Dunia Peradilan Perlu Terus Membangun Tradisi Intelektual
Pada 2021, MK menerbitkan 30 buku. Tahun sebelumnya, MK menerbitkan 28 buku karya hakim dan pegawai. Budaya menulis guna pengembangan intelektualitas di lembaga peradilan ini mendapat apresiasi dari berbagai pihak.
Oleh
Susana Rita
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Budaya menulis di lingkungan peradilan konstitusi harus terus dikembangkan untuk membangun tradisi intelektual. Upaya tersebut dinilai penting agar dunia peradilan tidak terjebak dalam keributan ataupun dinamika perebutan kekuasaan dan perebutan kekayaan ekonomi.
”Sekarang ini, (perebutan itu) membuat semua terperangkap. Maka, dunia peradilan harus beda. Harus membangun tradisi intelektual,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2003-2008 Jimly Asshiddiqie saat memberikan sambutan dalam acara peluncuran dan bedah 30 buku karya hakim dan pegawai Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (10/11/2021).
Menurut Jimly, membangun literasi konstitusi sangat penting. Hal tersebut sama pentingnya dengan membangun budaya membaca, di mana Indonesia sebagai negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia, tetapi ternyata memiliki minat baca terendah di Asia Tenggara.
Ketua Mahkamah Agung periode 2000-2008 Bagir Manan mengungkapkan, menghadapi budaya membaca yang masih rendah, ketika orang apriori membaca buku yang tebal, perlu kiranya membuat buku-buku mengenai hukum tata negara yang ditulis dengan sederhana. Dengan demikian, orang awam pun dapat membaca dan memahaminya. Ini tentu akan lebih menarik banyak kalangan dibandingkan jika mereka harus membaca handbook, semacam buku pengantar fundamental dengan ketebalan 700-800 halaman.
Selain itu, ia berharap, MK dapat berperan dalam pendistribusian buku yang diterbitkannya agar menjangkau lokasi-lokasi yang jauh dari ibu kota, seperti Merauke, Papua. Hal ini agar buku-buku karya pegawai dan hakim MK juga dapat dijangkau seluas mungkin oleh masyarakat Indonesia.
Hal senada diungkapkan Jimly. Bahkan, ia menggagas pembentukan sekolah konstitusi dengan memanfaatkan gedung MK saat ini apabila nanti gedung MK ikut pindah seiring pindahnya ibu kota negara ke Kalimantan Timur. Sekolah konstitusi yang nantinya dikelola MK tersebut perlu berjejaring dengan sekolah-sekolah konstitusi lain yang ada di berbagai wilayah.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Topo Santoso juga mengapresiasi penerbitan buku yang mampu merekam pergulatan pemikiran dari para hakim konstitusi serta pihak-pihak yang beperkara di MK selama ini. Menurut dia, pegawai dan staf MK serta hakim MK telah memberikan teladan yang bagus bagi kalangan perguruan tinggi.
Sudah banyak putusan diunggah di internet. Tak hanya putusan MK, tetapi juga putusan MA yang jumlahnya ratusan ribu, tetapi belum dimanfaatkan optimal oleh kalangan perguruan tinggi untuk dianalisis dan dikaji.
”Kita tertinggal dari negara-negara lain yang punya tradisi menganalisis, memperdebatkan putusan pengadilan. Saya kira teman-teman dari MK, para peneliti dan para pegawai MK, memberi teladan yang bagus untuk kalangan perguruan tinggi,” ungkapnya.
Dalam forum itu, Pemimpin Redaksi Harian Kompas Sutta Dharmasaputra menyoroti era kediktatoran digital pada masa kini yang perlu diantisipasi oleh MK. Sistem algoritma digital dilihat Sutta sebagai sesuatu yang lebih mendukung kedangkalan daripada kedalaman, sama halnya lebih mendukung kuantitas daripada kualitas.
Padahal, persoalan yang ada di masyarakat semakin kompleks, tetapi informasi yang dikonsumsi publik sangat dangkal sehingga yang terjadi adalah penyederhanaan persoalan yang mengakibatkan pengambilan kesimpulan yang boleh jadi keliru. ”MK barangkali juga perlu mengantisipasi hal ini,” kata Sutta.
Oleh karena itu, ia sepakat jika buku-buku yang diterbitkan MK didistribusikan secara masif dan dibuat dalam berbagai platform. Sebab, MK dapat berperan sebagai lembaga yang memberikan keseimbangan terutama ketika banyak pihak berpikir tentang (kepentingan) jangka pendek. MK bisa menerawang jauh ke belakang dan jauh ke depan. MK diharapkan membawa suasana negeri dengan wawasan yang lapang.
”Ketika yang lain berpikir tentang pragmatisme, justru MK berpikir tentang idealisme. Jadi, saya rasa kehadiran MK di negeri ini ke depan menjadi sangat penting dan semoga membuat negeri ini menjadi jauh lebih baik ke depan,” lanjutnya.
Sebagai institusi dengan budaya intelektual yang baik, MK juga dinilai telah membuktikan dirinya dengan seringnya menerbitkan produk-produk intelektual, baik buku maupun jurnal. Pada 2021, MK menerbitkan 30 buku. Tahun sebelumnya, MK menerbitkan 28 buku karya hakim dan pegawai. Selain itu, MK juga memiliki dua jurnal, yaitu Jurnal Konstitusi dan Constitutional Review yang sudah terindeks Scopus.