Penegakan Hukum Kasus Paniai Jadi Pintu Masuk Perdamaian di Papua
Jika kasus pelanggaran HAM berat Paniai, Papua, bisa diusut tuntas dan pelakunya dihukum, kepercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah pun akan pulih. Ini menjadi jalan untuk perdamaian di Papua.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proses hukum terhadap dugaan peristiwa pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi di Paniai, Papua, pada 2014 menjadi pertaruhan pemerintah untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat Papua dan memulai dialog damai di sana. Komitmen Presiden untuk menuntaskan perkara tersebut dinilai menjadi kunci penyelesaian.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik ketika dihubungi, Jumat (17/12/2021), mengatakan, komitmen Presiden menjadi yang utama dalam penuntasan dugaan peristiwa pelanggaran HAM berat di Paniai yang kini tengah disidik tim penyidik Kejaksaan Agung. Ia melihat komitmen itu ditunjukkan Presiden.
”Yang paling kuat saya lihat komitmen dari Presiden. Ada kemauan dari Presiden agar Jaksa Agung meneruskan langkah lanjutan dari tahap penyelidikan ke penyidikan,” kata Ahmad.
Menurut Ahmad, komitmen Presiden penting untuk mendorong keterbukaan dari aparat militer ataupun aparat keamanan. Dengan keterbukaan tersebut, tim penyidik dari Kejaksaan Agung akan menjadi lebih mudah mencari saksi-saksi, data, serta alat bukti yang lebih komprehensif.
Di sisi lain, menurut Ahmad, proses hukum terhadap dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi di Paniai pada 2014 merupakan langkah yang sangat penting sebagai pintu masuk untuk melakukan dialog perdamaian di tanah Papua. Sebab, ketika peristiwa Paniai dapat dituntaskan dengan penegakan hukum secara tegas, kepercayaan dari masyarakat Papua terhadap pemerintah akan tumbuh.
Dengan demikian, pendekatan keamanan yang selama ini diterapkan di Papua diharapkan dapat digantikan dengan dialog perdamaian. Tidak hanya itu, dengan penuntasan peristiwa Paniai, kepercayaan dunia internasional kepada Pemerintah Indonesia akan meningkat.
”Peristiwa kekerasan yang meningkat beberapa waktu terakhir di Papua tentu menimbulkan kekhawatiran dunia internasional. Kalau ini bisa diselesaikan dengan sangat baik, tentu kepercayaan internasional itu akan meningkat. Kita sudah punya pengalaman luar biasa dalam menyelesaikan konflik dan membangun Aceh,” tutur Ahmad.
Terkait penyidikan kasus Paniai oleh Kejaksaan Agung, Ahmad mengaku pihaknya telah dikontak tim penyidik yang berencana akan berkoordinasi dengan Komnas HAM Perwakilan Papua. Ahmad juga telah meminta agar Komnas HAM Perwakilan Papua memberikan akses yang luas bagi tim penyidik.
Meski demikian, kata Ahmad, ia mendengar bahwa ada keraguan dari pihak keluarga korban terhadap penyidikan tersebut. Oleh karena itu, Ahmad berharap para tokoh masyarakat di Papua turut membantu meyakinkan mereka.
Awal Desember lalu, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin telah membentuk tim penyidik kasus dugaan peristiwa pelanggaran HAM berat di Paniai. Tim penyidik tersebut terdiri dari 22 jaksa senior dengan dipimpin jaksa agung muda tindak pidana khusus. Adapun Peristiwa Paniai terjadi pada 7-8 Desember 2014. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan, peristiwa yang memakan korban 4 orang meninggal dan 21 orang terluka itu sebagai kasus pelanggaran HAM berat.
Secara terpisah, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo menyatakan, LPSK dapat memberikan layanan perlindungan baik bagi saksi ataupun keluarga korban kasus Paniai. Layanan perlindungan itu dapat diberikan baik di tahap penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan.
”Layanan tersebut bisa diajukan. Namun, kalau dalam berjalannya proses hukum tersebut kami menilai bahwa LPSK perlu untuk memberikan layanan entah kepada korban ataupun saksi, LPSK akan datang untuk menawarkannya. Jadi, tidak harus menunggu permintaan,” tutur Hasto.
Selain memberikan perlindungan, LPSK dapat memberikan bantuan bagi korban berupa bantuan medis, psikologis, ataupun psikososial. LPSK juga dapat mengajukan kompensasi bagi korban ke tuntutan jaksa penuntut umum.
Menurut Hasto, berbeda dari proses hukum terhadap tiga peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah disidangkan belasan tahun silam, yakni peristiwa Abepura, Tanjung Priok, dan Timor Timur, proses hukum terhadap dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai dilangsungkan di masa keterbukaan informasi. Dengan era yang lebih terbuka ini, Hasto berharap bahwa proses hukum peristiwa Paniai dapat berjalan secara transparan dan akuntabel.
”Jadi, masyarakat bisa mengontrol dan mudah-mudahan bisa tercapai proses pengadilan yang layak,” kata Hasto.
Mencegah kekerasan
Dalam khotbah pada shalat Jumat virtual bertajuk ”Memperjelas Arah Hukum dan Keamanan di Papua”, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, para pembuat kebijakan perlu lebih serius dalam menyikapi situasi keamanan di Papua. Caranya adalah dengan mencegah penggunaan kekuatan yang berlebihan serta kembali menggunakan penegakan hukum yang jujur dan adil.
Ketika pemerintah menyematkan status ”organisasi teroris” kepada kelompok yang dinamakan oleh pemerintah sendiri sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKP), kelompok separatis bersenjata (KSB), atau kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB), itu sama halnya dengan menyematkan label pada suatu organisasi yang sebenarnya tidak ada. Sebab, memang tidak ada organisasi di Papua yang menggunakan nama tersebut.
”Istilah ini lebih mirip dengan istilah gerakan pengacau keamanan (GPK) yang pernah berlaku di Aceh, Papua, dan Timor Timur pada masa Orde Baru untuk menyebut siapa saja yang dianggap melawan negara tanpa membedakan skala ancaman tersebut,” kata Usman.
Menurut Usman, apa pun pilihan kebijakan untuk menyikapi tuntutan kemerdekaan Papua, pemerintah perlu membuat pembedaan antara tuntutan kemerdekaan yang disampaikan secara damai dan tuntutan yang dilakukan melalui penggunaan bersenjata. Hal itu penting untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM.