muktamar ke-33 Jombang, metode pemilihan rais aam itu sempat buntu dan gaduh. Saat itu penjabat sementara Rais Aam PBNU KH Ahmad Mustofa Bisri bersama sejumlah kiai sepuh turun tangan menembus kebuntuan sidang pleno mekanisme pemilihan rais aam tersebut.
Kala itu, Gus Mus mengatakan, dirinya dan para kiai harus memberikan solusi jika pendapat soal pemilihan rais aam tidak bisa disatukan lagi. Muncul dua pendapat mengenai mekanisme pemilihan rais aam, yaitu melalui one man one vote atau dengan sistem perwakilan oleh para rais syuriah. Gus Mus dan para kiai sepuh akhirnya memutuskan untuk melakukan pemilihan rais aam dengan sistem perwakilan.
”Kalau Anda tidak bisa disatukan lagi, saya dengan para kiai memberikan solusi. Kalau bisa musyawarah, kalau tidak bisa pemungutan suara. Itu AD/ART kita. Karena ini urusan rais aam, kiai-kiai akan memilih pemimpin kiai,” ujar Gus Mus (Kompas, 5/8/2015).
Solusi dari Gus Mus dan sejumlah kiai sepuh NU itu pun akhirnya disepakati. Untuk pertama kalinya, mekanisme pemilihan rais aam pada muktamar Jombang diserahkan kepada semua rais syuriah dari pusat, wilayah, hingga cabang.
Kesepakatan di Jombang itu sekaligus mengembalikan sistem musyawarah mufakat pada pemilihan rais aam NU.
Kesepakatan di Jombang itu sekaligus mengembalikan sistem musyawarah mufakat pada pemilihan rais aam NU. Sebelumnya, sejak Muktamar Ke-27 NU di Situbondo, Jawa Timur, hingga muktamar ke-32 di Makassar, Sulawesi Selatan, sistem yang dipakai untuk memilih rais aam adalah sistem voting seperti di parlemen.
Namun, rupanya Muktamar Ke-33 NU di Jombang bisa mengubahnya. Diawali dari penolakan dari Forum Silaturahim Ulama Jawa Timur di Surabaya yang menolak tegas sistem voting pengurus Rais Aam dan Ketua Tanfidziyah PBNU.
Kala itu, Ketua Panitia Daerah Muktamar Ke-33 NU Saifullah Yusuf mengatakan, penggunaan sistem voting adalah siasat yang dibuat oleh KH Abdurrahman Wahid agar tidak diintervensi oleh pemerintah Orde Baru. Untuk menghadang intervensi politik penguasa, Gus Dur menyerahkan wewenang pemilihan rais aam kepada massa di arus bawah.
Menurut Gus Yusuf, sistem voting tidak hanya diterapkan di organisasi kemasyarakatan. Partai politik, termasuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI), juga mencuatkan semangat perlawanan melalui upaya mendorong massa arus bawah agar membuat keputusan sendiri dalam memilih ketua (Kompas, 31/7/2015).
Namun, situasi politik pada tahun 2015 dianggap telah berbeda. Model pemilihan dengan sistem voting di NU justru berakibat buruk dan menghasilkan firqoh-firqoh, kelompok-kelompok, atau geng. AHWA kemudian dinilai dapat mengembalikan sistem pemilihan pada sistem musyawarah mufakat yang sesuai dengan sila keempat Pancasila.
Bagaimana dinamikanya di Muktamar Ke-34 NU ini? Siapa yang akan memegang tampuk kepemimpinan Rais Aam PBNU selama lima tahun ke depan? Publik menanti hasilnya….