Berkaca dari Perempuan Terpidana Mati
Hasil kajian Institute for Criminal Justice Reform dan Komnas Perempuan menunjukkan, perempuan terpidana hukuman mati mayoritas merupakan kelompok rentan, secara sosial, ekonomi, dan gender.
JAKARTA, KOMPAS — Peringatan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia yang kurang dari sepekan lagi, yakni 10 Desember, menjadi momentum menghadirkan keadilan hukum yang memperhitungkan kerentanan perempuan, terutama bagi mereka yang diancam hukuman mati. Diperlukan perbaikan perspektif penegak hukum.
Hasil kajian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan, perempuan terpidana hukuman mati mayoritas merupakan kelompok rentan, baik secara sosial, ekonomi, maupun jender.
Saat ini terdapat 404 terpidana mati yang tersebar di lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Sebanyak 260 orang merupakan terpidana mati karena kasus narkotika, 118 orang karena kasus pembunuhan, 9 orang kasus perampokan, 8 orang kasus psikotropika, 5 orang kasus terorisme, serta masing-masing 2 orang terjerat kasus pencurian dan perlindungan anak. Dari 404 terpidana mati itu, sebanyak 12 orang adalah perempuan.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengumpulkan 32 berkas perkara perempuan terpidana mati dalam kurun waktu 2000-2020. Dari berkas itu ditemukan para perempuan itu mayoritas sebelumnya tidak bekerja atau ibu rumah tangga (57 persen). Mereka ada yang karyawan swasta, petani, buruh harian lepas, pembantu rumah tangga, dan pegawai negeri sipil. Sebagian besar adalah terpidana perkara narkoba, tetapi ada pula yang terpidana kasus pembunuhan.
Rosita Said (39), terpidana mati kasus narkoba yang ditemui di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Perempuan, Jakarta, Jumat (3/12/2021), menuturkan, ia disuruh suaminya, Emeka Samuel, warga negara Nigeria, dalam usia pernikahan lima bulan, untuk mencari pelanggan sabu. Dia dijatuhi hukuman mati tahun 2016 karena dianggap bagian dari jaringan narkoba Emeka. Penyidik menemukan 37 kilogram sabu.
Baca juga: "Kematian Kedua" Para Perempuan Terpidana Mati
”Saya diminta mencarikan pelanggan karena saya perempuan jadi tak mudah dicurigai,” katanya.
Sebelumnya, Merry Utami, buruh migran yang menjadi terpidana mati perkara narkoba, juga mengaku hanya dititipi tas kulit oleh pacarnya, Jerry, warga negara Kanada. Merry ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta, tahun 2001. Di tas itu ditemukan 1,1 kilogram heroin.
Baca juga: Perempuan dalam Pusaran Hukuman Mati
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Theresia Sri Endras Iswarini, Jumat (3/12/2021), mengungkapkan, faktor kemiskinan dan minimnya akses terhadap hukum membuat perempuan kian rentan saat berhadapan dengan hukum. Kerentanan ini semakin menjadi ketika yang bersangkutan melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman mati.
Ia mencontohkan, perempuan buruh migran yang mendapatkan hukuman mati biasanya berasal dari desa yang tidak paham hukum. Mereka tidak paham dunia luar, selain desa mereka. Hal tersebut membuat mereka gampang percaya dengan orang lain.
Mereka yang terlibat dalam mafia narkoba lintas negara biasanya hanya dititipi koper, memasukkan barang di koper, atau dia dipacari terlebih dahulu oleh salah seorang pelaku. Mereka ada yang diproyeksikan dan diancam. Mereka yang terjebak dalam mafia mengalami ancaman sehingga harus menjadi kurir narkoba lintas negara.
Theresia menegaskan, terdapat tiga irisan terhadap perempuan yang mendapatkan hukuman mati, yakni kekerasan berbasis jender, mengalami kemiskinan, dan terjebak dalam narkoba. Ketiga-tiganya bisa dialami oleh mereka. ”Tidak ada yang secara sengaja masuk dalam dunia mafia. Itu sebabnya, para perempuan ini adalah korban,” kata Theresia.
Baca juga: Moratorium Hukuman Mati, Langkah Menuju Penghapusan?
Marjinal
Peneliti ICJR Maidina Rahmawati mengungkapkan, hasil penelitian ICJR terhadap 32 berkas perempuan terpidana mati mengonfirmasi bahwa pidana mati sebenarnya merupakan kebijakan yang diskriminatif di mana populasi terpidana mati secara konsisten merupakan orang-orang yang termarjinalkan.
Dari aspek bantuan hukum, didapati fakta bahwa para terpidana mati tersebut saat menjalani proses hukum tidak memperoleh pembelaan atau bantuan hukum secara maksimal. Dari hasil penelitian ICJR, mayoritas terdakwa atau 18 dari 32 kasus yang diteliti, menunjuk sendiri penasihat hukumnya di persidangan. Namun, hal itu tidak berarti mereka mendapatkan pembelaan maksimal. Ini dapat dilihat dari jumlah terdakwa yang mengajukan saksi meringankan. Hanya dalam lima kasus di mana kuasa hukum terdakwa mengajukan saksi meringankan.
Belum lagi pembelaan lain seperti eksepsi atau tanggapan/sanggahan atas dakwaan jaksa, hanya empat kuasa hukum yang mengajukan eksepsi. Bahkan, dalam lima kasus lainnya tidak dibarengi dengan pembelaan tertulis dari penasihat hukum. Untuk tindak pidana dengan ancaman hukuman mati, hal tersebut sungguh disayangkan.
Sementara dari kluster terpidana hukuman mati yang penasihat hukumnya ditunjuk oleh hakim bisa dipastikan pembelaan yang diberikan juga tidak maksimalnya dengan mereka yang menunjuk sendiri kuasa hukum. Mereka kebanyakan dari terdakwa yang memiliki latar belakang ekonomi rendah. Ada 13 orang dari total 32 terpidana mati perempuan yang dibantu majelis hakim dalam penunjukan kuasa hukum. Dari kluster ini, hanya satu terdakwa yang kuasa hukumnya mengajukan eksepsi, tidak ada satu pun yang mengajukan saksi meringankan, dan ada dua penasihat hukum yang tidak mengajukan pembelaan secara tertulis.
Persoalan tidak mendapatkan bantuan hukum yang layak bagi perempuan tersebut tidak perlu terjadi. Sebab, para terdakwa sebenarnya dapat mengakses bantuan hukum secara cuma-cuma yang disediakan pemerintah melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham. Pengadilan pun menyediakan layanan bantuan hukum gratis, demikian pula para pengacara/kantor advokat yang diwajibkan untuk memberikan layanan probono minimal satu kasus dalam satu tahun.
Aspek kerentanan perempuan
ICJR juga menemukan, di dalam pembelaan yang dilakukan kuasa hukum menyinggung aspek kerentanan perempuan. Misalnya, ada beban pengasuhan (2 kasus), kesulitan ekonomi (5 kasus), bukan pelaku utama (2 kasus), dan korban mafia (1 kasus). Namun, tidak semua hakim merespons pembelaan tersebut. Hanya 4 perkara atau 12 persen yang menjadikan aspek-aspek tersebut sebagai pertimbangan dalam menjatuhkan putusan dan sebagai alasan yang meringankan.
Menurut Maidina, aspek kerentanan perempuan memang tidak selalu tergambar di dalam pembelaan maupun pertimbangan hakim. Dalam penelitian yang dilakukan, ICJR menemukan adanya jenis-jenis kerentanan berbasis jender, seperti adanya riwayat sebagai korban kekerasan, melakukan tindak pidana karena terjerat hubungan romantis, atau melindungi keluarga. Selain itu, adanya riwayat sebagai korban perkawinan anak maupun kekerasan domestik.
Terkait dengan riwayat sebagai korban kekerasan, ICJR menemukan ada lima kasus (dari 32 kasus yang diteliti). Kelima terpidana itu terbukti melakukan pembunuhan. Namun, dalam kelima kasus tersebut sama sekali tidak ditemukan pertimbangan yang menyatakan riwayat kekerasan yang ada sebagai dasar untuk meringankan hukuman.
Dalam jeratan hubungan romantis, terpidana melakukan tindak pidana karena alasan memenuhi kehendak atau membantu pihak lain yang umumnya adalah sosok laki-laki. Fenomena ini terdapat di dalam 8 kasus dari 32 kasus terpidana mati yang diteliti.
Dalam kasus Merry Utami, terpidana mati kasus narkotika, hal tersebut terlihat jelas ketika Merry dijanjikan akan dinikahi oleh Jerry (warga Kanada) setelah tiba di Indonesia sembari membawa tas yang berisi heroin 1,1 kilogram. Beberapa kasus lain seperti RS yang terlibat jaringan peredaran narkoba karena membantu suaminya.
Dalam kaitannya dengan kasus Merry Utami, salah satu dari tim kuasa hukum Merry dari LBH Masyarakat, Aisya Humaida, mengungkapkannya, fenomena hukuman mati yang dijatuhkan kepada perempuan dalam perspektif Komnas HAM merupakan puncak dari kekerasan jender terhadap perempuan. Penjatuhan hukuman mati ini merupakan dampak dari kebijakan pemerintah dalam melakukan perang terhadap narkoba atau war on drugs.
Pendekatan seperti itu, tambahnya, menggeneralisasi tersangka kasus narkoba sebagai bagian dari sindikat tanpa mempertimbangkan dengan matang peran dan kerentanan perempuan. Dalam kasus Merry, misalnya, keterlibatannya dalam jaringan narkotika karena tipu daya pacarnya. Namun, Merry tetap dihukum mati.
”Generalisasi ini tampak dari pernyataan Presiden Jokowi pada tahun 2014, di mana ia akan menolak semua grasi terpidana mati dari kasus narkoba,” kata Asiya.
Upaya pemerintah
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly kepada Kompas, Rabu (1/12/2021), mengatakan, negara sebenarnya telah berupaya memberikan bantuan hukum kepada warga kurang mampu saat berhadapan dengan hukum, termasuk di dalamnya kepada kaum perempuan. Pemberian bantuan hukum cuma-cuma tersebut dilakukan untuk memenuhi, melindungi, sekaligus menjamin hak warga akan akses terhadap keadilan dan kesamaan di muka hukum.
”Dengan adanya UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, pemerintah menjamin hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan bantuan hukum. Pemerintah juga bertanggung jawab terhadap pemberian bantuan hukum yang dilaksanakan dengan memenuhi asas keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum, keterbukaan, efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas,” kata Yasonna.
Bantuan hukum yang dimaksud adalah bantuan hukum litigasi dan non-litigasi secara cuma-cuma. Bantuan diberikan hingga masalah hukum warga selesai atau sampai perkaranya memiliki kekuatan hukum tetap. Selain diatur di UU No 6/2011, hal itu diperkuat di Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 4 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Bantuan Hukum.
Berdasarkan data BPHN, pemerintah mengalokasikan dana Rp 45,595 miliar pada tahun 2020, khusus untuk litigasi. Dana tersebut disalurkan melalui 524 pemberi bantuan hukum (PBH) yang telah lolos verifikasi dan akreditasi BPHN. Namun, diakui bahwa jumlah tersebut masih sedikit karena baru menjangkau 42 persen atau 215 dari total 514 kabupaten/kota di Indonesia.
Lagi pula Indeks Akses Keadilan Indonesia tahun 2019 yang dikembangkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas bekerja sama dengan sejumlah LSM di bidang hukum, masih ada sebanyak 53,3 persen publik yang tidak mengetahui ada fasilitas bantuan hukum gratis dari pemerintah. Terkait indeks akses keadilan sendiri, Indonesia memiliki skor 69,6 persen (skala 0-100) atau masuk dalam kategori cukup (Kompas, 4/7/2021).
Maidina mengungkapkan, pihaknya juga masih menemukan adanya stigma yang dilekatkan pada perempuan terpidana mati dalam putusan hakim. Misalnya, disebutkan bahwa seharusnya perempuan selaku istri haruslah mneyayangi dan menghormati suami serta seharusnya mampu menciptakan tertib keluarga.
MA sebenarnya telah mengeluarkan petunjuk teknis bagi hakim saat memeriksa perkara yang melibatkan perempuan, yaitu Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Hakim saat memeriksa perkara terkait diminta untuk mempertimbangkan kesetaraan gender dan nondiskriminasi.
Hal itu dilakukan dengan mengidentifikasi fakta persidangan sebagai berikut, ketidaksetaraan status sosial di antara para pihak yang beperkara, ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan, diskriminasi, dampak psikis yang dialami korban. Selain itu, juga ketidakberdayaan fisik dan psikis korban, relasi kuasa yang mengakibatkan korban/saksi tidak berdaya, dan riwayat kekerasan dari pelaku terhadap korban/saksi.
Dengan adanya ketentuan-ketentuan di dalam Perma No 3/2017, perlindungan perempuan selama menjalani proses pemeriksaan di pengadilan baik secara fisik maupun psikis menjadi lebih terjamin, dan bentuk ancaman terhadap perempuan hingga yang berbentuk verbal sekalipun dapat dihindari.
Jaksa Agung juga telah meluncurkan Pedoman Kejaksaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana, sebagai pedoman hukum implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Aturan itu diluncurkan pada 8 Maret 2021.