Permintaan Deportasi Berulang dari Kedutaan Besar Iran
Kedutaan Besar Iran di Jakarta tiga kali meminta agar Ghassem Saberi Gilchalan dideportasi ke Tanah Airnya. Tiga kali pula permintaan itu ditolak. Permintaan deportasi itu dinilai janggal oleh pakar hukum internasional.
Oleh
TIM KOMPAS
·4 menit baca
Ghassem Saberi Gilchalan (49) langsung mengucap salam saat kami pertama kali bertemu di salah satu ruang di Lembaga Pemasyarakatan Pemuda Kelas IIA Tangerang, Banten, Jumat (26/11/2021) petang. Dia sedikit menganggukkan kepala, sesaat sebelum duduk di sofa. Saat itu ia mengenakan kaus abu-abu slimfit yang membuat postur tubuhnya tampak berisi, dipadu celana training panjang berwarna biru dongker. Alas kakinya sandal jepit.
Sorot matanya tajam. Dia selalu menatap mata lawan bicaranya. Ia berbicara lugas, tetapi santai. Asumsi awal yang didapat dari seorang petugas di lapas yang menyebut Gilchalan sosok tertutup seketika luntur. Pertanyaan seputar kondisinya di lapas dijawabnya bersemangat dalam bahasa Inggris yang lancar. Berbeda 180 derajat dari informasi awal dari salah seorang petugas yang menyebut Gilchalan kerap beralasan tak bisa berbahasa Inggris untuk menyetop percakapan.
Kami berbincang selama hampir satu jam terkait banyak hal. Namun, untuk hal-hal tertentu, ia menutup diri. Dia seolah menunjukkan dua sisi; terbuka, tetapi juga amat hati-hati. Di sisi lain, beberapa kali ia tertawa lepas. Salah satunya saat ditanya soal paspor palsu Bulgaria yang digunakannya untuk masuk-keluar ke Indonesia. ”Ha-ha-ha, saya membuat masalah untuk diri saya sendiri,” katanya.
Sehari setelah menangkap Gilchalan pada akhir Mei 2021 karena menggunakan paspor palsu Bulgaria, penyidik Polresta Bandara Soekarno-Hatta mengonfirmasi keaslian paspor Iran yang juga dibawa Gilchalan. Polresta Bandara Soekarno-Hatta mengirim surat ke Kedutaan Besar Iran di Jakarta untuk mengonfirmasi kewarganegaraan Gilchalan, sekaligus menyampaikan persoalan hukum terkait dirinya.
Di hari yang sama, seseorang yang mengaku sebagai perwakilan Kedubes Iran meminta penjelasan soal kasus Gilchalan. ”Kami mengakui penggunaan paspor palsu adalah kejahatan yang dilakukan warga negara kami,” ujar pria itu, seperti disampaikan ulang Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Bandara Soekarno-Hatta Ajun Komisaris Rezha Rahandhi, September.
Namun, polisi menolak menjabarkan kasus Gilchalan melalui telepon. Kepolisian meminta orang itu datang ke Polresta Bandara Soekarno-Hatta dengan membawa surat keterangan dari Kedubes Iran. Beberapa hari kemudian, dua orang yang memperkenalkan diri sebagai Ali dan Amir dari Kedubes Iran mendatangi Markas Polresta Bandara, meminta Gilchalan dideportasi ke Iran sehingga kasusnya bisa diproses di sana. Permintaan itu ditolak.
Tak lama kemudian, kembali perwakilan Kedubes Iran mendatangi Markas Polresta Bandara, meminta hal yang sama, tapi mendapatkan hasil yang sama pula. Kedubes Iran lalu mengirim surat bernomor Ref:200-3-0055/1400 yang berisi permintaan deportasi. Surat tertanggal 14 Juni 2021 itu ditandatangani Kepala Konsuler Kedubes Iran Abbasali Salighe Dar. Permintaan tersebut juga ditolak.
Kedubes Iran lalu mengirim surat bernomor Ref:200-3-0055/1400 yang berisi permintaan deportasi.
”Permohonan disampaikan dalam tiga kali pertemuan, mulai dari diwakili bagian humas hingga kepala konsuler,” tutur Rezha.
Saat persidangan dimulai, Gilchalan sempat mogok makan dengan alasan tak mau makan nasi selama sepekan. Alhasil, ia sakit. Berdasarkan diagnosis dokter rutan, penyakitnya saat itu yakni demam disertai dehidrasi karena kurang asupan makanan. Dia dinilai perlu dirawat dokter spesialis.
Pihak Kedubes Iran meminta Gilchalan dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Tangerang. Namun, penegak hukum membawa Gilchalan ke Rumah Sakit Polri RS Sukanto di Kramatjati, Jakarta. Petugas dari kejaksaan turut menyertai selama Gilchalan berada di luar tahanan.
Tim Kompas menanyakan soal permohonan deportasi Gilchalan melalui surat tertulis ke Kedubes Iran sejak Senin (29/11). Petugas Diplomasi Publik Kedubes Iran untuk Indonesia, Ali Pahlevani Rad, Kamis (2/12), mengatakan akan menjawab pertanyaan yang telah disampaikan melalui surat. ”Masih kami pelajari,” kata Ali melalui pesan tertulis. Kompas kembali menghubunginya, Kamis (9/12), tetapi hingga tulisan ini diterbitkan, jawaban belum juga diberikan.
Permohonan janggal
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai, permintaan deportasi berulang yang diajukan Kedubes Iran termasuk janggal. Deportasi merupakan hak negara tempat seseorang melakukan pelanggaran keimigrasian, misalnya overstay. Praktik deportasi secara internasional juga tak didasarkan atas permintaan negara asal seorang pelanggar, tetapi keputusan dari negara tempat pelanggaran terjadi.
Adapun penggunaan paspor palsu, menurut dia, merupakan tindak pidana yang harus diselesaikan di jalur hukum, bukan dengan deportasi. Kedubes seharusnya memberikan pendampingan ketika warga negaranya melanggar hukum di negara lain. ”Justru harus dicurigai kepentingan Pemerintah Iran meminta deportasi warga negaranya,” ujar Hikmahanto.
Gilchalan, saat ditemui, mengakui Kedubes Iran beberapa kali menemuinya saat persidangan berlangsung. ”Ketika persidangan berlangsung, mereka (Kedubes Iran) datang dua atau tiga kali. Sudah lama mereka tidak berkunjung karena Covid-19,” ujar Gilchalan.
Berkali-kali ia mengaku sedih tidak bisa segera kembali ke negaranya. Dia mengaku orangtua dan saudaranya dirawat di rumah sakit. Ia juga tidak bisa menemui anak dan dua istrinya yang berada di Kanada dan Uzbekistan.
Baca selanjutnya : Seribu Jam Berujung Surat Pengakuan