Keluarga Korban Kasus HAM Berat Masa Lalu Pesimistis dengan Instruksi Jaksa Agung
Instruksi percepatan penanganan perkara HAM berat masa lalu sudah berulang kali disampaikan, tetapi kenyataannya perkara tak pernah dilanjutkan ke tingkat penyidikan, apalagi sampai disidangkan di pengadilan HAM.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keluarga korban pesimistis penanganan perkara pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu akan lebih cepat setelah ada instruksi dari Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus. Pasalnya, instruksi serupa telah berulang kali disampaikan, tetapi kenyataannya perkara tidak pernah dilanjutkan ke tingkat penyidikan, apalagi sampai disidangkan di pengadilan HAM.
Sekretaris Jenderal Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi) Zaenal Muttaqin mengatakan hal itu saat dihubungi, Senin (22/11/2021). Menurut dia, jika Jaksa Agung betul-betul serius, semestinya kejaksaan duduk bersama dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai penyelidik perkara untuk mencari solusi jika ada hambatan dalam penanganan perkara.
”Namun, faktanya, bolak-balik berkas perkara. Kami tidak optimistis dengan pernyataan Jaksa Agung itu,” kata Zaenal.
Menurut Zaenal, selama ini pemerintah mengatakan kepada keluarga korban akan menyelesaikan peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui jalur yudisial dan non-yudisial. Maka, semestinya pemerintah fokus untuk menyelesaikan kasus yang paling siap sembari menyiapkan langkah untuk penyelesaian non-yudisial.
Terlebih, dalam kasus penghilangan aktivis pada 1997/1998, sudah ada rekomendasi dari Panitia Khusus Orang Hilang DPR kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc serta mencari 13 orang yang dinyatakan Komnas HAM hilang. Meski demikian, Zaenal berpandangan langkah tersebut memerlukan dukungan dan perintah tegas Presiden. Sebab, meski penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM berat merupakan masalah hukum, nuansa politisnya juga kuat.
”Kami sendiri minta Komnas HAM mendorong penyelesaian kasus yang paling siap. Keluarga korban sudah semakin tua. Mereka semakin realistis, seperti meminta, kalau anggota keluarganya dulu, semisal, dibuang, tunjukkan saja di mana lokasinya,” ujar Zaenal.
Secara terpisah, aktivis HAM, Maria Catarina Sumarsih, yang juga ibu dari Bernardus Realino Norma Irmawan atau Wawan, korban Peristiwa Semanggi I, mengaku heran ketika saat ini Jaksa Agung memerintahkan Jampidsus untuk mempercepat penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM berat. Mestinya, lanjut Sumarsih, hal itu segera dilakukan ketika Presiden memerintahkan penyelesaian peristiwa pelanggaran saat Rapat Koordinasi Teknis Kejaksaan pada Desember 2020.
Menurut Sumarsih, saat itu Presiden menyatakan kejaksaan sebagai aktor kunci penuntasan peristiwa pelanggaran HAM berat. Namun, hingga setahun berlalu, tidak ada langkah berarti yang dilakukan.
”Ini menurut saya hanya pencitraan saja ketika sebentar lagi ada Hari HAM Internasional dan belum lama ada festival HAM. Jadi, kalau istilahnya ada panggung depan dan panggung belakang, (instruksi Jaksa Agung) ini panggung depan,” kata Sumarsih.
Menurut dia, yang lebih penting, Jaksa Agung melaksanakan kewajibannya sesuai Pasal 21 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM untuk mengangkat penyidik ad hoc. Alih-alih mengalami kebuntuan, lanjut Sumarsih, perkara pelanggaran HAM berat memiliki jalan keluar, yaitu menindaklanjuti ke penyidikan.
Pembentukan tim khusus
Namun, tindak lanjut dari instruksi terbaru Jaksa Agung tersebut masih belum jelas. Jampidsus Ali Mukartono dan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak tidak merespons pertanyaan yang disampaikan melalui pesan singkat.
Meski demikian, dalam laporan ”Capaian Kinerja 2 Tahun Kejaksaan” yang dirilis di akun media sosial resmi kejaksaan disebutkan telah dibentuk Tim Khusus Penuntasan Dugaan Pelanggaran HAM yang Berat. Kemudian sebanyak 13 berkas penyelisikan HAM berat dari Komnas HAM telah diverifikasi oleh tim khusus tersebut.
Kasus tersebut antara lain peristiwa 1965-1966; penembakan misterius 1982-1985; peristiwa Talangsari, Lampung, 1989; dan kasus Rumah Geudong pada era Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh 1989-1998. Selain itu, kasus kerusuhan Mei 1998; Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II pada 1998-1999; peristiwa Simpang KKA 1999; pembunuhan dukun santet 1999; kasus Wamena dan Wasior 2002 dan 2003; Jambu Keupok, Aceh, 2003; serta Paniai 2014.
Kejaksaan menyebutkan, hasil penelitian terhadap 13 berkas penyelidikan tersebut dinyatakan belum lengkap, baik syarat formil maupun materiil, untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan. Sebab, petunjuk Jaksa Agung selaku penyidik belum dipenuhi oleh penyelidik Komnas HAM.
Kejaksaan menyatakan, saat ini penyelesaian di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan sedang mengupayakan jalan terbaik, terutama untuk pemenuhan hak-hak korban. Selain itu, diperlukan pendapat ahli hukum untuk menemukan terobosan yuridis yang terbaik melalui diskusi publik atau seminar.
Sementara itu, Ketua Tim Tindak Lanjut Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Komnas HAM Amiruddin mengatakan, Komnas HAM telah selesai menyelidiki 12 peristiwa yang diduga terjadi pelanggaran HAM berat sesuai Pasal 18 dan Pasal 20 (1) UU tentang Pengadilan HAM. Seluruh berkas hasil penyelidikan telah diserahkan ke Jaksa Agung.
”Berkas-berkas itu telah diserahkan ke Jaksa Agung. Ada yang telah berusia 15 tahun, ada juga yang hampir dua tahun, yaitu tentang Peristiwa Paniai, Papua,” kata Amiruddin.
Ia berharap langkah terobosan yang diambil kejaksaan berbentuk langkah hukum, yakni memulai penyidikan dengan memilih berkas peristiwa mana pun. Sebaliknya, jika langkah yang diambil Jaksa Agung bukan membentuk tim penyidik dan memulai penyidikan, hal itu dinilai bukan sebagai terobosan.
Sementara itu, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai, pernyataan Jaksa Agung berupa pemberian instruksi tersebut belum membawa kemajuan sama sekali. Hal itu dianggap sebagai pernyataan, tanpa ada tindakan nyata.
”Belum terlihat sama sekali langkah Jaksa Agung yang sedari awal justru semakin memperlihatkan dependensi politiknya pada Presiden dan DPR, bukan pada independensinya sebagai otoritas tertinggi hukum di bidang penyidikan dan penuntutan pelanggaran HAM berat,” kata Usman.