”Seribu Jam” Berujung Surat Pengakuan Intelijen Asing
”Saya bekerja untuk Pemerintah Iran karena mencintai negara,” kata Ghassem Saberi Gilchalan saat ditemui akhir November lalu. Namun, ia mengklaim "pekerjaannya" tidak membahayakan Indonesia.
Oleh
TIM KOMPAS
·4 menit baca
Seorang penegak hukum yang bertugas menggali informasi dari Ghassem Saberi Gilchalan itu berusia sekitar 30 tahun. Kami bertemu di salah satu kafe di Jakarta, awal Desember 2021. Informasi yang harus dia korek dari warga negara Iran itu tidak lagi soal penggunaan paspor palsu, tetapi kaitannya dengan aktivitas Gilchalan yang bisa saja membahayakan keamanan Indonesia.
Sambil menikmati yoghurt kemasan, ia bercerita, tak mudah mendekati Gilchalan. Semula, tidak ada satu pun pertanyaan di luar kasus paspor palsu yang dijawabnya. ”Saya harus pelan-pelan sekali, berusaha mendapatkan kepercayaan dia sampai mau memberikan informasi aktivitasnya,” ujarnya.
Gilchalan baru memberikan informasi yang sensitif setelah saya mengungkap satu hal yang tak bisa dia elak. Itu hanya diketahui kami berdua
Setiap hari dari akhir Mei hingga Juli, dia mendatangi Gilchalan yang saat itu ditahan di Ruang Tahanan Polres Kota Bandara Soekarno-Hatta. Ia mengajak ngobrol Gilchalan hal-hal di luar kasus sambil membawakan makanan dan minuman untuk disantap bersama. Gilchalan sering menolak pemberian, terutama makanan dan minuman bermerek dari negara Barat. Maka, makanan dan minuman itu dipisahkan dari kemasannya agar ia tak tahu mereknya. Gilchalan baru bersedia melahapnya.
”Gilchalan baru memberikan informasi yang sensitif setelah saya mengungkap satu hal yang tak bisa dia elak. Itu hanya diketahui kami berdua,” kata penegak hukum tersebut.
Gilchalan lalu mulai terbuka pada penegak hukum itu. Ia mau mengungkapkan identitas dan kehidupan pribadinya, termasuk pengalaman hidup berpindah-pindah di luar negeri. Bahkan, ia bersedia bekerja sama dengan penegak hukum yang ia sapa brother untuk memberikan informasi penting.
”Saya memberikan seluruh informasi kepada petugas. Dia meminta saya menuliskan pengakuan dan menandatanganinya, lalu berjanji membantu saya,” kata Gilchalan, ditemui di Lembaga Pemasyarakatan Pemuda Kelas IIA, Kota Tangerang, Banten, akhir November.
Tulisan tangan
Keseriusan Gilchalan untuk bekerja sama ia buktikan dengan membuat pengakuan lewat tulisan tangan dalam bahasa Persia pada 8 Juli 2021. Gilchalan bisa berbicara dalam bahasa Inggris, tetapi mengaku tak mahir menulis huruf Latin. Dokumen delapan halaman itu ia tulis kurang dari satu jam. Namun, butuh pertemuan 40 hari atau setara ”seribu jam” akumulasi waktu si penegak hukum dan timnya sebelum Gilchalan membuat surat itu.
Dokumen itu berikut terjemahannya dalam bahasa Inggris sudah pernah diperlihatkan si penegak hukum kepada Kompas di sebuah restoran di Jakarta, pertengahan Oktober. Ia memperlihatkannya sambil mengudap edamame.Surat itu berisi perjalanan hidup Gilchalan, yang sempat dua tahun menjadi anggota Angkatan Darat Iran.
Ia sempat bermukim di Malaysia pada 1999-2012. Di Malaysia, Gilchalan bekerja mulai dari menjadi sopir, pegawai hotel, hingga membuka restoran. Pada 2008, ketika masih di Malaysia, ia membuat paspor Bulgaria dibantu kenalannya, Muhammad Karvati. Paspor itu dibuat di Thailand dengan biaya 2.000 euro. Paspor lalu digunakan untuk bepergian, bahkan ia mengaku menggunakannya untuk menetap di Bali pada 2012-2017.
Di Malaysia ia beberapa kali bertemu Sayed Alireza Mir Jafari, orang yang disebutnya bekerja di Kedutaan Besar Iran untuk Malaysia. Berdasarkan penelusuran Kompas pada dokumen Daftar Konsuler dan Diplomatik Kementerian Luar Negeri Malaysia 2018, Sayed Alireza Mir Jafari tercatat sebagai sekretaris dua bidang hubungan politik dan konsuler sejak 2015.
Pekerjaan itu, kata Gilchalan, tidak membahayakan Indonesia. Ia mencontohkan, jika ada warga negara Indonesia yang datang ke Iran, lalu membuat masalah, intelijen Indonesia akan ditugasi mencari informasi terkait persoalan yang sedang terjadi, kemudian melaporkannya. Seperti itulah yang ia kerjakan.
Kepada si penegak hukum, Gilchalan mengaku pertama kali bertemu Sayed pada 2011 di restoran miliknya di Malaysia. Ia diminta datang ke Kedubes Iran untuk Malaysia, lalu ditawari bekerja ”untuk negara”. Namun, ia menolak.Tawaran itu baru diterima ketika Sayed menemuinya di Bali pada 2019. Setelah pertemuan itu, Gilchalan beberapa kali bertemu Sayed di Iran untuk menerima perintah, di antaranya membebaskan tanker MT Horse yang disita otoritas Indonesia di Batam, Kepulauan Riau, awal 2021. Selain itu, ia juga diperintahkan membuat usaha di Bali.
Untuk Pemerintah Iran
Ditanya soal isi surat pengakuannya, Gilchalan membenarkannya. Ia juga tak membantah saat ditanya soal statusnya sebagai bagian dari intelijen Iran. Ia tertawa kecil. Ia mengaku baru mulai bekerja untuk Pemerintah Iran setelah direkrut Sayed.”Saya bekerja untuk Pemerintah Iran karena mencintai negara,” katanya.
Pekerjaan itu, kata Gilchalan, tidak membahayakan Indonesia. Ia mencontohkan, jika ada warga negara Indonesia yang datang ke Iran, lalu membuat masalah, intelijen Indonesia akan ditugasi mencari informasi terkait persoalan yang sedang terjadi, kemudian melaporkannya. Seperti itulah yang ia kerjakan.
”Saya datang ke Indonesia hanya memantau masalah apa yang terjadi,” ujarnya.
Kedutaan Besar Iran di Jakarta tak membantah, juga tak membenarkan status Gilchalan sebagai agen intelijen Iran. Kompas mengonfirmasi hal itu lewat surat ke Kedubes Iran di Jakarta sejak Senin (29/11). Petugas Diplomasi Publik Kedubes Iran untuk Indonesia, Ali Pahlevani Rad, Kamis (2/12), mengatakan akan menjawab pertanyaan yang telah disampaikan. Beberapa kali Kompas menghubungi Ali, tetapi hingga tulisan ini diterbitkan, jawaban tak diberikan.
Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis TNI Laksamana Muda (Purn) Soleman B Ponto menilai, kesediaan Gilchalan menguak identitas dan misi operasi intelijennya bukan hanya karena ingin bekerja sama. Hal itu juga menandakan Iran menganggap misinya berhasil sehingga pengungkapan informasi tak akan menjadi masalah berarti. ”Yang Gilchalan ungkapkan juga tidak terkait rahasia negara,” katanya.
Baca selanjutnya: Kedok Membangun Basis Intelijen di Bali