Mekarnya Tunas Aswaja di Bhumi Ruwa Jurai
Penyelenggaraan Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama di Lampung adalah momentum membanggakan bagi warga Lampung. Sebab, selama ini Lampung telah menjadi rumah bagi nahdliyin.
Penyelenggaraan Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama di Lampung adalah momentum membanggakan bagi warga Lampung. Selama ini, Lampung telah menjadi rumah bagi nahdliyin yang menganut paham ahlussunnah wal jamaah atau aswaja. Bahkan, sejumlah kalangan mengistilahkan Lampung sebagai ”Jawa Timur-nya Sumatera”.
Ungkapan sebagai ”Jawa Timur-nya Sumatera” itu diamini Mohammad Mukri, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung, yang juga menjadi Ketua Panitia Daerah Muktamar ke-34 NU di Lampung.
Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Lampung itu mengakui eratnya kaitan antara kultur masyarakat Lampung dan praktik beribadah aswaja yang ditumbuhkan NU. Jika Jawa Timur dikenal sebagai kantong nahdliyin (warga NU), di Sumatera ada Lampung yang menjadi rumah mereka.
”Kalau di sini orang lahiran lalu tidak ada selamatan, atau orang meninggal tidak ada yasinan, dan tahlilan, itu suatu masalah. Sebab, itu sudah menjadi kultur warga di sini. Praktik itu menjadi budaya, sekalipun mereka bukan anggota NU. Namun, secara kultural, ada kedekatan antara orang Lampung dan paham aswaja yang dibawa NU,” katanya saat ditemui di kantornya di Gedung Rektorat UIN Raden Intan Lampung, Selasa (21/12/2021), di Bandar Lampung.
Baca Juga: NU Teguhkan Komitmen Bantu Umat dan Bangsa
Lampung yang memiliki motto Sai Bhumi Ruwa Jurai, yakni satu bumi atau rumah tangga agung dengan dua masyarakat atau adat, dikenal sebagai kawasan sosio-kultural yang majemuk. Kawasan ini sejak lama menjadi pertemuan dari berbagai budaya di Nusantara.
Percampuran ini mendorong Lampung menjadi kawasan yang terbuka. Terlebih lagi sejak wilayah ini menjadi lokasi transmigrasi di era kolonial Belanda, yang diteruskan hingga setelah kemerdekaan. Masyarakat Jawa dan Bali menjadi komposisi terbesar dari kelompok transmigran di Lampung. Budaya dan kepercayaan mereka pun turut dibawa serta dalam proses sosialisasi di tempat yang baru di Lampung.
Munculnya kultur aswaja dan pertumbuhan nahdliyin di Lampung tidak dapat dipisahkan dari peran KH Fadhil Amin.
Banyak anak-anak Lampung yang menjadi santri di berbagai pesantren di Jawa, seperti Ploso dan Tebuireng di Jombang (Jawa Timur), hingga Krapyak di Yogyakarta. Sepulang dari pesantren-pesantren itu, mereka mengembangkan ilmunya di kampung halaman dan secara berkelanjutan adab santri dan paham aswaja itu kian mengental dan mengakar di Lampung.
Paham aswaja pada intinya ialah pemahaman yang mengikuti pendapat kelompok ahli tafsir, ahli hadist, dan ahli fiqh. Mereka mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW dan para sahabat khulafaur rasyidin setelahnya.
Munculnya kultur aswaja dan pertumbuhan nahdliyin di Lampung tidak dapat dipisahkan dari peran KH Fadhil Amin. Ila Fadilasari dalam buku Sejarah dan Pertumbuhan NU di Lampung (2021) mencatat, kiai yang mondok di Tebuireng itu adalah murid langsung Hadratus Syekh Hasyim Asyari. Dari tangannya, sejak 1933, jaringan NU secara organisasional berkembang di Lampung. NU sendiri berdiri pada 1926.
Baca Juga: Dari ”Sai Bumi Ruwa Jurai” untuk Dunia
Sekalipun lahir di daerah Sumatera Selatan, kiprah Fadhil Amin ternyata lebih dikenal di Lampung. Ia mendirikan pesantren kecil di Talangpararis (sekarang termasuk Kecamatan Bukit Kemuning, Lampung Utara). Di sana, Fadhil mendidik sekitar 150 santri, baik laki-laki maupun perempuan. Fadhil kemudian mendeklarasikan cabang NU pertama di Lampung, yaitu NU Tanjungraja (sekarang di Lampung Utara). Berturut-turut berdirilah lima cabang NU lainnya di Lampung, yakni di Menggala, Krui, Sukadana, Telukbetung, dan Kotaagung.
Berdirinya cabang-cabang NU itu menjadi tonggak penyebaran paham aswaja di Lampung. Dengan kultur masyarakat yang terbuka dan merupakan tempat pertemuan berbagai macam orang dari beragam budaya, Lampung menjelma sebagai rumah kaum nahdliyin di Sumatera.
Mukri mengatakan, kendati kultur aswaja itu telah menjadi kultur masyarakat Lampung yang dominan, tetapi karakter yang terbuka itu tidaklah luntur. Orang-orang Lampung terbiasa menghadapi perbedaan, dan karakter itu menjadikan Lampung relatif damai dari persoalan yang terkait suku, ras, dan antaragama (SARA).
”Agama mayoritas kedua di Lampung ini adalah Hindu. Jadi, perbedaan itu bukan hal aneh di Lampung,” katanya.
Ila mengatakan, sampai sekarang banyak orang Lampung yang mengirimkan anaknya ”nyantri” ke Jawa. Anak-anak santri itu setelah pulang menyebarkan paham aswaja kepada lingkungannya. ”Begitu seterusnya, sehingga ketika mereka dewasa dan memiliki anak, anaknya dikirim nyantri ke Jawa. Sebaliknya, banyak juga orang Jawa yang datang ke Lampung dengan paham aswaja mereka,” katanya.
Menyambut para pencinta
Siapa menyangka, hampir satu abad kemudian sejak organisasi NU berkembang untuk pertama kalinya di Lampung, wilayah paling ujung selatan Sumatera itu menjadi tuan rumah bagi Muktamar ke-34 NU. Muktamar kali ini pun istimewa karena merupakan muktamar terakhir di 100 tahun pertama NU dan menjadi pembuka bagi abad kedua NU.
Muktamar kali ini pun dilakukan dalam situasi pandemi Covid-19. Penerapan protokol kesehatan menjadi prasyarat utama bagi penyelenggaraan muktamar. Panitia daerah maupun nasional harus berjibaku menyiapkan muktamar yang ”berbeda”.
Baca Juga: NU dan Poros Indonesia
Jika pada muktamar-muktamar sebelumnya lokasi rapat komisi-komisi terpusat di satu tempat, biasanya di pesantren, kini harus dipecah. Pemecahan lokasi muktamar itu dilakukan untuk mengurangi risiko kerumunan orang saat muktamar. Ada empat lokasi muktamar yang tersebar di Pesantren Darussa’adah di Lampung Tengah, dan tiga di antaranya diadakan di kampus di Bandar Lampung, yaitu UIN Raden Intan Lampung, Universitas Lampung, dan Universitas Malahayati.
Penyelenggaraan pun digelar hibrida (campuran) antara dalam jaringan (daring/online) dan luar jaringan (luring/offline). Di setiap lokasi muktamar disediakan layar lebar bagi setiap muktamirin dan muhibbin (para pencinta/simpatisan). Para muhibbin itu datang dengan suka hati dan sukarela untuk menghadiri muktamar.
Jika di dalam muktamar-muktamar sebelumnya para muhibbin itu berjubel di lokasi muktamar dan memadati bazar rakyat, suasana semacam itu tidak ditemui dalam muktamar kali ini.
Jika di dalam muktamar-muktamar sebelumnya para muhibbin itu berjubel di lokasi muktamar dan memadati bazar rakyat, suasana semacam itu tidak ditemui dalam muktamar kali ini. Konsentrasi massa dipecah ke empat lokasi yang berbeda dan mereka juga disibukkan dengan berbagai kegiatan sesuai afiliasi organisasi masing-masing.
Salah satunya Mahfud Junaedi (52), muhibbin dari Wonosobo, Jawa Tengah, yang datang dengan mobil pribadi bersama tiga rekannya. Mereka berangkat dari Wonosobo, Senin (20/12) pukul 22.00 WIB, dan sampai di Lampung pada Selasa subuh.
Baca Juga: Muktamar NU Jangan Tinggalkan Nahdliyin
Mahfud yang sehari-harinya adalah pengajar Jurusan Ilmu Tafsir Al Quran di Universitas Sains Alquran, Wonosobo, itu selain ingin meramaikan muktamar, juga ingin mengikuti pertemuan seluruh anggota Lembaga Perguruan Tinggi NU (LPTNU) di Lampung. ”Kami datang dengan biaya sendiri dan mau bertemu dengan rekan-rekan lainnya anggota LPTNU di Lampung. Nanti kami mengikuti muktamar secara daring,” katanya.
Mahfud dan rekannya mendapatkan penginapan berbiaya ringan di tengah kota. Kendati demikian, ia dan rekan-rekannya merasa kesempatan hadir di Lampung adalah suatu kebahagiaan sebagai nahdliyin.
Mahfud berharap muktamar kali ini akan dapat menghasilkan rekomendasi bagi perkembangan bangsa dan negara, selain juga bagi organisasi NU. Ia khususnya berharap perguruan-perguruan tinggi NU makin berkembang dan dapat menelurkan kaum cendekia Muslim masa depan yang berperspektif maju, terbuka, dan berjiwa toleran.
Hingga Selasa sore, bus-bus yang membawa rombongan muhibbin datang ke Kampus Unila, dan Ponpes Darussa’adah. Para muhibbin itu menginap di sejumlah ponpes di Lampung yang disediakan oleh panitia. Namun, banyak juga dari mereka yang mencari penginapan sendiri.
Ketua Panitia Pengarah (Steering Committee) Daerah KH Soleh Bajuri mengatakan, berbagai silaturahim nasional (silatnas) memang digelar bersamaan dengan muktamar. Ini untuk menghindari kerumunan massa saat muktamar. Pasar rakyat juga digelar di empat lokasi yang berbeda.
Baca Juga: Pemimpin Nahdlatul Ulama Harus Visioner hingga Paham Perkembangan Teknologi
”Ini merupakan cara agar muhibbin bisa mengikuti silatnas sesuai organisasi masing-masing dan tidak berkumpul di lokasi muktamar. Bahkan, silatnas sopir kiai dan nyai pun diadakan agar mereka ini tidak berkerumun saat muktamar,” ujarnya.
Para muhibbin itu pun diwajibkan mengikuti tes antigen dan minimal sudah menerima vaksin tahap pertama.
Menjadi tuan rumah bagi muktamar NU adalah kebanggaan bagi Lampung.
Mukri mengatakan, pihaknya siap menyelenggarakan muktamar sekalipun di tengah pandemi. Menjadi tuan rumah bagi muktamar NU adalah kebanggaan bagi Lampung. ”Belum tentu 100 tahun lagi kami bisa menjadi tuan rumah bagi NU. Ini suatu kebanggaan bagi kami, dan kesuksesan penyelenggaraan acara ini bagian dari pertaruhan harga diri orang Lampung,” ucapnya.
Dengan mengusung tema ”Menuju Satu Abad NU: Membangun Kemandirian Warga untuk Perdamaian Dunia”, muktamar kali ini diharapkan bisa menjadi pijakan bagi kemandirian NU dan nahdliyin, utamanya di bidang ekonomi.