Mahfud MD: Keberagaman Kerap Kali Diuji dengan Intoleransi
Optimisme perlu terus dibangun dalam menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia sebagai bangsa, termasuk terkait intoleransi.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Optimisme perlu terus dibangun dalam menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia sebagai bangsa, termasuk terkait intoleransi. Hal tersebut, yang juga menjadi bagian dari upaya pemenuhan hak asasi manusia atau HAM, yang menjadi tanggung jawab bersama semua elemen bangsa.
Hal tersebut dikatakan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, yang hadir secara daring saat membuka Festival HAM 2021 di Semarang, Rabu (17/11/2021). Festival HAM, yang digelar Kantor Staf Presiden, Komnas HAM, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), dan Pemkot Semarang bertema ”Bergerak Bersama Memperkuat Kebinekaan, Inklusi, dan Resiliensi”.
Menurut Mahfud, tema tersebut merepresentasikan optimisme terhadap tantangan yang dihadapi bangsa. Kenyataan bahwa masih banyak permasalahan terkait HAM menjadi pekerjaan bersama. Sebab, semua perlu memandang ke depan dan tidak terbelenggu dengan keadaan saat ini.
”Keberagaman yang seharusnya jadi kekayaan dan kekuatan kita sebagai bangsa kerap kali diuji dengan intoleransi, pemaksaan kehendak, dan lainnya. Ini harus dijawab bersama dengan satu tekad bahwa bangsa ini harus bersatu, serta saling menghargai pluralisme dalam berbangsa dan bernegara,” kata Mahfud.
Ia menambahkan, orientasi pembangunan tidak boleh hanya menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi semata, tetapi harus ada pembangunan ekonomi yang inklusif. Begitu juga pada aspek-aspek non-ekonomi, seperti pendidikan dan kesehatan, yang juga mesti inklusif serta berkelanjutan.
Mahfud menuturkan, hak asasi manusia berkembang dalam tiga generasi yang melengkapi. Jika di awal hanya terkait hak sipil dan politik, kemudian ditambah menyangkut ekonomi, sosial, dan budaya. Terakhir, juga mencakup terkait perlindungan terhadap alam dan lingkungan hidup.
Sejak reformasi, lanjut Mahfud, ketentuan HAM di Indonesia juga telah bertambah, baik dalam legal substance, legal structure, dan legal culture, sebagaimana sistem hukum menurut Lawrence M Friedman.
”Sebelum amendemen Undang Undang Dasar 1945 pada 1999, HAM merupakan residu dari kekuasaan. Namun, setelah amendemen UUD, dibalik. Kekuasaan pemerintah itu adalah residu dari hak asasi. Jadi, hak asasi diurai kemudian pemerintah diberi tugas untuk melindunginya,” ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menuturkan, permasalahan terkait pembangunan rumah ibadah sedikitnya ada di dua daerah, yakni Kota Semarang dan Kabupaten Jepara. Namun, persoalan itu kini sudah tuntas. Festival HAM 2021 pun menjadi ajang tepat untuk saling berbagi dan bertukar cerita antardaerah, termasuk dalam mengatasi problem-problem serupa.
Hormati perbedaan
Menurut data Komnas HAM pada 2019, dari 12 total kasus pada periode tersebut, 6 pengadu ialah kelompok agama dan penghayat kepercayaan, 2 kantor pengacara/advokat/lembaga bantuan hukum, 2 organisasi, 1 lembaga legislatif, dan 1 individu. Dominasi tindakan, yakni intimidasi/stigma dipersulitnya pembangunan tempat keagamaan/kepercayaan.
Kami kedepankan penanganan masalah dengan komunikasi.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menuturkan, keberagaman dan perbedaan telah sejak lama ada di Indonesia. "Karena itu, konflik dan pertentangan alamiah saja. Problemnya hanya satu, mau enggak kita saling menghormati perbedaan tersebut?” ujar Taufan.
Indonesia, kata Taufan, memiliki prestasi luar biasa dalam menangani konflik di Aceh. Kala itu, ada keinginan dari semua pihak untuk duduk bersama, membuka diri, dan menemukan solusi, hingga kini menjadi negeri yang damai. Menurut dia, hal sama juga bukan tak mungkin terjadi di Papua yang masih kerap terjadi konflik.
Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengemukakan, dalam menerapkan moderasi beragama, sejak menjadi wakil wali kota, lalu menjadi wali kota, pihaknya menekankan tidak ada lagi minoritas-mayoritas. Kelompok dari agama maupun etnis apa pun dipandang sebagai sedulur bersama, satu keluarga Indonesia.
Akan tetapi, diakuinya, di kota berpenduduk sekitar 1,6 juta jiwa tersebut, tekanan kepada kelompok rentan masih ada. "Maka, kami masuk dari lingkungan terkecil. Kami kedepankan penanganan masalah dengan komunikasi," ujar Hendrar.
Festival HAM 2021, digelar di Kota Semarang 16-19 November 2021, akan diisi berbagai acara, terutama diskusi-diskusi terkait HAM. Pemilihan Kota Semarang sebagai tuan rumah antara lain karena dianggap sebagai daerah yang mampu menjaga toleransi di tengah keberagaman budaya, etnis, dan agama.
Dihadiri berbagai perwakilan lembaga, termasuk sejumlah pemerintah daerah di Indonesia, kegiatan itu diharapkan menjadi ajang berbagi terkait perlindungan dan HAM. Juga akan digelar kunjungan ke berbagai titik yang menjadi lokasi penyelesaian masalah HAM serta wujud harmoni keberagaman di ”kota lumpia” itu.