Kedok Membangun Basis Intelijen di Bali
”Sayed mengatakan, saya harus pergi ke Bali untuk mendirikan perusahaan, kemudian kembali ke Iran,” ungkap Ghassem Saberi Gilchalan.
Perempuan paruh baya berambut panjang dicat pirang duduk tepat di depan kami di salah satu kursi tamu kafe luar ruang di Pantai Kedonganan, Jimbaran, Badung, Bali, September. Malam itu, kami sepakat bertemu untuk berbincang soal turis asing yang tiga tahun terakhir menjadi teman baiknya, Ghassem Saberi Gilchalan (49).
”Saya sebenarnya enggan yang begini-begini. Tetapi mau bagaimana lagi, dia menyebut saya, ya,” kata Nyonya Nyoman, pemilik kafe tempat kami bertemu, membuka percakapan.
Dia selama ini mengenal Gilchalan dengan nama Majid. Nama aslinya baru ia ketahui saat penegak hukum memperlihatkan foto Gilchalan kepadanya. Mereka pertama kali bertemu tahun 2019. Ia terkesan karena Majid mentraktir sekitar 20 tamu di restoran miliknya meski tak saling kenal.
Sejak saat itu, Majid alias Gilchalan selalu datang ke restorannya setiap berkunjung ke Bali. Bahkan, ketika Nyoman sudah menutup restoran itu dan membuka kafe di Pantai Kedonganan, ia kerap berkunjung ke kafe itu. Pernah pula Gilchalan menyewa vila miliknya selama sebulan.
”Kami berteman baik, tapi, ya, sebatas saya penjual dan dia pembeli,” katanya.
Baca tulisan pertama : Paspor Palsu Kuak Operasi Intelijen Asing
Namun, Nyoman sempat agak kesal kepada Majid karena pembayaran sewa vila tersendat. Berkebalikan dengan kebiasaan Majid mentraktir banyak orang.
Nyoman yang memiliki beberapa kafe, vila, dan hotel bintang empat di Badung itu pernah diajak berbisnis bersama. Majid ingin membuka restoran di Bali. ”Saya mau buka restoran di sini, kamu yang kelola, saya yang kasih modal,” ujarnya menyampaikan ulang ajakan Majid.
Sayed mengatakan, saya harus pergi ke Bali untuk mendirikan perusahaan, kemudian kembali ke Iran.
Akan tetapi, hal itu tidak pernah terwujud. Majid justru menghilang. ”Saya kirim Whatsapp tidak pernah dibalas,” katanya sambil menunjukkan percakapan di ponselnya. Pesan terakhir dikirim pada akhir Mei 2021.
Dua perintah dari Sayed
Melalui pengakuan tertulis berbahasa Persia untuk penegak hukum, Gilchalan mengakui, kedatangannya ke Bali merupakan perintah dari orang yang merekrutnya sebagai bagian dari intelijen Iran, yakni Sayed Alireza Mir Jafari. Semula, ia diperintahkan ke Batam untuk membebaskan tanker MT Horse yang disita otoritas Indonesia di Batam, Kepulauan Riau. Namun, tujuan dialihkan ke Bali karena persoalan hukum sudah selesai.
”Sayed mengatakan, saya harus pergi ke Bali untuk mendirikan perusahaan, kemudian kembali ke Iran,” ungkapnya di surat pengakuan tersebut.
Baca tulisan kedua : Permintaan Deportasi Berulang dari Kedutaan Besar Iran
Bali bukan tempat asing bagi Gilchalan. Catatan perusahaan jasa pembuat visa di Jimbaran menunjukkan, ia pernah mengurus kartu izin tinggal terbatas pada 2014 yang berlaku setahun, menggunakan paspor Bulgaria. Gilchalan juga datang ke kantor itu untuk mengurus izin tinggal yang sama bagi istri dan dua anaknya. ”Setelah itu, tidak ada perpanjangan, tidak ada kabar lagi,” kata Fitriyah Agustin, pegawai di perusahaan yang mengurus visa Gilchalan.
Tujuh tahun berlalu, Gilchalan menghubungi Fitriyah melalui aplikasi Whatsapp bernomor luar Indonesia, Februari 2021, untuk mengurus visa kunjungan usaha yang berlaku 60 hari. Ia menanyakan biaya pembuatan visa untuk beberapa orang, tetapi akhirnya hanya mengurus untuk dirinya. Sepanjang Februari hingga April ketika visa terbit, tidak pernah ada pertemuan antara Gilchalan dan Fitriyah.
”Semua persyaratan dia kirim lewat Whatsapp, hasilnya juga visa online,” ucap Fitriyah yang juga menjadi salah satu saksi dalam persidangan perkara paspor palsu Gilchalan.
Kepada penegak hukum, Gilchalan mengaku pernah menetap di Bali pada 2012-2017, tinggal di sebuah vila sewaan di Jimbaran. Ketika Kompas mendatangi lokasi itu, vila sudah dijual kepada warga negara asing sejak awal 2021. Pemilik sebelumnya menyangkal ada penyewa atas nama Gilchalan saat dikonfirmasi melalui panggilan telepon. Saat ditanya lebih lanjut, ia memutus panggilan, lalu memblokir nomor kontak kami.
Baca tulisan ketiga : ”Seribu Jam” Berujung Surat Pengakuan Intelijen Asing
Royal dan perlente
Selama empat hari di Bali sebelum ia bertolak ke Bandara Soekarno-Hatta dan lalu ditangkap, Gilchalan menginap di hotel bintang empat di Jimbaran. Ia memesan kamar tipe suite seharga Rp 1,2 juta per malam, yang sebelum pandemi Covid-19 harga sewanya lebih dari Rp 2 juta per malam.
Kamar yang berada di lantai tiga itu luasnya 64 meter persegi, dilengkapi bathtub. Ruangan dengan pintu kaca lebar dan balkon itu menghadap langsung ke area kolam renang. Kamar berada persis di sebelah pusat kebugaran.
Dari catatan petugas hotel yang ditunjukkan kepada Kompas, Gilchalan sempat menegosiasikan harga sewa kamar selama satu bulan dengan manajer hotel. Namun, tak ada kesepakatan harga. Hotel ini bukan tempat baru bagi Gilchalan. Ia pernah menginap tiga hari pada Januari 2019.
Sekalipun sudah saling kenal selama empat tahun, Gilchalan tak pernah mengungkapkan latar belakang dan pekerjaannya. Ia baru mengetahui nama lengkap dan kewarganegaraan langganannya itu setelah seseorang bernama Jasmin, yang mengaku anak Gilchalan, menghubunginya melalui pesan Whatsapp. Jasmin mengirimkan foto paspor untuk meminta bantuan Gede mencari ayahnya yang tidak kunjung pulang.
Selama di Bali, Gilchalan jarang pergi sendiri karena memiliki sopir langganan. Gede, sopir itu, terkesan pada tampilan Gilchalan yang selalu necis. Badannya kekar seperti binaragawan. Kulitnya bersih. Sedikit saja ada flek hitam di wajah, ia akan minta diantar ke klinik kecantikan.
Namun, Gede juga mengenal Gilchalan dengan nama Majid. Dia kerap membayar ongkos taksi berkali lipat dari tarif umum. Bahkan, ia meminjamkan uang kepada Gede. Gilchalan juga sering memberi uang kepada pengemis di jalan.
Sejak pertama kali bertemu Gede pada 2017, Gilchalan tak pernah minta diantar ke banyak tempat. Ia hanya datang ke tempat wisata, mal, klinik kecantikan, atau pusat kebugaran. Namun, berbeda dengan tempat-tempat lain, Gilchalan selalu pergi ke pusat kebugaran seorang diri, dengan menyewa sepeda motor. Sejumlah tempat itu juga yang ia datangi akhir Mei lalu.
Sekalipun sudah saling kenal selama empat tahun, Gilchalan tak pernah mengungkapkan latar belakang dan pekerjaannya. Ia baru mengetahui nama lengkap dan kewarganegaraan langganannya itu setelah seseorang bernama Jasmin, yang mengaku anak Gilchalan, menghubunginya melalui pesan Whatsapp. Jasmin mengirimkan foto paspor untuk meminta bantuan Gede mencari ayahnya yang tidak kunjung pulang. Dari komunikasi itu pula, Gede mengetahui pelanggan yang ia sapa ”Brother” itu ditangkap di Jakarta.
Dicurigai kedok
Sumber Kompas di penegak hukum mencurigai perintah kepada Gilchalan untuk mendirikan usaha di Bali sebagai kedok untuk membangun safehouse intelijen.
Tim Kompas, Senin (29/11/2021), mengirim surat kepada Kedutaan Besar Iran di Jakarta, mengonfirmasi pengakuan Gilchalan terkait perintah menjalankan misi intelijen di Indonesia. Hingga Sabtu (11/12/2021), Kedubes Iran tak menjawab pertanyaan kendati berjanji akan merespons.
Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso menuturkan, dalih pendirian usaha bisa saja digunakan untuk membangun usaha legal guna membiayai operasi intelijen agar ia tidak dicurigai. Kemungkinan lain, usaha itu juga digunakan untuk menjaring agen-agen.
Namun, ia bertanya-tanya tentang kepentingan Iran melakukan operasi intelijen di Indonesia. Biasanya hal itu dilakukan jika sebuah negara bermasalah dengan negara lain. ”Sejauh ini, saya tidak melihat ada masalah antara Indonesia dan Iran,” katanya.
Sementara itu, mantan Wakil Kepala BIN As’ad Said Ali menilai, perintah mendirikan perusahaan merupakan bentuk samaran profesi intelijen. Hal itu diperlukan untuk meyakinkan orang-orang yang didekati dalam rangka melaksanakan misi operasi.
Baca selanjutnya : Operasi Intelijen yang Diklaim Berhasil