Kembali ke Khittah 1926, NU Diharap Fokus dalam Politik Kebangsaan
Muktamar ke-34 NU diharapkan menjadi momentum untuk membangkitkan semangat kembali ke Khittah 1926. Organisasi kaum nahdliyin itu semestinya lebih berperan dalam politik kebangsaan, bukan politik praktis.
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keterlibatan Nahdlatul Ulama dalam politik haruslah dalam koridor politik kebangsaan dan kenegaraan, tidak semata-mata politik praktis. Peran NU diperlukan sebagai penyeimbang dan jangkar dalam demokrasi, kendati peran-peran sosial dan kemasyarakatan NU juga harus tetap dijaga.
Kader NU yang juga aktif di Partai Solidaritas Indonesia (PSI) M Guntur Romli mengatakan, Muktamar Ke-34 NU di Lampung haruslah kembali memperkuat posisi NU untuk kembali ke khittah atau landasan dasar perjuangan. Artinya, NU merupakan organisasi kemasyarakatan, yang bergerak dalam persoalan kemanusiaan, sosial, dan agama, serta bukan merupakan organisasi yang bergerak di politik praktis.
”NU yang selalu ada di dalam pusaran politik itu efeknya kurang bagus buat NU. Semestinya NU, menurut bahasa KH Salah Mahfudz, itu kan memiliki peran politik kerakyatan, kenegaraan, membela bangsa, resolusi jihad, dan menerima asas tunggal Pancasila. Bukan politik praktis,” katanya dalam diskusi ”Panas Muktamar NU dalam Persimpangan Jalan Menuju 2024,” Minggu (12/12/2021) di Jakarta.
Sebagai organisasi kemasyarakatan, lanjut Guntur, NU semestinya berkutat dengan isu-isu kerakyatan, seperti pendidikan dan pelayanan ekonomi masyarakat. Kekuatan inilah yang perlu dikembalikan kepada NU, yakni sebagai kekuatan kultural dan masyarakat. ”Hal ini tidak bisa dijaga kecuali NU berdiri di atas semua golongan politik, dan berkomitmen dalam politik kenegaraan, kebangsaan, dan kerakyatan itu,” katanya.
Untuk itu menurut Guntur, KH Yahya Cholil Staquf, yang juga Katib Aam PBNU, layak untuk dijadikan Ketua Umum PBNU selanjutnya. Sebab, regenerasi di tubuh NU diperlukan untuk menghidupkan lagi semangat kembali ke khittah. ”Posisi Rais Aam dan Ketua Umum PBNU sebaiknya tidak menjadi pijakan untuk posisi presiden atau wakil presiden,” katanya.
Guntur menilai, Yahya memiliki komitmen untuk membawa NU kembali ke khittah. Hal ini juga sesuai tradisi NU yang menempatkan Rais Aam sebagai pemimpin tertinggi. Rais Aam juga dijabat seumur hidup, sekalipun ketentuan itu tidak tercantum di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PBNU. KH Ma’ruf Amin yang kini menjadi wapres, sebelumnya adalah Rais Aam PBNU. Setelah menjadi wapres, posisinya digantikan KH Miftachul Akhyar sebagai penjabat Rais Aam PBNU.
”Kalau beliau tidak menjadi wapres, tentu Kiai Ma’ruf menjadi Rais Aam seumur hidup,” katanya.
Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad, mengatakan, NU adalah organisasi besar, dan hal itu merupakan modal penting dalam politik. Dalam sejarahnya, NU juga pernah menjadi partai politik. Oleh karena itu, melepaskan NU sepenuhnya dari politik dinilai sulit.
”Pertama, NU ini organisasi besar sehingga sangat menarik dan memiliki kekuatan politik yang besar pula. Dalam sejarahnya juga penuh dengan pergulatan politik. Di zaman Orba juga ada pergulatan politik NU, sekalipun bukan merupakan parpol, tetapi sikap NU itu sangat politis karena melawan rezim berkuasa. Jadi, dalam sejarahnya, NU tidak pernah benar-benar keluar dari politik,” ujarnya.
Untuk menempatkan NU benar-benar netral terhadap politik, itu dipandang sebagai sesuatu yang utopis. Di sisi lain, organisasi seperi NU juga dibutuhkan untuk terlibat dalam politik. ”Dari kacamata lain, kalau NU tidak terlibat dalam politik justru bermasalah. Karena NU ini jangkar demokrasi Indonesia. Indonesia bisa stabil semacam ini juga karena kultur NU yang moderat dan tidak ekstrem. Wajah Islam kita yang moderat dan menerima perbedaan, salah satunya disebabkan oleh NU,” kata Saidiman.
Selain itu jika NU benar-benar keluar dari politik, ruang pengambilan kebijakan dikhawatirkan justru diisi oleh pandangan Islam yang ekstrem dan keras. Menurut Saidiman, untuk melihat keterlibatan NU dalam politik ini harus dengan kacamata yang tidak hitam putih. Pertama, karena tidak mungkin NU keluar sepenuhnya dari politik. Kedua, peran NU cukup baik, massanya banyak, dan cara berpikirnya moderat, yang mana hal itu penting untuk demokrasi di Indonesia.
”Saya tidak bisa membayangkan kalau NU tidak ada, wajah politik Islam kita akan dikuasai oleh kelompok garis keras,” katanya.
Terlepas dari perdebatan apakah NU sebaiknya masuk politik ataukah tidak, menurut Saidiman, sepanjang NU tetap mendorong semangat moderatisme, spirit keislaman yang menjunjung keberagaman, itu sudah merupakan sumbangan yang penting bagi Indonesia.
Dari kacamata lain, kalau NU tidak terlibat dalam politik justru bermasalah. Karena NU ini jangkar demokrasi Indonesia. Indonesia bisa stabil semacam ini juga karena kultur NU yang moderat dan tidak ekstrem. Wajah Islam kita yang moderat dan menerima perbedaan, salah satunya disebabkan oleh NU.
Dalam kontestasi politik tahun 2019, diakui Saidiman, memang ada gerakan politik yang dibangun di Kramat Raya, yakni dengan terpilihnya KH Ma’ruf Amin sebagai wapres mendampingi Joko Widodo. Sebelum nama Ma’ruf muncul, nama Mahfud MD mencuat, tetapi dalam hitungan jam, penghitungan itu meleset. ”Secara tidak langsung, ada gerakan dari Kramat Raya dalam politik ketika itu,” katanya.
Pastikan maju
Sebelumnya, Rabu lalu, KH Said Aqil Siroj memastikan akan maju dalam kontestasi pemilihan Ketum PBNU pada Muktamar Ke-34. Said mengaku telah mendapatkan dukungan dari sejumlah kiai sepuh, seperti KH Turmudzi dari Lombok, Habib Luthfi bin Yahya dari Pekalongan, KH Muhtadi dari Banten, KH Dimyati Rois dari Kendal, KH Ali Mashuri dari Sidoarjo, dan KH Basuni dari Tasikmalaya.
”Setelah datangnya permintaan dari kiai, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) seluruh Indonesia dan PCNU, saya berpikir panjang dan bertafakur apakah permintaan itu saya ikuti atau tidak. Saya istikharah dan ziarah ke Luar Batang, Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Syaikhona Bangkalan, Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Bisri Syansuri, Gus Dur. Setelah cukup ke para aulia itu, saya mendapatkan ketenangan hati dan ketetapan hati, saya menerima perintah dari kiai sepuh itu,” katanya dalam keterangan resminya.
Sementara itu, panitia Muktamar NU ke-34 terus menyiapkan muktamar yang akan digelar pada 23-25 Desember 2021. Ketua Panitia Pelaksana Muktamar, Imam Aziz, mengatakan, perhelatan muktamar akan tetap menjalankan protokol kesehatan yang ketat untuk mencegah penyebaran Covid-19.
”Imbauan untuk warga NU supaya tidak perlu melakukan perjalanan guna menyaksikan secara langsung perhelatan Muktamar Ke-34 NU di Lampung,” katanya.
Imbauan itu disampaikan untuk menghindari terjadinya konsentrasi massa di pusat penyelenggaraan Muktamar NU. Namun, agar warga NU tetap bisa menyaksikan perhelatan muktamar, panitia menyediakan fasilitas siaran langsung (live streaming).