Kontras Soroti Pengekangan Kebebasan Sipil dan Kekerasan di Papua
Dalam sektor hak-hak sipil politik, Kontras menyoroti pengekangan kebebasan sipil semakin masif dilakukan. Meskipun Presiden Jokowi menyebutkan pentingnya kebebasan sipil, hal ini tak dilaksanakan aparat di bawahnya.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kontras mencatat memburuknya jaminan hak asasi manusia di Indonesia dalam waktu setahun terakhir ini. Kontras menilai, hak asasi rakyat berhadapan dengan pembangunan dan pembukaan keran investasi seluas-luasnya. Akibatnya, hak asasi manusia ditiadakan demi menjaga stabilitas politik.
”Kondisi ini juga serupa dengan yang terjadi pada masa otoritarianisme Orde Baru,” kata Koordinator Badan Pekerja Kontras Fatia Maulidiyanti dalam konferensi pers dalam rangka hari hak asasi manusia (HAM) bertajuk ”HAM Dikikis Habis”, Jumat (10/12/2021).
Dalam sektor hak-hak sipil politik, Kontras menyoroti pengekangan kebebasan sipil (civic liberties) semakin masif dilakukan. Rivanlee Anandar, Wakil Ketua Koordinator Kontras, mengatakan, negara menjadi aktor utama dalam melakukan penyusutan terhadap kebebasan sipil.
Menurut Rivanlee, walaupun Presiden Joko Widodo menyebutkan pentingnya kebebasan sipil, dan agar aparat tidak mudah menangkap masyarakat, hal ini tidak dilaksanakan oleh aparat di bawahnya. Ucapan Presiden Jokowi itu tidak diimbangkan dengan kenyataan di lapangan. Yang bertambah marak malah praktik-praktik doxing dan pembunuhan karakter. Hal ini menjadi salah satu penyebab dari menyusutnya ruang kebebasan publik.
Kontras mencatat, sejak Desember 2020 hingga November 2021 ada 150 peristiwa pembatasan kebebasan publik. Dari 500 peristiwa itu, ada 533 orang yang ditangkap oleh Polri. Isu-isu yang mengemuka terkait dengan Papua, isu sumber daya alam, dan kinerja pejabat.
Rivanlee menilai, Polri menjadi aktor utama dalam pembatasan ruang publik. Bentuk yang lain adalah pembatasan-pembatasan terhadap video-video tentang kekerasan yang dilakukan Polri. Video-video itu dibuat oleh masyarakat, diedarkan di media sosial, lalu pelakukanya diusut oleh Polri. Hal ini menunjukkan Polri resisten terhadap kritik. ”Padahal, kritik itu merupakan bentuk kontrol sosial,” kata Rivanlee.
Polri menjadi aktor utama dalam pembatasan ruang publik. Bentuk yang lain adalah pembatasan-pembatasan terhadap video-video tentang kekerasan yang dilakukan Polri.
Ketidaksukaan negara terhadap kritik juga tecermin dari munculnya 14 peristiwa yang dicatat Kontras sebagai kriminalisasi. Para pejabat melakukan somasi dan tudingan ujaran kebencian kepada masyarakat yang melakukan kritik. Padahal, kerap kritik itu punya basis fakta, bahkan penelitian. Negara tidak hanya represif di ruang nyata, tetapi juga di ruang maya. Ada praktik-praktik doxing dan peretasan terhadap masyarakat yang bersuara kritis. Akibatnya, publik jadi enggan melakukan kritik karena ada risiko yang besar mengalami serangan siber.
Menurut Fatia, represi sangat marak ditujukan pada ekspresi masyarakat, khususnya yang sedang menyeimbangkan diskursus negara, seperti isu Papua dan lingkungan hidup. Padahal, kekerasan dan konflik bersenjata di Papua semakin masif seiring dengan pendekatan keamanan yang terus dipertahankan. Politik hukum pendekatan tersebut akhirnya membuat kondisi Papua semakin mencekam, ditandai dengan munculnya ribuan pengungsi internal. Keputusan untuk menurunkan aparat dengan jumlah besar juga pada akhirnya tidak menyelesaikan masalah dan hanya melanggengkan konflik yang terjadi.
Andi Muhammad Rezaldi, Kepala Divisi Hukum Kontras, mengatakan, di Papua selama 11 bulan terakhir ada 39 peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM. Pelakunya adalah Polri di 30 peristiwa, 14 peristiwa pelakunya adalah TNI dan sisanya orang tak dikenal. Korbannya ada 170 orang, 14 di antaranya meninggal dunia. Pendekatan keamanan yang dilakukan di wilayah-wilayah tertentu menimbulkan penyimpanga dan rangkaian kekerasan sehingga membuat banyak korban tewas.
Banyaknya pengungsi yang timbul di beberapa wilayah konflik juga menunjukkan kegagalan negara memberikan perlindungan hak atas keamanan, kesehatan, dan pendidikan. Bahkan, Rezaldi melihat ada indikasi konflik di Papua memang diperpanjang dan sengaja digantung untuk kepentingan sekelompok orang.
”Hal ini malah menimbulkan ketidakpercayaan dari orang Papua terhadap pemerintah di Jakarta,” ucapnya.