Kegagalan Masa Lalu Membayangi Penegakan Hukum Kasus HAM Paniai
Putusan bebas para terduga pelaku pelanggaran HAM berat dalam kasus Abepura, Tanjung Priok, dan Timor Timur membayangi penegakan hukum kasus HAM berat Paniai. Kejaksaan dan pengadilan dituntut progresif.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Putusan bebas para terduga pelaku pelanggaran hak asasi manusia berat, seperti terjadi pada kasus Abepura, Tanjung Priok, dan Timor Timur, dikhawatirkan kembali terulang pada kasus Paniai. Untuk mencegah hal tersebut, dibutuhkan pendekatan yang berorientasi pada pemenuhan hak korban dan dukungan politik yang kuat.
Indonesia telah menyidangkan tiga kasus pelanggaran HAM berat, yakni peristiwa Tanjung Priok, Abepura, dan Timor Timur. Namun, tak ada satu pun terdakwa yang divonis bersalah oleh pengadilan.
Kini, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin telah membentuk tim penyidik dugaan peristiwa pelanggaran HAM berat di Paniai yang terjadi pada 7-8 Desember 2014. Peristiwa itu mengakibatkan empat orang meninggal dan 21 orang lainnya terluka.
Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak ketika dihubungi, Rabu (15/12/2021), berpandangan, apabila proses hukum terhadap peristiwa Paniai dilakukan secara konvensional dengan hukum acara yang mementingkan syarat formil dan materiil, bisa jadi proses hukum bakal buntu. Sebab, penyidik juga akan kesulitan memenuhi syarat formil dan materiilnya.
Untuk mencegah kebuntuan betul-betul terjadi, pendekatan yang progresif sangat penting. Artinya, orientasi penegakan hukum tidak hanya didasarkan pada syarat formil yang sulit untuk dilengkapi, tetapi juga pada hati nurani untuk melihat bahwa telah terjadi peristiwa yang melanggar HAM. Karena peristiwa pelanggaran HAM berat adalah kejahatan yang sangat serius dan berbeda dari kejahatan biasa, yang diuji adalah substansinya.
”Yang terpenting adalah keadilan dan kebenarannya, bukan hanya syarat formil dan materiil. Kurang lebihnya, kalau ada yang kurang, jangan lantas tidak melakukan penegakan keadilan dan kebenaran,” kata Barita.
Tak cukup hanya itu, persepsi yang sama hendaknya dibangun pula pada hakim yang kelak menyidangkan perkara tersebut.
”Disebut hukum progresif, kalau proses hukum kurang bisa menangkap, lihatlah masyarakat untuk meyakini apa yang telah terjadi. Kalau masyarakat bersikap mendukung, kita tinggalkan hal-hal yang formalistik dan legalistik dengan memberikan dukungan agar penyelesaian ini dapat dilakukan. Kita perlu penuntutan dan pengadilan yang progresif, dan ini sudah digunakan dalam perspektif hukum HAM,” kata Barita.
Sejauh ini, lanjut Barita, Jaksa Agung telah menyatakan kepada Komisi Kejaksaan untuk menuntaskan peristiwa pelanggaran HAM berat. Barita pun memastikan bahwa Komisi Kejaksaan akan terus mengawasi dan berkomunikasi dengan Jaksa Agung jika ada kendala.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar berpandangan, jika belajar dari proses hukum terhadap peristiwa Abepura, para ahli telah banyak yang mengatakan bahwa itu sebagai pengadilan pura-pura. Sebab, sedari awal sudah bisa diprediksi bahwa terduga pelaku akan diputus bebas. Pengadilan pun hanya menjadi proses formal bahwa negara telah mengambil tindakan.
Meski demikian, esensi dari penuntasan peristiwa pelanggaran HAM berat adalah pemenuhan terhadap hak-hak korban yang salah satunya adalah hak atas keadilan. Hak tersebut akan menjadi pembuka jalan untuk pemenuhan hak-hak berikutnya, termasuk pemulihan.
”Semisal, pada peristiwa Tanjung Priok, pada pengadilan tingkat pertama, korban dinyatakan berhak mendapat restitusi. Namun, ketika pada tingkat kasasi terduga pelaku diputus bebas, korban tidak mendapat restitusi. Padahal, secara faktual, peristiwa itu terjadi dan ada korban,” tutur Wahyudi.
Untuk menghindari hal itu, menurut Wahyudi, Jaksa Agung dalam pembuktian harus lebih rinci dalam menghadirkan semua bukti dan saksi. Belajar dari tiga kasus sebelumnya, mesti dipastikan agar pengadilan bukan hanya sebatas mekanisme formal, melainkan juga mekanisme untuk menghadirkan keadilan bagi korban. Terlebih pemerintah telah menyatakan, peristiwa Paniai lebih dekat secara waktu sehingga saksi-saksi masih ada.
Menurut Wahyudi, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memang memiliki keterbatasan, khususnya terkait hukum acaranya sehingga proses ataupun hasil dalam setiap proses hukumnya menjadi tidak optimal. Namun, yang berbeda dari periode sebelumnya, saat ini Indonesia telah memiliki Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang dapat memberikan perlindungan maksimal bagi saksi maupun korban.
Faktor lain yang juga penting adalah dukungan politik dari rezim yang berkuasa. Sebab, peristiwa Paniai terjadi di rezim yang saat ini masih berkuasa dan akan diproses hukum oleh rezim yang sama.
”Maka, dugaan berupa kekhawatiran bahwa proses hukum ini nantinya hanya sebatas proses formil belaka akan sangat besar,” ujar Wahyudi.
Dalam kesempatan terpisah, pengajar Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang P Wiratraman, berpandangan, pihak Kejaksaan Agung harus berkomunikasi secara intensif dengan aparat penegak hukum lainnya, khususnya Komnas HAM selaku penyelidik peristiwa pelanggaran HAM berat. Hal itu diperlukan untuk mengatasi hambatan teknis di lapangan.
Selain itu, kata Herlambang, dengan dukungan politis dari Presiden, maka seharusnya tim penyidik yang dibentuk Jaksa Agung tersebut tidak ragu lagi dalam menyidik dugaan keterlibatan aktor negara maupun aktor pemilik modal yang terkait dalam peristiwa Paniai. Untuk mekanisme pembuktiannya, maka diperlukan upaya yang lebih maju dengan mekanisme yang luar biasa.
”Kita ini punya problem ketika hukum acaranya masih konvensional, maka penyelesaian kasus menjadi tidak optimal sehingga pengadilan HAM hanya menjadi wastafel atau tempat membersihkan noda. Supaya tidak begitu, upaya penyelesaian itu harus mengacu pada standar hukum HAM internasional, misal pendekatan hukum yang mengembangkan doktrin baru terkait dengan kejahatan kemanusiaan,” tutur Herlambang.
Terkait alasan peristiwa Paniai yang diproses hukum karena waktu terjadinya relatif dekat sehingga saksi-saksi masih hidup, bagi Herlambang, hal itu dinilainya tidak tepat. Pemerintah mestinya tidak pilih-pilih karena dengan memilih, maka terjadi penundaan keadilan sehingga terjadi ketidakadilan.
Alasan bahwa untuk peristiwa yang sudah lama akan kesulitan mencari alat bukti dan saksi dinilai hanya alasan politik. Sebab, di sisi lain, hukum sudah memiliki mekanisme standar dalam memproses suatu perkara, termasuk untuk perkara yang sudah lama terjadi. Terlebih peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lampau tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga negara-negara lain yang ternyata dapat dituntaskan.