Sejumlah Catatan dari Festival HAM di Kota Semarang
Festival HAM 2021 di Semarang membawa spirit bersama memajukan HAM. Namun, turut menyertai harapan besar pada implementasi nyata perlindungan HAM dalam setiap dimensi kehidupan warga, bukan formalitas semata.
Festival Hak Asasi Manusia 2021 di Kota Semarang, Jawa Tengah, 16-19 November 2021, rampung digelar, menghadirkan spirit dan komitmen bersama memajukan HAM. Terselip harapan besar implementasi nyata perlindungan HAM dalam setiap dimensi kehidupan warga, bukan formalitas semata.
Kelenteng Sam Poo Kong mendadak ramai, Jumat (19/11/2021) sore. Ratusan orang, yang didominasi anak muda, terpana melihat kemegahan tempat pemujaan yang juga menjadi destinasi wisata. Begitu melewati gerbang, mereka tertarik berfoto dengan latar patung Laksamana Cheng Ho setinggi lebih dari 10 meter.
Rombongan itu para peserta Festival HAM 2021. Sejak Jumat pagi, para peserta site visit (kunjungan) berkunjung ke beberapa tempat di ”Kota Lumpia” itu. Adapun Sam Poo Kong ialah warisan budaya yang merepresentasikan toleransi, sejalan dengan tema Festival HAM 2021, ”Bergerak Bersama Memperkuat Kebinekaan, Inklusi, dan Resiliensi”.
Baca juga : Pemerintah Dinilai Ingkar, Moeldoko Ditolak dalam Aksi Kamisan di Semarang
Sebelumnya, mereka mengunjungi Kampung Deret Nelayan Tambakrejo, yang menjadi solusi setelah puluhan keluarga terdampak proyek normalisasi Banjir Kanal Timur Semarang. Kemudian, berkunjung ke Gereja Baptis Indonesia (GBI) Tlogosari di Malangsari, yang dibangun setelah sempat ditolak sejumlah warga.
Martin (37), peserta Festival HAM 2021 asal Jakarta, mengatakan, inisiasi dan upaya Pemerintah Kota Semarang dalam menyelesaikan permasalahan HAM cukup baik. Pemerintah menyediakan ruang dialog bagi warga yang berpolemik meski akhirnya tetap butuh intervensi Komnas HAM.
Dengan menjadi tuan rumah, pemenuhan HAM di Kota Semarang ke depan mesti lebih baik. ”Tentu, dengan adanya festival ini, (pemenuhan HAM) akan jadi lebih bagus. Juga menjadi penyemangat bagi instansi-instansi di Kota Semarang untuk lebih memperhatikan hal itu,” ujar Martin.
Peserta lainnya, Rekyan Yogi (20) asal Semarang, berharap upaya pemenuhan HAM di Kota Semarang diimplementasikan nyata, juga disertai konsistensi. Sebaliknya, hal-hal bersifat formalitas dan seremoni mesti dikurangi.
Ia mencontohkan semua SMP di Kota Semarang yang dideklarasikan sekolah ramah anak. ”Sisi positif tentu ada. Tetapi, apakah itu sekadar slogan atau semua sudah benar-benar menjalankan pemenuhan hak anak? Buat saya, terpenting adalah implementasi nyata. Diperkuat dari situ,” kata Rekyan.
Hal senada diutarakan Syahril Muadz (22), yang menilai penyelesaian masalah HAM oleh pemerintah belum menggembirakan. ”Acara-acara seperti ini sebenarnya penting untuk mengingatkan kita tentang HAM. Namun, ke depan diharapkan lebih mengedepankan esensi dan substansi. Di sisi lain, masyarakat sipil juga perlu terbuka dan duduk bersama,” ujarnya.
Baca juga : Belum Ada Perbaikan dalam Perlindungan Pembela HAM Lingkungan
Sebelum site visit pada hari terakhir, Festival HAM 2021 yang pelaksanaannya terpusat di Hotel Po Semarang membuka banyak ruang diskusi, yang digelar luring dan daring. Berbagai isu terkait HAM dibahas menghadirkan sejumlah narasumber. Total pesertanya 1.799 orang, terdiri dari 1.055 peserta luring dan 744 peserta daring.
Pada Festival HAM 2021, yang digelar Kantor Staf Presiden, Komnas HAM, International NGO Forum on Indonesian Development (Infid), dan Pemkot Semarang juga diselenggarakan Ormas-NGO Expo.
Daerah ramah HAM
Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani mengatakan, sebuah kabupaten/kota ramah HAM akan mendorong dan menempatkan warganya di posisi strategis dalam mengatasi setiap masalah. Warga dipandang sebagai sarana merancang kebijakan yang lebih baik.
Kuncinya, kata Jaleswari, ada di tingkat implementasi. Semua pihak, mulai dari kementerian/lembaga hingga pemerintah daerah, penting untuk aktif dalam mendukung hal tersebut.
”Berdasar prinsip kota ramah HAM yang disepakati secara internasional, Pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan kabupaten/kota peduli HAM sebagai pergeseran paradigma kebijakan yang teknokratis menjadi kebijakan yang berbasis hak asasi,” ujarnya.
Baca juga : Pasca-aksi Penolakan Moeldoko, Komnas HAM Jelaskan Arti Penting Festival HAM 2021
Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi), yang juga Wali Kota Bogor, Jawa Barat, Bima Arya Sugiarto menyampaikan, bagi kepala daerah atau pemimpin, memanusiakan manusia, memuliakan negara, dan menjamin hak minoritas tanpa terkecuali ialah kewajiban utama.
Menurut dia, membangun kota semestinya bukan hanya mempercantik kota, melainkan juga membangun karakter manusianya. Itu juga berarti membangun generasi, yang mencakup penyelesaian persoalan hukum—meski ditekan kelompok-kelompok ekstrem—dan mendemonstrasikan keberpihakan kepada minoritas.
Ia menambahkan, perjuangan bukan hanya melawan kebodohan atau ketidaktahuan. ”Namun, perjuangan hari ini adalah juga melawan hasrat politik yang memabukkan para petualang politik yang memanfaatkan isu-isu sektarian demi target-target politik,” kata Bima.
Sejumlah daerah yang menjadi percontohan kabupaten/kota ramah HAM di antaranya Banjarmasin (Kalimatan Selatan) dan Wonosobo (Jateng). Adapun Kota Semarang, sebagai tuan rumah Festival HAM 2021, juga dianggap mampu menjaga toleransi di tengah keberagaman budaya, etnis, dan agama.
Salah satu penyelesaian persoalan HAM di Kota Semarang yang dianggap berhasil ialah pembangunan Gereja Baptis Indonesia di Tlogosari. Mendapat izin mendirikan bangunan (IMB) sejak 1998, pembangunan sempat terkendala karena ditolak sejumlah warga, yang mempermasalahkan legalitas administrasi.
Setelah bermediasi, yang difasilitasi Pemkot Semarang serta Komnas HAM, akhirnya kedua belah pihak saling menerima. Pemkot Semarang lalu mengeluarkan IMB baru pada 24 September 2020. Kini, pembangunan telah rampung dan lebih dari 100 jemaat gereja dapat beribadah di lokasi tersebut.
Aksi Kamisan
Festival HAM 2021 di Semarang sempat diwarnai Aksi Kamisan Semarang di Taman Signature, persis di seberang Hotel Po yang menjadi lokasi festival, Kamis (18/11/2021). Sekitar pukul 11.00, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko bersama, antara lain, Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi dan Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mendatangi massa.
Akan tetapi, mereka diusir para peserta aksi. Moeldoko, yang sudah mengeluarkan beberapa kata dengan mikrofon, tak bisa menyelesaikan kalimatnya karena terus ditimpali. ”Sudah, Pak, kami tidak mau Bapak ngomong di sini. Mosi tidak percaya. Ini panggung rakyat,” teriak para peserta aksi.
Iqbal Alma dari Aksi Kamisan Semarang mengatakan, pihaknya mengkritik Festival HAM yang dinilai seperti sebuah pesta, perayaan, dan euforia. ”Padahal, masih banyak sekali korban pelanggaran HAM yang menderita dan nasib mereka tak jelas. Sangat ironis, anggaran besar dihamburkan untuk acara itu,” ujarnya.
Baca juga : Hak Asasi Manusia di Indonesia Berkembang Dinamis
Moeldoko menekankan, pemerintah terus berupaya menyelesaikan persoalan HAM di masa lalu, tetapi ia meminta semua pihak memahami bahwa ada hal-hal yang tak mudah diselesaikan. ”Namun, pemerintah memberi penekanan sangat clear bahwa kebijakan-kebijakan pembangunan nasional harus mengedepankan HAM dan lingkungan hidup,” ujarnya.
Dalam salah satu diskusi pleno Festival HAM 2021, Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengakui tekanan kelompok rentan masih ada. ”Maka, kami masuk dari lingkungan terkecil. Kami kedepankan penanganan masalah dengan komunikasi,” katanya.
Dosen Ilmu Politik Universitas Negeri Semarang, Cahyo Seftyono, menilai, penanganan kasus-kasus HAM masa lalu mesti diakui cenderung stagnan. Perlu ada pendekatan baru dalam penyelesaian persoalan HAM. Di sisi lain, masyarakat sipil perlu bersinergi dan tak mengambil jarak untuk merumuskan solusi bersama.
Rivalitas politik
Dalam salah satu diskusi pada Festival HAM 2021, sastrawan dan pegiat budaya Linda Christanty mengatakan, beberapa tahun terakhir ia mengkhawatirkan dampak rivalitas dalam politik dan propaganda untuk kekuasaan. Itu menempatkan individu pada ”kalau kamu tak dukung A, maka kamu adalah B”.
Hal itu berujung pada pelanggaran hak berpendapat dan berekspresi, juga HAM. ”Praktik pengategorian itu biasa dilakukan militer atau pasukan bersenjata dalam sebuah pertempuran. Padahal, dalam pemilihan kepala daerah atau kepala negara, kita semua sedang menjalankan hak berdemokrasi,” jelasnya.
Menurut dia, tantangan-tantangan penegakan HAM dapat dihadapi jika setiap orang menyadari bahwa yang pertama ialah hak-hak asasi manusia. ”Bukan kemenangan partai, kepentingan kelompok, atau kepentingan kroninya semata,” ucap Linda.
Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Amiruddin dalam seremoni penutupan Festival HAM 2021 menjelaskan, kegiatan itu bukan ajang pesta, melainkan merupakan festival tahunan dalam rangka bersama-sama berupaya memajukan dan melindungi HAM.
Menurut dia, harapan untuk terus memenuhi HAM perlu terus diingatkan masyarakat, media massa, dan LSM. ”Juga dengan dukungan agar harapan itu berkembang. Sebab, kita tak bisa terus-menerus terkurung di lorong gelap tentang HAM, seakan-akan tak ada harapan. Padahal, perubahan sedang berjalan cepat,” ujarnya.
Baca juga : Mahfud MD: Keberagaman Kerap Kali Diuji dengan Intoleransi
Di pengujung kegiatan, Hendrar Prihadi, mewakili berbagai unsur mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat sipil, hingga pihak swasta, membacakan deklarasi dan rumusan hasil konferensi Festival HAM 2021 di Semarang.
”Pemenuhan HAM harus bersifat inklusif dan meningkatkan peran aktif semua pihak, terutama penyandang disabilitas, perempuan, anak-anak, serta kelompok minoritas dan marjinal. Pemerintah pusat dan daerah harus proaktif bekerja sama, bersinergi, menjalankan segala kebijakan HAM yang ada,” demikian petikan dari sejumlah butir deklarasi.
Dari Semarang, yang menjadi ruang harmoni beragam kebudayaan dan representasi kebinekaan, komitmen pemenuhan dan perlindungan HAM dicatat. Berikutnya, implementasilah yang dinanti.