Memaknai NU dan Kontestasi Internal Organisasi Kaum Nahdliyin
NU akan menggelar muktamar pada 23-25 Desember 2021. Forum tertinggi organisasi Nahdliyin itu diharapkan tak hanya menghasilkan ketua umum, tetapi juga rumusan bagaimana membawa NU menjadi organisasi maju dan modern.
Kontestasi di tubuh Nahdlatul Ulama tak kalah menarik dibandingkan dengan kontestasi politik. Sebagai organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Tanah Air, Nahdlatul Ulama juga memiliki sisi-sisi politik yang kuat dalam sejarahnya. Namun, kontestasi dalam tubuh NU sebenarnya adalah perjuangan mewujudkan kemaslahatan bagi umat dan bangsa.
Sejarah bangsa pun mencatat NU pernah mendudukkan seorang presiden di Republik Indonesia. Adalah KH Abdurrahman Wahid, nahdliyin ”tulen”, yang pertama kali menjabat sebagai presiden. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, tidak hanya petinggi NU di struktural, tetapi juga secara kultural lahir dari rahim NU. Kakeknya, KH Hasyim Asy’ari adalah pendiri NU. Gus Dur pun besar dalam tradisi pesantren yang kental.
Dalam bukunya yang berjudul Menggerakkan Tradisi, Gus Dur menyebut pesantren sebagai suatu entitas pendidikan yang memiliki gaya atau coraknya sendiri. Pesantren, sekalipun pada dasarnya merupakan sebuah lembaga pendidikan Islam, tetapi memiliki beberapa fungsi lain yang tidak kalah penting. Pada kenyataannya, pesantren merupakan tempat terjadinya hubungan timbal balik dan komunikasi secara kultural dengan masyarakat. Pesantren juga merupakan tempat pemupukan solidaritas masyarakat.
Di atas basis karakter pesantren yang khas inilah NU berdiri. Sebagai sebuah jamiyah pembaharu, NU lahir di tengah disrupsi dunia Islam. Pada saat kelahirannya, 1926, NU diliputi dengan perkembangan umat mutakhir. Runtuhnya kekhalifan Turki Ustmani pada 1924 di tangan Mustafa Kemal Pasha Attaturk menandai era perubahan di dunia Islam.
Tak dapat dimungkiri, NU adalah anak zaman yang berubah, menggeliat, dan mencari bentuk barunya. Kecendekiawanan para muasis atau pendiri NU yang membawa adagium ”hubbul wathan minal iman” atau cinta Tanah Air sebagai bagian dari iman adalah kunci zaman baru itu.
Dalam bukunya yang berjudul Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Khatib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf menuliskan bagaimana NU lahir untuk merespons zaman yang berubah. Kelihaian para muasis NU menjadikan perjuangan Islam itu terus relevan, bahkan ketika salah satu ikonnya, kekhalifahan Turki Ustmani, roboh.
”Hubbul wathan minal iman” yang dicetuskan oleh KH Hasyim Asy’ari adalah sebuah mantra yang sangat sahih menegaskan keterlibatan iman Islam dalam pembentukan negara bangsa. Bukan kekhalifan atau kesultanan, melainkan suatu nation, negara bangsa, tumpah darah. Di mana kaki dipijak, di situ bumi dijunjung.
Perjuangan mencintai Tanah Air itulah yang mendasari keterlibatan NU dalam Revolusi Jihad, 22 Oktober 1945. Kelompok pejuang Islam, Hizbullah, turut aktif melawan penjajah yang ingin menduduki Indonesia. Revolusi itu turut menyokong perjuangan arek-arek Suroboyo dalam pertempuran heroik 10 November 1945 yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Dalam perjalanannya, NU melalui jaringan pendidikan pesantrennya memupuk kecintaan pada Bumi Pertiwi. Kondisi itu mewujud pada hubungan kultural antara masyarakat dan pesantren, antara kiai dan santrinya, dan antara Islam dan keindonesiaannya.
Hubungan baik itu dimungkinkan karena afirmasi terhadap tradisi dan budaya. NU tak pernah mengingkari basis tradisi masyarakat. Tradisi, budaya, kesenian, dan sastra adalah infrastruktur bagi Islam di Tanah Air. Pujian-pujian dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW ditembangkan dalam kidung-kidung Jawa yang syahdu, syair-syair digubah dengan refleksi Islam, doa-doa, dan tradisi yang acap kali magis. Demikian halnya wayang yang bermanifestasi menjadi tuntunan menuju kebaikan dan keselamatan sebagaimana tujuan Islam itu sendiri. Belum lagi praktik selamatan dan syukuran dalam setiap fase kehidupan masyarakat. Semuanya itu dijalani dan disertai dengan doa-doa.
”Kiai-kiai kampung itu jangan diremehkan. Mereka sebenarnya sedang membangun nation character. Ketika ada orang bertikai, kiai kampung bilang, ’jangan bertengkar, yang sabar ya’. Ketika ada yang sunatan, kiai kampung datang mendoakan. Ketika ada yang lahiran, kiai kampung itulah yang mengantarkan doa dan syukur,” kata KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum PBNU dalam satu kesempatan wawancara.
Baca juga: Islam Nusantara Tidak Mengubah Esensi Ajaran Islam
Budaya itulah, menurut Kiai Said, yang menjadi roh Islam di Nusantara. Budaya menjadi infrastruktur kuat bagi Islam di Indonesia yang membedakannya dengan Islam di negara lain. Karena itu, istilah ”Islam Nusantara” menjadi suatu istilah yang dipilih untuk menggambarkan karakter khas Islam di Indonesia. Agaknya istilah itu terkesan ”memprovokasi” atau ”eksklusif dan membeda-bedakan Islam. Namun, Islam Nusantara tak lebih dimaknai sebagai Islam di Indonesia dengan karakternya yang khas, dengan budaya dan tradisinya.
Unsur politik
Kini, hampir satu abad usia NU. Dinamika di tubuh NU terus terjadi. Organisasi para Nahdliyin itu tak absen dalam gerak langkah bangsa di berbagai bidang, baik sosial, ekonomi, politik, maupun kebudayaan. Di bidang politik, mau tidak mau, NU menjadi unsur penting politik nasional. Mustasyar PBNU KH Ma’ruf Amin, bahkan, kini menjadi wakil presiden.
Dengan modal sosial dan kultural yang dibangunnya selama ini, NU memiliki jamiyah dengan anggota yang besar. Sekalipun mayoritas dari Nahdliyin itu tidak memiliki kartu anggota, tetapi mereka lahir batin ndherek (ikut dan patuh) NU. Praktik beribadah yang mengikuti tradisi dan budaya terus dijalani serta dilestarikan.
Tidak heran, setiap kali pemilu, Nahdliyin menjadi salah satu ”pasar” bagi perebutan kekuasaan. Dengan komposisi mayoritas Muslim Indonesia adalah NU secara kultural, modal sosial itu bisa dengan mudah dimanifestasikan sebagai kapital politik untuk meraih keuntungan elektoral.
Dalam situasi politik itulah, tarik-menarik terus menggelayuti organisasi NU. Sebagai institusi yang besar, memiliki modal sosial dan modal kultural, suara NU selalu didengar oleh pembuat kebijakan.
Para kiai-kiai kampung itu jangan diremehkan. Mereka sebenarnya sedang membangun nation character. Ketika ada orang bertikai, kiai kampung bilang, ’jangan bertengkar, yang sabar ya’. Ketika ada yang sunatan, kiai kampung datang mendoakan. Ketika ada yang lahiran, kiai kampung itulah yang mengantarkan doa dan syukur
Belum lagi kader-kader NU tersebar di banyak parpol. Setidaknya ada dua parpol yang secara langsung kelahirannya dibidani NU, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Kedua partai itu minimal membawa aspirasi kader-kader NU dan nahdliyin.
Dengan demikian, posisi ketua umum PBNU membawa implikasi politik yang tak terhindarkan bagi pengembannya. Paling tidak saran-sarannya akan diperhitungkan dalam pengambilan kebijakan-kebijakan strategis. Pendek kata, sebagai kekuatan sosial, ketum PBNU memiliki kuasa pendorong dalam sebuah keputusan politik.
Tidak hanya itu, ketum PBNU juga diharapkan dapat membangun jamiyah NU dengan lebih rapi, sistematis, dan terorganisasi. PBNU juga mestinya dibangun menjadi ormas yang modern dengan fungsi-fungsi pelayanan kepada jamiyah yang lebih baik, tentu tidak terbatas hanya pada jamiyah. Sebab, NU juga memiliki peran pelayanan terhadap seluruh warga bangsa, tanpa terkecuali.
Wacana mengenai posisi Ketum PBNU ini kian mengemuka menjelang Muktamar NU ke-34 di Lampung, 23-25 Desember 2021. Muktamar sebagai forum tertinggi organisasi NU adalah sarana pengambilan keputusan, mulai dari pemilihan ketum PBNU hingga gerak langkah organisasi ke depan.
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU memang tidak secara eksplisit membatasi masa jabatan ketum PBNU hanya dalam dua periode. Said, misalnya, telah dua kali menjabat Ketum PBNU, yakni 2010-2015, dan 2015-2020.
Said mengakui, masih ada dorongan dari kader untuk kembali maju dalam bursa pencalonan ketua umum PBNU. Dukungan itu salah satunya disampaikan oleh Tuan Guru Haji (TGH) L Turmudzi Badaruddin, pimpinan Pesantren Qomarul Huda, Lombok, Nusa Tenggara Barat.
”Dari sisi kepemimpinan, KH Said Aqil Siroj terbukti membawa NU disegani di kancah dunia. Beberapa kali beliau dinobatkan sebagai salah satu tokoh Muslim paling berpengaruh di dunia. Selain itu, Kiai Said mampu membawa NU berkiprah di kancah Internasional melalui diaspora NU dan PCINU se-dunia,” katanya dalam keterangan tertulis.
Baca juga: NU Teguhkan Komitmen Bantu Umat dan Bangsa
Seusai pertemuan dengan Presiden Joko Widodo, Rabu (6/10/2021), Said menyatakan kesiapannya untuk maju kembali. Ia menyebut sudah banyak sekali dorongan, baik dari pengurus maupun para tokoh dan kader, untuk kembali menjadi Ketum PBNU.
Di sisi lain, KH Yahya Cholil Staquf, yang sekalipun belum mendeklarasikan diri sebagai calon, telah menunjukkan niat untuk maju sebagai calon ketum PBNU. Dalam kunjungannya ke Redaksi Kompas, Rabu, Yahya menyampaikan, memikirkan opsi untuk maju dalam kontestasi sejak tahun 2018.
Ada dua hal yang ingin dikembangkan oleh Yahya. Pertama, bagaimana membangun sistematika agenda dalam organisasi. ”Kedua, saya ingin memperkenalkan wawasan khidmah pelayanan inklusif. Seharusnya NU sebagai struktur organisasi ketika membuat pelayanan tidak berpikir hanya untuk melayani warga NU saja,” katanya.
Sekretaris Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU Marzuki Wahid mengatakan, AD/ART secara normatif memang tidak secara spesifik membatasi periode kepengurusan. Namun, dua periode kepengurusan di Indonesia sudah menjadi semacam konvensi (hukum tak tertulis) yang dimaklumi oleh banyak orang. Selain pertimbangan regenerasi yang sangat diperlukan dalam tubuh organisasi, juga tentang kejenuhan kepemimpinan selama lebih dari 10 tahun.
”Oleh karena itu, sebaiknya cukup dua periode saja siapapun yang menjadi Ketua Umum PBNU. Regenerasi dan penyegaran kepemimpinan jauh lebih penting dipertimbangkan daripada melestarikan kepengurusan lebih dari dua periode,” katanya.
Keduanya, baik Said maupun Yahya, boleh jadi akan berkontestasi dalam Muktamar 2021. Namun, siapa pun yang terpilih, seharusnya memikirkan bagaimana NU ke depan menjadi organisasi modern dan lebih baik dalam memberikan pelayanan kepada seluruh warga bangsa. Tentu tidak semata-mata untuk kepentingan politik.
Sesuai bunyi kaidah fikih, tasharruful imam ’ala ar-ra’iyyah manuthun bil al-maslahah, bahwa kebijakan penguasa atas rakyatnya bergantung pada kemaslahatan. Demikian pula nanti yang berkontestasi dan terpilih sebagai ketum PBNU harus membawa kemaslahatan bagi jamiyah, anggota jamiyah, dan seluruh warga bangsa.