Seribu Wajah Peran Muhammadiyah
Kamis (18/11/2021) ini, Muhammadiyah berusia 109 tahun. Sejak persyarikatan ini didirikan oleh KH Ahmad Dahlan, Muhammadiyah terus bertransformasi memainkan peran-peran yang dibutuhkan di masanya.
Lima bulan lalu ketika Indonesia memasuki gelombang kedua pandemi Covid-19, pasien di sejumlah daerah mengalami peningkatan. Beberapa pasien di daerah bahkan kesulitan mendapatkan ruang perawatan karena kapasitas rumah sakit yang sudah penuh.
Tak terkecuali di Klaten, Jawa Tengah, sebuah kota di timur DI Yogyakarta, yang kala itu juga mengalami peningkatan kasus Covid-19. Rasio tempat tidur rumah sakit untuk pasien Covid-19 pun pernah menyentuh angka hingga 100 persen. Pasien yang tidak tertampung di rumah sakit akhirnya menjalani perawatan secara mandiri di rumah dengan risiko munculnya kluster keluarga.
Di tengah situasi seperti itu, Klaten mendapatkan tambahan ruang perawatan pasien Covid-19 seusai diresmikannya Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Prambanan, Kamis (1/7/2021). Seluruh fasilitas yang terdiri antara lain 50 tempat tidur, 3 ruang instalasi rawat intensif, dan 3 unit ventilator digunakan untuk menangani pasien Covid-19. Fasilitas milik Muhammadiyah itu kembali meneguhkan perannya sebagai penolong kesengsaraan umum seperti awal pendirian.
”Waktunya pas saat kasus Covid-19 tinggi-tingginya sehingga ketika RS PKU Muhammadiyah Prambanan dibuka, pada awal-awal khusus untuk menerima pasien Covid-19,” ujar Ketua Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Agus Samsudin, Rabu (17/11/2021).
Baca juga: Milad Ke-109, Muhammadiyah Usung Empat Pesan
Peran-peran sosial kemanusiaan ibarat sudah mendarah daging di tubuh persyarikatan Muhammadiyah. Mundur ke belakang saat awal kemerdekaan RI, Muhammadiyah turut berperan mempertahankan kemerdekaan dari serangan Agresi Militer I dan II Belanda.
Sejarawan Ahmad Adaby Darban dalam buku Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah menceritakan, sejumlah ulama dan santri berkumpul di Masjid Taqwa, Suronatan, sekitar 1,5 kilometer dari Istana Kepresidenan Yogyakarta pada 23 Juli 1947. Dipimpin Ketua Umum PP Muhammadiyah kala itu, Ki Bagus Hadikusumo, mereka melakukan shalat malam, iktikaf, serta menyusun strategi mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari serangan pasukan Belanda ke sejumlah daerah di Jawa dan Sumatera yang dikenal dengan Agresi Militer Belanda I.
Pertemuan itu juga dihadiri para ulama Muhammadiyah, seperti KH Ahmad Badawi, KH Machfud Siraj, KH Daim, KH Abdullah, KH Amien Bachrun, dan KH Muhammad Sarbini.
Mereka bersepakat membentuk Markas Ulama Angkatan Perang Sabil (Laskar APS) demi membantu pemerintah melawan musuh yang kembali mengancam kedaulatan Negara Kesatuan RI. Begitu pula saat Belanda melancarkan Agresi Militer II ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948, APS bersama TKR dan laskar rakyat lainnya bertempur mempertahankan Yogyakarta.
Berkali-kali Laskar APS terlibat dalam pertempuran mempertahankan Yogyakarta. Ketika Belanda mampu menduduki Bantul, misalnya, pasukan APS terus bergerilya hingga berhasil mengusir dari Bantul. Bukan hanya itu, pada 8 Januari 1949, APS bersama TKR di bawah komando Kolonel Suhud menyerbu Kota Yogyakarta. Tujuannya mengacaukan kedudukan Belanda di kota.
Di bawah arahan Ki Bagus Hadikusumo, APS terus berjuang mempertahankan kedaulatan bangsa. Hingga akhirnya Belanda menyetujui pengembalian Pemerintah RI ke Yogyakarta pada 24 Juni 1949 dan pasukan Belanda ditarik mundur dari Yogyakarta pada 1 Juli 1949.
Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya Kiai Ahmad Dahlan: Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan membagi sejumlah amal usaha Muhammadiyah dalam beberapa bidang yang tiap bidang dikelola sebuah badan yang disebut majelis atau lembaga. Bidang-bidang itu adalah pendidikan (dakwah), kesehatan, santunan sosial, kewanitaan, generasi muda (kepanduan), bimbingan ibadah ritual dan pengelolaan tempat ibadah, penerbitan pers dan buku tuntutan hidup beragama, kepustakaan, serta penelitian kemurnian ajaran Islam.
Kini, 109 tahun usai Muhammadiyah berdiri pada 18 November 1912, berbagai peran terus dijalankan persyarikatan yang didirikan KH Ahmad Dahlan itu. Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, Muhammadiyah ingin menjadikan Milad ke-109 ini sebagai momentum membangkitkan optimisme bagi seluruh warga bangsa. Muhammadiyah yakin Indonesia bisa mengatasi pandemi ini jika seluruh masyarakat memiliki kesungguhan dan kebersamaan yang dibangun di atas optimisme.
”Bagi Muhammadiyah sendiri, Milad ini menjadi inspirasi untuk terus menebar nilai dan peran positif bagi bangsa dan dunia kemanusiaan semesta dengan semangat memberi tanpa meminta demi tegaknya kemajuan hidup bersama,” ujarnya.
Pada masa pandemi Covid-19, Muhammadiyah tetap fokus mengatasi Covid-19 beserta dampaknya secara serius. Muhammadiyah sejak awal konsisten bergerak proaktif mengatasi Covid-19 melalui program kesehatan dengan melibatkan 117 rumah sakit yang dikoordinasikan MCCC.
Agus mengatakan, Muhammadiyah menyediakan lebih dari 4.000 tempat tidur di seluruh Indonesia untuk pasien Covid-19. Bahkan di rumah sakit Muhammadiyah, tempat tidur yang dialokasikan untuk pasien Covid-19 mencapai 70 persen dari kapasitas yang tersedia. Muhammadiyah juga melakukan vaksinasi di 100 lokasi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan cakupan hingga 400.000 warga.
Peran lain, misalnya, dilakukan Universitas Muhammadiyah Surakarta dengan memberikan bantuan makanan bagi mahasiswa, subsidi pulsa mahasiswa, pemotongan biaya SPP, bantuan sembako untuk masyarakat sekitar, serta vaksinasi. Di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, mahasiswa yang melakukan kuliah kerja nyata diarahkan untuk pendampingan pencegahan Covid-19. ”Pemerintah hanya menyediakan vaksin, sedangkan biaya operasional vaksinasi menggunakan dana dari Muhammadiyah,” ujar Agus.
Haedar mengatakan, Muhammadiyah terus bertransformasi memainkan peran-peran yang dibutuhkan di masanya. Muhammadiyah terus mendorong dan memainkan peran agar Indonesia menjadi negara dan bangsa yang maju di berbagai bidang kehidupan dengan tetap berpijak di bumi keindonesiaan yang berbasis Pancasila, nilai luhur agama, dan kebudayaan sendiri.
Pada era kemerdekaan, Muhammadiyah mentransformasikan diri berjuang untuk kebangkitan Indonesia merdeka. Persyarikatan meletakkan dasar untuk membangun kesadaran kolektif dalam melawan penjajah dengan modal pikiran maju dan menyiapkan sumber manusia yang berani berkorban melawan penjajah, antara lain melahirkan Soedirman, Sarbini, dan Djuanda.
Pada era pascakemerdekaan, Muhammadiyah membangun kekuatan bangsa melalui pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, komunitas, dan pranata-pranata kemajuan agar bangsa Indonesia mampu membangun diri setelah merdeka. Masa Orde Lama dan Orde Baru dilalui dengan keberhasilan membangun lembaga-lembaga modern tersebut.
Di era reformasi, Muhammadiyah yang memelopori gerakan suksesi dan reformasi 1998 berusaha mengisi ruang perubahan dengan menjaga keseimbangan antara konsistensi menjaga nilai-nilai dan visi kebangsaan yang dibangun para pendiri bangsa dan perubahan demokrasi yang liberal. Hal ini dilakukan agar terjadi sintesis atau integrasi dan konsolidasi reformasi yang tetap berpijak pada jati diri Indonesia yang berbasis Pancasila, nilai luhur agama, dan kebudayaan Indonesia.
”Transformasi nilai dan peran Muhammadiyah tersebut dikembangkan dengan tetap konsisten mengintegrasikan keislaman dan keindonesiaan yang kohesif dalam bingkai Islam berkemajuan,” kata Haedar.
Baca juga: Muhammadiyah Menjaga Akal Waras Umat
Memasuki tahun politik jelang 2024, Muhammadiyah berkomitmen tetap berdiri konsisten sebagai kekuatan ormas keagamaan yang non-partisan dalam dunia politik praktis sesuai kepribadian dan khittah grerakannya. Kepentingan Muhammadiyah bersama seluruh kekuatan nasional dan komponen bangsa ialah membangun Indonesia secara kolektif-kolegial sebagaimana dijiwai gotong royong dan persatuan Indonesia dalam Bhinneka Tunggal Ika.
”Kami terus menjalin kerja sama selain dengan pemerintah juga dengan kekuatan-kekuatan politik nasional, termasuk dengan tokoh-tokoh politik, baik dari partai politik maupun non-partai,” katanya.
Pada posisi dan kepentingan membangun Indonesia milik semua, oleh semua, dan untuk semua itulah, Muhammadiyah terus berdialog, berkomunikasi, dan bekerja sama dengan seluruh pihak di Indonesia. Muhammadiyah berharap setiap elite dan kekuatan politik nasional betul-betul dapat memastikan Indonesia aman, damai, bersatu, maju, berdaulat, dan bermartabat sebagai bangsa dan negara.
Menurut dia, kontestasi politik ke depan harus dilakukan secara elegan dengan jiwa kenegarawanan tinggi yang menempatkan kepentingan Indonesia di atas kepentingan pribadi, kroni, dan golongan sendiri. Kontestasi politik 2024 harus lebih baik dan bermartabat serta tidak menyisakan residu perpecahan di tubuh bangsa. ”Muhammadiyah akan berdiri tegak dan konsisten menjaga kewarasan akal budi berpolitik serta merekat persatuan dan memajukan Indonesia tanpa mengklaim diri paling Indonesia,” ucap Haedar.