Ambil Terobosan Penyidikan untuk Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM Berat
Jaksa Agung memerintahkan Jampidsus mempercepat penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat masa lalu. Komnas HAM menilai yang dibutuhkan terobosan penyidikan. Adapun Kontras menilai, harus ada kemauan politik.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hingga pertengahan periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo, belum ada titik terang terhadap penyelesaian kasus-kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi dalam kurun waktu 1965-2014. Tarik-menarik antara Kejaksaan Agung dan Komisi Nasional HAM terus terjadi. Diperlukan terobosan dalam penyidikan serta kemauan politik untuk menuntaskan persoalan tersebut.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengeluarkan instruksi baru untuk menuntaskan perkara pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Ia memerintahkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) mengambil langkah strategis untuk mempercepat penyelesaian persoalan tersebut sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
”Jaksa Agung menilai perlu ada terobosan progresif untuk membuka kebuntuan pola penanganan akibat perbedaan persepsi antara penyidik HAM dan penyelidik Komnas HAM,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas, Minggu (21/11/2021).
Jampidsus diharapkan dapat melakukan langkah yang tepat dan terukur terkait sejumlah dugaan pelanggaran HAM berat dalam waktu dekat. Meski demikian, belum jelas mengenai terobosan yang akan dibuat. Jampidsus Ali Mukartono hingga Minggu sore tidak menjawab panggilan dan pertanyaan yang Kompas sampaikan melalui pesan singkat.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Amiruddin Al Rahab mengatakan, selama ini tidak ada perbedaan persepsi di antara Komnas HAM dan Jaksa Agung dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM berat. Merujuk Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, kedua institusi tersebut memiliki fungsi yang berbeda. Komnas HAM merupakan penyelidik sedangkan Jaksa Agung berperan sebagai penyidik.
Sebagai penyelidik, dalam Pasal 19 dan 20 UU No 26/2000 dijelaskan bahwa Komnas HAM berwenang memeriksa dugaan pelanggaran HAM berat dalam sebuah peristiwa. Mulai dari menerima laporan atau pengaduan; memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk meminta keterangan; dan memanggil saksi. Penyelidik juga bisa meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lain yang diperlukan, serta memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan tertulis atau menyerahkan dokumen yang dibutuhkan.
Jika dalam penyelidikan telah ditemukan bukti permulaan yang cukup atas peristiwa pelanggaran HAM berat, kesimpulan penyelidikan akan diserahkan kepada penyidik. Namun, laporan yang dinilai belum lengkap, dapat dikembalikan oleh penyidik, penyelidik pun wajib melengkapinya dalam waktu 30 hari.
Sementara itu, mengacu Pasal 22 UU No 26/2000, Jaksa Agung sebagai penyidik wajib menyelesaikan penyidikan maksimal 90 hari sejak hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap. Jangka waktu itu dapat diperpanjang paling lama 60 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai daerah hukumnya. Jika dalam jangka waktu tersebut penyidikan tidak memperoleh bukti yang cukup, Jaksa Agung wajib mengeluarkan surat penghentian penyidikan. Setelah surat penghentian penyidikan diterbitkan, penyidikan hanya bisa dibuka kembali apabila ada alasan atau bukti lain yang dapat melengkapi penyidikan.
“Komnas HAM sebagai penyelidik telah menjalankan fungsinya, Jaksa Agung yang belum melaksanakan fungsinya sebagai penyidik atas pelanggaran HAM berat,” kata Amiruddin.
Sejak mendapatkan mandat UU No 26/2000, Komnas HAM telah menyerahkan 12 hasil penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat di antaranya peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, Talangsari, Lampung 1989, dan Rumah Geudong pada era Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh 1989-1998. Selain itu, terdapat pula laporan penyelidikan atas kerusuhan Mei 1998, Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II 1998-1999, pembunuhan dukun santet 1999, kasus Wamena dan Wasior pada 2002 dan 2003, Jambu Keupok, Aceh 2003, dan Paniai 2014. Namun, belum ada satu pun dari sejumlah peristiwa itu yang ditindaklanjuti ke pengadilan HAM.
Terobosan penyidikan
Amiruddin mengatakan, menyambut baik upaya Jaksa Agung memerintahkan jajarannya untuk mengambil langkah strategis untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat. Hingga saat ini belum ada komunikasi antara Jaksa Agung dan Komnas HAM ihwal instruksi tersebut. Hal itu juga tidak diperlukan karena Komnas HAM tidak berwenang turut serta dalam urusan internal Kejaksaan Agung.
Namun ia berharap, terobosan yang dibuat terkait dengan penyidikan sesuai dengan tugas Jaksa Agung yang tercantum dalam UU No 26/2000. Hal itu sangat diperlukan untuk menegakkan keadilan sekaligus memberikan kepastian hukum, baik bagi pihak yang menjadi korban maupun orang-orang yang diduga bertanggung jawab atas sejumlah peristiwa pelanggaran HAM berat. ”Terobosan yang paling ditunggu bangsa ini adalah pengumuman tim penyidikan atas peristiwa pelanggaran HAM berat oleh Jaksa Agung,” kata Amiruddin.
Kepala Divisi Pemantauan Imunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Tioria Pretty Stephanie mengatakan, sebenarnya terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan Jaksa Agung untuk membantu penyidikan. Contohnya, memberikan kewenangan kepada penyelidik Komnas HAM untuk melakukan upaya paksa untuk melengkapi berkas yang diminta. Namun, selama ini hal itu tidak pernah dilakukan.
Padahal, merujuk Pasal 19 Ayat (1) huruf G UU No 26/2000, ada beberapa hal yang hanya bisa dilakukan penyelidik atas perintah penyidik. Di antaranya pemeriksaan surat, penggeledahan dan penyitaan, pemeriksaan terhadap bangunan atau tempat-tempat lain yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu, serta mendatangkan ahli dalam penyelidikan.
Pretty menambahkan, Jaksa Agung juga belum pernah melakukan gelar perkara terbuka yang bisa disaksikan korban dan publik. Pembentukan penyidik ad hoc yang berisi masyarakat sipil, judicial oversight atau pengawasan terhadap sejumlah alasan Jaksa Agung tidak menyelenggarakan penyidikan, serta judicial mediation, pun belum dilakukan. ”Jadi, selama ini yang terjadi bukan kebuntuan hukum melainkan kebuntuan politik. Jika ada kemauan politik, pasti ada jalan,” ujarnya.
Pretty mengingatkan, semua peristiwa pelanggaran HAM berat penting untuk dituntaskan sebelum dilupakan begitu saja. Semakin lama mengulur waktu, semakin banyak pula pihak terkait yang sudah tidak memungkinkan untuk terlibat dalam penyelesaian persoalan tersebut. ”Sudah terlalu banyak janji, para korban sudah lelah dan trauma, tetapi tidak ada aksi,” katanya.