Selain KH Said Aqil Siroj dan Yahya Cholil Staquf, Marzuki Mustamar juga diusulkan sebagai ketua umum PBNU. Namun, apakah nama-nama itu yang akan muncul di muktamar, sangat bergantung pada dinamika internal muktamar.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai hal mungkin saja terjadi dalam Muktamar Nahdlatul Ulama, termasuk musyawarah mufakat dalam pemilihan ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Sejumlah nama telah mengemuka sebagai calon ketua umum PBNU, tetapi apakah nama-nama itu yang akan muncul di dalam muktamar, hal tersebut sepenuhnya bergantung pada muktamirin dan dinamika internal di dalam muktamar.
Wakil Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) Kacung Marijan mengatakan, sekalipun saat ini ada sejumlah nama muncul dan disebut-sebut akan menjadi kandidat ketua umum PBNU, banyak kemungkinan yang akan terjadi di dalam muktamar. Sebab, dinamika itu akan ditentukan oleh muktamirin.
”Ini sebenarnya istilahnya bukan kontestasi, tetapi mencari figur terbaik untuk memimpin NU. Untuk mencapai itu, tentu harus ada seleksi. Basis seleksi itu, kan, ada persyaratan yang harus dipenuhi. Misalnya, yang boleh menjadi ketum haruslah orang yang pernah menjadi pengurus. Nanti dari seleksi itu muncul lima atau enam nama, misalnya, yang memenuhi syarat, nanti dilihat mana dari mereka yang bersedia karena meski memenuhi syarat belum tentu mereka bersedia,” kata Kacung menanggapi maraknya nama-nama yang muncul sebagai calon ketum PBNU, saat dihubungi, Sabtu (18/12/2021), dari Jakarta.
Dalam beberapa waktu terakhir, muncul dua nama yang santer digadang-gadang sebagai calon ketua umum PBNU, yakni petahana KH Said Aqil Siroj dan Katib Aam PBNU Yahya Cholil Staquf. Said telah mendeklarasikan diri siap maju sebagai ketum PBNU. Said menyebut sikap itu sebagai jawaban atas permintaan dari para kiai sepuh yang mendorongnya untuk kembali memimpin PBNU lima tahun mendatang. Said telah dua periode memimpin PBNU.
Sementara itu, Yahya Cholil Staquf belum mendeklarasikan diri kendati telah mendapatkan dukungan dari sejumlah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU). Salah satunya yang paling awal menyatakan dukungan kepada Yahya ialah PWNU Jawa Timur.
Selain kedua tokoh itu, muncul pula nama Ketua PWNU Jatim KH Marzuki Mustamar yang diusulkan oleh Gawagis Penjaga Nahdlatul Ulama (GPNU). Ada pula nama Jusuf Kalla yang kini menjadi Mustasyar PBNU.
Selain kedua tokoh itu, muncul pula nama Ketua PWNU Jatim KH Marzuki Mustamar yang diusulkan oleh Gawagis Penjaga Nahdlatul Ulama (GPNU).
Kacung mengatakan, munculnya nama-nama itu wajar saja dalam proses seleksi. Namun, pada praktiknya nanti di Muktamar NU banyak kemungkinan yang bisa terjadi. ”Bisa saja nanti mengerucut kepada satu orang dan akhirnya disepakati musyawarah mufakat. Itu adalah hal yang biasa di NU. Bahkan, di NU dulu itu saling tidak mau menjadi Ketum PBNU, sekalipun sama-sama memiliki kompetensi dan dukungan. Tetapi, ketika diminta dan organisasi harus jalan, maka harus ada yang menjadi ketua, baik rais aam maupun ketum tanfidziyah,” ujar Guru Besar Ilmu Perbandingan Sistem Politik Universitas Airlangga (Unair) itu.
Khusus untuk pemilihan Rais Aam PBNU, pemilihannya dilakukan melalui mekanisme ahlul halli wal aqdi (AHWA). AHWA ini adalah lembaga formatur yang terdiri atas sembilan kiai otoritatif yang dipilih oleh pengurus wilayah dan pengurus cabang. Adapun pemilihan Ketum PBNU dipilih oleh pengurus cabang dan pengurus wilayah. Sekitar 560 pengurus cabang dan wilayah NU memiliki hak suara untuk memilih Ketum PBNU.
Kendati demikian, Kacung mengatakan, tradisi pemilihan pemimpin di tubuh NU berbeda dengan pemilihan organisasi lainnya. Seorang ketum boleh jadi tidak dipilih dengan suara terbanyak, tetapi musyawarah mufakat. Oleh karena itu, ketika saat ini banyak nama yang muncul disebut-sebut sebagai calon ketum PBNU dipandang sebagai hal yang wajar. Pada saat muktamar, muktamirin yang menentukan siapa yang akan menjadi ketum PBNU, apakah melalui penghitungan suara dari cabang dan wilayah ataukah mengerucut pada satu nama aklamasi.
”Bisa dimungkinkan, tidak harus voting, dan itu diatur sah di dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART), tidak ada masalah,” katanya.
Hal terpenting dalam muktamar itu ialah aspirasi dari daerah terwadahi. Muktamar NU kali ini pun diharapkan berlangsung damai. ”Siapa pun yang terpilih akan didukung dan siapa yang kalah juga tidak sakit hati. Semuanya sama-sama dalam satu barisan untuk membesarkan NU,” kata Kacung.
Taat organisasi
Sementara itu, dalam keterangan resminya, Ketua PWNU Jatim Marzuki Mustamar menyatakan dirinya taat pada keputusan organisasi. Menanggapi munculnya dukungan kepada dirinya untuk maju sebagai calon ketum PBNU, Marzuki mengatakan dirinya tidak menginginkan Jatim gaduh. Sebelumnya, PWNU Jatim telah mengeluarkan surat keputusan yang juga ditandatangani Marzuki untuk mendukung Yahya dalam muktamar di Lampung.
”Saya perlu menegaskan, taat organisasi itu penting. Menjaga keputusan organisasi penting sehingga meskipun ada dukungan, atau deklarasi, kami di Jatim tetap ingin Jatim tidak gaduh. Saya atau siapa pun tidak menyuarakan calon lain seperti disebutkan di dalam keputusan organisasi,” katanya.
Perkara di arena muktamar, saya, Kiai Said, Gus Yahya, atau yang lain, ada tiga atau empat orang, semua menjadi calon, lalu rais syuriah meridai tentu tidak etis menolaknya. (Marzuki)
Marzuki mengatakan, siapa yang akan maju dalam muktamar, akan ditentukan oleh rida rais syuriah dan muktamirin. Apakah dirinya, Yahya, atau Said, itu akan bergantung pada rida rais syuriah dan permintaan muktamirin.
”Perkara di arena muktamar, saya, Kiai Said, Gus Yahya, atau yang lain, ada tiga atau empat orang, semua menjadi calon, lalu rais syuriah meridai tentu tidak etis menolaknya. Kiai Said tidak etis menolak ridanya rais syuriah, Gus Yahya juga tidak etis menolak ridanya syuriah. Saya pun tidak etis menolak keinginan muktamirin, apalagi juga menolak ridanya rais syuriah. Asal muktamirin menghendaki, rais syuriah meridai, tentu kami siap melakukan itu,” kata Marzuki.