Negara Klaim Berkomitmen pada Pemenuhan HAM Menyeluruh
Pemerintah menilai membangun dari pinggiran dan menyiapkan karpet merah bagi investor lewat UU Cipta Kerja sebagai upaya pemenuhan hak asasi warga negara di bidang ekonomi. Namun aktivis menilai, ini hanya ”lip service”.
Oleh
Nina Susilo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menegaskan komitmennya melindungi hak asasi setiap warga negara, baik hak sipil politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Namun, aktivis menilai hal ini sebagai lip service saja.
Presiden Joko Widodo menyampaikan sepanjang pandemi Covid-19, pemerintah berupaya supaya masyarakat terlindungi dari ancaman pandemi, kelaparan, dan pengangguran. Saat ini, kendati ancaman pandemi masih membayangi, Indonesia sudah termasuk satu dari lima negara di dunia yang berhasil menekan pandemi ke level 1, level terendah. Stabilitas ekonomi nasional juga cukup terjaga.
”Upaya pemenuhan hak asasi di bidang sosial ekonomi budaya harus kita upayakan terus-menerus dan dalam waktu sesingkat-singkatnya,” tutur Presiden dalam peringatan Hari HAM Sedunia dari Istana Negara, Jakarta, Jumat (10/12/2021).
Pemenuhan hak asasi di bidang ekonomi ini adalah mengentaskan warga yang berada di tingkat kemiskinan ekstrem. Targetnya, tidak ada lagi warga yang miskin ekstrem.
Untuk menjamin kehidupan warga, lapangan kerja perlu disiapkan seluas-luasnya. Layanan kesehatan dan layanan pendidikan juga harus bisa diakses secara terjangkau dan merata. Selain itu, negara menjamin kebebasan beragama, kebebasan menjaga adat, dan budaya.
Karena itu, pemerintah menilai membangun dari pinggiran dan membangun dari desa termasuk menyiapkan karpet merah untuk para investor melalui Undang-Undang Cipta Kerja dan online single submission adalah jawaban untuk kewajiban tersebut.
”Pemerintah terus bekerja keras membangun dari pinggiran, membangun dari desa, membangun dari perbatasan sehingga hak-hak mereka akan pembangunan terpenuhi. Membangun infrastruktur yang merata ke seluruh penjuru Tanah Aair, membuka investasi dan hilirisasi yang membuka banyak lapangan kerja,” tutur Presiden.
Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia tahun 2021-2025 pertengahan 2021 ini. Rencana aksi ini, menurut Presiden, akan mewujudkan perlindungan, pemenuhan, dan pemajuan hak-hak asasi manusia di Indonesia. Adapun sasaran utamanya kelompok perempuan, anak, kelompok masyarakat adat, dan penyandang disabilitas.
Untuk memastikan pemenuhan hak ekonomi sosial dan budaya warga disabilitas, Komite Disabilitas Nasional telah dibentuk dan dilantik untuk pertama kalinya pekan lalu. ”Komite ini menunjukkan komitmen kita untuk memastikan dan memantau penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas dan wujud implementasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities,” tambah Presiden.
Secara umum, diharapkan seluruh warga negara mendapatkan hak-hak yang sama tanpa merasa diabaikan dan dibedakan. Hak-hak sipil, politik, dan hukum juga harus menjadi perhatian bersama.
Namun, perkembangan revolusi industri 4.0 menuntut adaptasi dalam mengantisipasi beberapa isu HAM. Terkait dengan hal ini, Presiden Jokowi menyatakan memahami kegelisahan masyarakat terhadap sanksi pidana dalam UU No 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE).
Presiden memerintahkan Kepala Polri mengedepankan edukasi dan langkah-langkah persuasi dalam penanganan perkara ITE.
Karena itu, Presiden memerintahkan Kepala Polri mengedepankan edukasi dan langkah-langkah persuasi dalam penanganan perkara ITE. ”Jangan ada kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat. Namun saya ingatkan juga kebebasan berpendapat harus dilakukan secara bertanggung jawab kepada kepentingan-kepentingan masyarakat yang lebih luas,” tutur Presiden Jokowi.
Komitmen untuk melindungi data pribadi juga disampaikan Presiden. Menteri Komunikasi dan Informatika Johny G Plate dan kementerian/lembaga terkait pun diperintahkan segera menuntaskan pembahasan Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi bersama DPR.
Tak hanya itu, Presiden juga menegaskan pemerintah berkomitmen untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat dengan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan bagi korban dan yang diduga pelaku. Pemerintah melalui Jaksa Agung telah melakukan penyidikan umum pada peristiwa pelanggaran HAM berat, salah satunya kasus Paniai 2014.
”Lip service”
Kendati pemerintah mengklaim menjamin pemenuhan hak asasi warganya, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai hal tersebut hanya lip service untuk mendapatkan dukungan baik di dalam negeri maupun forum global.
Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti mengatakan, kenyataannya terlihat semakin banyak pelanggaran atas hak asasi warga dengan pola yang sama dan berulang, sementara negara semakin represif kepada warganya. Bentuk-bentuk pembiaran atas represi aparat dan ketidakadilan pada korban terus berulang. Lebih parah lagi, tidak ada mekanisme koreksi.
”Karena itu, Indonesia semakin dekat dengan era otoritarianisme zaman Orde Baru, pembangunan menjadi prioritas sementara pemenuhan HAM tertinggal,” tutur Fatia.
Wakil Koordinator Kontras Rivanlee Anandar mencontohkan, kebebasan sipil semakin menyusut. Kendati Presiden Jokowi mengatakan tidak antikritik, ketika ada kritik, praktiknya terjadi perburuan, kriminalisasi, doxing, atau pembunuhan karakter baik secara luring maupun daring.
Kontras mencatat 150 peristiwa pengekangan kebebasan sipil dan 533 orang ditangkap dengan aktor utama polisi sepanjang Desember 2020 sampai November 2021. Pembuat mural berisi kritik kepada Presiden diburu polisi. Pengunggah video kekerasan oleh polisi dikriminalisasi atau diminta menghapus unggahannya. ”Ini menunjukkan polisi masih resisten terhadap kritik, padahal semua itu social control dari keterlibatan publik,” tambah Rivanlee.
Kontras mencatat 150 peristiwa pengekangan kebebasan sipil dan 533 orang ditangkap dengan aktor utama polisi sepanjang Desember 2020 sampai November 2021.
Ada pula somasi yang dilakukan oleh para pejabat publik kepada aktivis dan warga negara yang mengkritik. Peretasan dan doxing juga terjadi kepada warga yang mengkritik negara tanpa pengusutan jelas pelakunya.
Kebebasan beragama berkeyakinan dan beribadah juga dinilai tidak membaik. Setahun terakhir, Kontras mencatat 39 peristiwa pelanggaran kebebasan beribadah, berkeyakinan, dan beragama. Mayoritas kejadian berupa pelarangan dan negara tidak melindungi kelompok yang rentan.