Pasca-Pemilihan Umum Presiden 2019 hingga saat ini, sudah tujuh kali Prabowo Subianto bertemu dengan Megawati Soekarnoputri. Bahkan, Prabowo juga sempat menghadiri acara yang digelar PDI-P.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·6 menit baca
Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto kembali menjadi perbincangan hangat setelah foto pertemuan keduanya bersama Puan Maharani di Istana Negara, Jakarta, diunggah di media sosial, Rabu pekan lalu. Kendati pertemuan Mega, Prabowo, dan Puan terjadi saat ketiganya sama-sama menanti pelaksanaan upacara pelantikan Jenderal Andika Perkasa sebagai Panglima TNI, tetap saja mengundang beragam spekulasi.
Tidak sedikit yang meyakini pertemuan ketiganya menjadi sinyal menuju koalisi. Peristiwa itu kembali menunjukkan betapa dekatnya hubungan Prabowo dengan Megawati yang pernah bersama-sama maju dalam Pemilihan Umum Presiden 2009.
Pasca-Pilpres 2019, setidaknya tujuh kali sudah Megawati, yang merupakan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), bertemu dengan Prabowo, yang merupakan Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Pertemuan pertama terjadi pada 24 Juli 2019 saat Prabowo bertandang ke kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta. Kemudian pada 8 Agustus 2019, Prabowo menghadiri Kongres PDI-P di Bali. Pada 10 Januari 2020, Prabowo hadir dalam Rapat Kerja Nasional PDI-P di Kemayoran, Jakarta.
Selanjutnya, pada 7 Februari 2020, keduanya bertemu pada acara peresmian Patung Bung Karno di Akademi Militer, Magelang, Jawa Tengah. Saat itu, Prabowo berjanji membangun Patung Bung Karno di kantor Kementerian Pertahanan. Karena janji itulah, keduanya bertemu kembali pada acara peresmian Patung Bung Karno di Kemenhan, 6 Juni 2021.
Kemudian, pada 11 Juni 2021, Prabowo turut hadir ketika Megawati menerima gelar Profesor Kehormatan dari Universitas Pertahanan, Jakarta. Terakhir, pertemuan terjadi di Istana Negara sebelum pelantikan Panglima TNI. Saat itu Megawati hadir sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Prabowo selaku Menteri Pertahanan, dan Puan datang sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat.
”Itu bukan pertemuan formal, bukan pula pertemuan informal yang didesain, tetapi pertemuan yang kebetulan sama-sama menunggu di ruangan VVIP di Istana karena saat itu pelantikan Pak (Jenderal) Andika Perkasa sebagai Panglima TNI,” kata juru bicara Menhan Prabowo Subianto, Dahnil Anzar Simanjuntak, dalam bincang-bincang Satu Meja the Forum bertajuk ”Prabowo-Mega Mesra, Koalisi di Depan Mata?” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (24/11/2021) malam.
Diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo itu juga menghadirkan politisi PDI-P, Andreas Hugo Pareira; politisi Partai Keadilan Sejahtera, Mardani Ali Sera; serta peneliti Utama Pusat Penelitian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Siti R Zuhro.
Menurut Dahnil, hubungan Megawati-Prabowo ibarat kakak dengan adik. Itu karena keduanya pernah berpasangan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden pada 2009. Meski keduanya berseberangan dan seolah bermusuhan pada Pilpres 2014 dan 2019, komunikasi tetap jalan. Komunikasi kedua tokoh tersebut diharapkan dapat menghapus residu negatif yang muncul pasca-Pilpres 2019.
Petikan layar akun media sosial Ketua DPR Puan Maharani menunjukkan pertemuan di Istana Negara antara Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto, saat pelantikan Panglima TNI, Rabu (17/11/2021), di Jakarta. Namun, Mardani mengingatkan, citra mengenai elite politik yang rukun semestinya diikuti dengan politik nilai dan politik narasi untuk disampaikan kepada publik. Sebab, menurut dia, saat ini banyak elite politik berjumpa, tetapi miskin narasi atau gagasan.
”Elite yang rukun, bagus image-nya buat publik. Tapi, itu bisa jadi meninabobokkan karena tidak ada gagasan yang disampaikan,” kata Mardani.
Terlepas dari itu, komunikasi yang terjalin bisa saja berujung pada koalisi pada Pilpres 2024. Andreas menyampaikan, bukan tidak mungkin PDI-P dan Gerindra akan berkoalisi untuk 2024. Tidak hanya karena keduanya pernah berpasangan pada Pilpres 2009, tetapi juga lantaran hubungan kedua pemimpin partai itu telah terjalin sejak lama.
Jadi, kecil kemungkinan arah untuk tidak berkoalisi pada 2024. Ibaratnya membangun jembatan, sekarang ini jembatan itu terbangun dengan baik.
Prakondisi
Siti Zuhro melihat, perjumpaan kedua tokoh partai politik tersebut menunjukkan bahwa mereka tengah membangun prakondisi yang sangat positif. Selain secara pribadi keduanya relatif dekat, strategi komunikasi juga dinilai luar biasa.
Bagi PDI-P, kata Siti, selain karena hubungan yang sudah lama terjalin, Prabowo adalah sosok yang sangat diperhitungkan. Sebab, Pilpres 2019 memperlihatkan pemilih Prabowo cukup signifikan. ”Jadi, menurut saya, kecil kemungkinan arah untuk tidak berkoalisi di 2024. Ibaratnya membangun jembatan, sekarang ini jembatan itu terbangun dengan baik,” ujarnya.
Bicara soal Pilpres 2024, Siti menduga akan berbeda dengan kontestasi politik pada 2014 dan 2019. PDI-P diperkirakan akan memilih kader yang terbaiknya, tak terkecuali Puan Maharani.
Puan dikatakan telah lama dipersiapkan PDI-P untuk maju dalam pilpres. Hal tersebut bisa dilihat dari perjalanan politiknya mulai dari anggota DPR, ketua fraksi, menteri, hingga saat ini Ketua DPR.
Andreas pun sepakat bahwa Puan adalah kader PDI-P yang perjalanan politiknya sudah relatif panjang. Namun, anggota DPR tersebut menolak mengatakan bahwa Puan sebagai kader akan diajukan sebagai capres karena hal itu merupakan wewenang Megawati selaku Ketua Umum PDI-P.
”Memang, kotak pandoranya ada di PDI-P. Kalau PDI-P buka kartunya, nanti baru kelihatan peta pilpres (2024) ini. Tetapi, seperti yang lain-lain juga, ini masih terlalu pagi,” ujarnya.
Demikian pula Dahnil berpandangan bahwa terlalu dini untuk berbicara siapa akan berpasangan dengan siapa. Apalagi sampai saat ini, Prabowo masih belum menjawab keinginan kader Partai Gerindra untuk kembali mencalonkan diri sebagai capres pada Pilpres 2024.
”Secara spesifik Pak Prabowo tidak pernah bicara apakah beliau akan maju,” kata Dahnil.
Siti juga berpandangan, saat ini masih terlalu dini untuk memperkirakan pasangan capres dan cawapres. Itu karena, pada tataran praktis, politik itu penuh opsi dan tidak bersifat absolut. Sebagaimana kader PDI-P, yakni Puan, Siti meyakini bahwa ia akan terus melakukan sosialisasi dan melakukan aksi untuk mendekatkan diri ke masyarakat. Secara khusus, Siti berharap agar lebih banyak tokoh perempuan untuk tampil ke panggung politik nasional.
Terlepas dari kontestasi capres dan cawapres, hal penting yang perlu diperhitungkan adalah ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Menurut Siti, ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen kursi parlemen atau 25 persen suara sah nasional perlu diturunkan. Sebab, dengan begitu, kontestasi pilpres akan berjalan dengan adil. Partai politik menengah tidak akan terlalu bergantung pada parpol besar karena mereka bisa mengajukan capres dan cawapres sendiri.
Ambang batas 20 persen dinilai lebih menguntungkan parpol besar. Di sisi lain, hal itu bermuara pada ketidakpercayaan publik yang terwujud dalam bentuk sengketa pemilu yang akan mengancam kohesivitas sosial masyarakat.
Hal senada dikatakan Mardani. Menurut dia, halangan bagi seseorang untuk masuk ke dunia politik harus seminimal mungkin. Dengan diturunkannya ambang batas pencalonan presiden, biaya politik yang mahal bisa hilang dan orang-orang yang baik dapat masuk ke politik.
Sebaliknya, Andreas berpandangan bahwa ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen sudah wajar. Itu karena dalam pencalonan presiden dan wapres, yang dilihat adalah figur atau sosok. Dengan adanya ambang batas, terdapat ruang seleksi bagi mereka yang ingin menjadi capres dan cawapres.