UU HAM Akan Direvisi, Perlindungan Kelompok Rentan Harus Diperkuat
Pemerintah menginisiasi perubahan UU No 39/1999 tentang HAM. Naskah akademik dan draf RUU akan mulai disusun pada tahun 2022 karena ditargetkan diajukan ke DPR tahun 2023.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah merencanakan untuk merevisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. UU yang sudah berumur 22 tahun itu dianggap tidak lagi relevan dengan perkembangan isu HAM terkini. Masyarakat sipil berharap revisi aturan itu bisa memperkuat perlindungan terhadap kelompok rentan.
Kepala Subdit Instrumen Hak Kelompok Rentan Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Hidayat Yasin, Selasa (30/11/2021), mengatakan, saat ini pemerintah sedang mempersiapkan untuk merevisi UU HAM yang kini sudah berusia 22 tahun itu. Menurut dia, revisi UU HAM saat ini sudah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka panjang 2019-2024.
Pemerintah sebagai inisiator revisi UU HAM akan secara bertahap mempersiapkan revisi UU tersebut. Pada tahun 2022, pemerintah akan fokus pada penyiapan naskah akademik (NA). Kemudian, di tahun 2023 diharapkan NA dan draf RUU HAM bisa masuk dan dibahas bersama DPR.
”UU HAM sudah cukup lama diterbitkan sehingga sudah tidak lagi update dengan situasi terkini. Misalnya, pengaturan tentang pengaturan hak ekonomi, sosial, dan budaya yang masih sangat kurang. Apalagi bicara untuk melindungi kelompok rentan, sudah tidak lagi relevan,” kata Hidayat dalam diskusi ”Meninjau Kebijakan Perlindungan Kelompok Rentan di Indonesia” yang diadakan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).
Selain Hidayat, narasumber yang hadir dalam webinar itu adalah peneliti PSHK, Auditya Saputra; dan penasihat jender dan HAM UNAIDS (United Nations Programme on HIV and AIDS), Yasmin Purba.
UU HAM sudah cukup lama diterbitkan sehingga sudah tidak lagi update dengan situasi terkini. Misalnya, pengaturan tentang pengaturan hak ekonomi, sosial, dan budaya yang masih sangat kurang. Apalagi bicara untuk melindungi kelompok rentan, sudah tidak lagi relevan.
Hidayat menerangkan, saat ini pemerintah sedang menjaring aspirasi sebanyak-banyaknya dari pemangku kepentingan untuk keperluan penyusunan NA. Menurut dia, negara memiliki komitmen untuk lebih progresif dalam memenuhi dan melindungi HAM. Oleh karena itu, pengaturan mengenai perlindungan hak sipil, politik, serta ekonomi, sosial, dan budaya perlu diperbaiki melalui revisi UU HAM.
Pasal krusial dalam perlindungan HAM yang akan diperbaiki itu salah satunya adalah Pasal (5) Ayat (3) yang mengatur tentang perlindungan kelompok rentan berkenaan dengan kekhususannya. Kelompok rentan yang diatur dalam pasal tersebut adalah warga lanjut usia (lansia), anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan kaum disabilitas. Pengaturan ini dinilai kurang komprehensif karena tidak memasukkan kelompok rentan lainnya misalnya orang dengan gangguan mental, LGBTQ, orang dengan HIV/AIDS, dan sebagainya.
Perbaiki definisi kerentanan
Dari hasil penelitian PSHK, apabila UU HAM direvisi, diharapkan dapat mengubah definisi kerentanan yang saat ini didefinisikan kurang jelas dan lengkap. Menurut Auditya Saputra, kerentanan harus dilihat dalam konteks posibilitas risiko, tidak semata identitas tertentu. Sebab, jika mengacu pada identitas misalnya LGBTQ (lesbian, gay, biseksual, transjender, dan queer), korban kerap mendapatkan diskriminasi saat berhadapan dengan hukum.
Auditya berharap, definisi kelompok rentan dapat diperluas menjadi kerentanan fisik (disabilitas, lansia, dan anak); kerentanan sosial (minoritas ras dan etnis, agama dan kepercayaan, minoritas jender dan seksual, korban KRDT, korban kekerasan seksual); kerentanan ekonomi (fakir miskin); kerentanan lingkungan (korban bencana lama, bencana sosial).
”Dari pengaturan itu, seorang subyek hukum bisa memiliki kerentanan ganda, tidak hanya dilihat dari identitasnya,” tuturnya.
Temuan PSHK juga menyebutkan bahwa pada praktiknya, pemahaman aparat penegak hukum masih sangat lemah terkait dengan perlindungan kelompok rentan. Contohnya, korban kasus pemerkosaan justru dipaksa menikah oleh pelakunya oleh kepolisian. Selain itu, penyandang disabilitas juga kerap mendapatkan diskriminasi saat berhadapan dengan hukum. Dia berpandangan, definisi kelompok rentan yang lebih baik di revisi UU HAM akan membantu penegakan hukum yang lebih baik.
”Definisi kelompok rentan jangan hanya pada identitas seseorang seperti perempuan dan anak. Akan lebih komprehensif apabila digunakan pendekatan faktor identitas. Ini akan menghilangkan diskriminasi terhadap mereka,” ujar Auditya.
Sementara itu, Yasmin Purba menegaskan, konstitusi telah memberikan jaminan perlindungan HAM bagi warga negara. Warga negara berhak bebas dari diskriminasi dalam bentuk apa pun. Jaminan perlindungan HAM itu sebenarnya juga sudah diatur dalam UU HAM. Namun, karena usianya sudah 22 tahun, sudah tidak lagi relevan dan komprehensif untuk memberikan perlindungan kepada kelompok rentan.
”Pada tahun 1999 mungkin UU HAM dirasa sangat komprehensif. Namun, sekarang hal itu kurang relevan apalagi untuk mencakup banyaknya kelompok dan jenis kerentanan,” kata Yasmin.
Karena konsen mengadvokasi isu hak orang dengan HIV/AIDS Yasmin berharap ODHA (orang dengan HIV/AIDS) juga masuk dalam pengaturan kelompok rentan. Menurut dia, para ODHA ini masih kerap mendapatkan diskriminasi saat berhadapan dengan hukum. Mereka kerap didiskriminasi baik karena statusnya maupun orirentasi seksualnya. Secara populasi, HIV/AIDS banyak diderita oleh LGBTQ.
”Karena itulah, pengakuan hak-hak ODHA masih kerap didiskriminasi. Mereka juga termasuk kelompok rentan saat berhadapan dengan hukum. Padahal, seharusnya, keadilan hukum itu bisa dirasakan seutuhnya oleh semua orang,” kata Yasmin.