Di Usia 18 Tahun, Mahkamah Konstitusi Masih Perlu Terus Berbenah
Di usia ke-18 tahun, Mahkamah Konstitusi masih diapresiasi positif oleh masyarakat. Namun, jangkauan pemikiran serta kualitas kenegarawanan sembilan hakim konstitusi dinilai perlu terus ditingkatkan.
JAKARTA, KOMPAS —Mahkamah Konstitusi di hari lahirnya yang ke-18, Jumat (13/8/2021), masih relatif dipandang sebagai lembaga yang memiliki citra cukup baik di masyarakat. Namun, sebagai tempat untuk mencari keadilan, sejumlah kalangan menilai MK mengalami kemunduran dibandingkan periode awal lembaga ini berdiri. Kualitas kenegarawanan dan jangkauan pemikiran sembilan hakim konstitusi harus terus ditingkatkan.
Hasil survei berkala Kompas dari Januari 2015 hingga April 2021, terlihat citra MK cenderung berfluktuasi. Pada April 2021, sebanyak 75,9 persen responden menganggap baik citra MK. Angka ini termasuk paling tinggi dibandingkan survei-survei sebelumnya. Misalnya, pada April 2015 (62 persen), April 2016 (63,3 persen), April 2017 (58,5 persen), April 2018 (66,8 persen), dan Maret 2019 (62,6 persen).
Namun, dibandingkan citra positif lembaga penegak hukum lain, dari survei April 2021, terlihat MK berada di bawah Polri (78,7 persen) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (76,9 persen). Namun, citra positif MK masih lebih tinggi dari Mahkamah Agung dan kejaksaan.
”Sebagai peradilan modern, MK hampir tiada cacat. Peradilan lain mesti belajar dan mencontoh kepada MK. Namun, sebagai tempat mencari keadilan, MK jauh mundur dari MK periode awal. Tanpa refleksi, mustahil MK mampu berbenah di aspek tersebut,” ujar Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, dihubungi dari Jakarta, Kamis (12/8/2021).
Contoh saat MK dinilai gagal memberikan keadilan, menurut Feri, di antaranya terkait perubahan-perubahan yang dilakukan MK saat mendefinisikan kedudukan hukum dan kerugian konstitusional pemohon uji materi. MK dinilai mulai membatasi pemohon yang berhak mengajukan perkara dengan memperumit masalah kedudukan hukum.
Misalnya, awalnya MK memperbolehkan tiap warga negara yang tak nyaman dengan berlakunya suatu undang-undang untuk menguji ketentuan terkait dengan alasan sebagai pembayar pajak. Belakangan, alasan sebagai pembayar pajak itu hanya dipergunakan untuk perundang-undangan yang berkait dengan UU Keuangan Negara.
Selain itu, katanya, ruang bagi masyarakat sipil dan akademisi untuk menguji sebuah ketentuan juga tak lagi seleluasa sebelumnya. Pemohon, dalam hal ini masyarakat sipil dan akademisi, diminta menajamkan kerugian konstitusional yang diderita saat menguji sebuah norma.
”Di usia yang ke-18 (tahun), Mahkamah Konstitusi harus mengedepankan aspek substansial, yaitu peradilan hadir untuk memenuhi rasa keadilan publik luas. Semoga MK kian dipercaya di masa depan,” ujarnya.
Menurut dia, kemunduran kepercayaan publik terhadap MK terjadi sejak penangkapan Akil Mochtar oleh KPK pada tahun 2013, saat yang bersangkutan menduduki posisi Ketua MK. Setelah penangkapan tersebut, Gedung MK sempat diobrak-abrik massa ketika menyidangkan perkara sengketa hasil pilkada.
”Ditambah dengan penangkapan Patrialis Akbar (hakim konstitusi) oleh KPK yang kian meyakinkan publik bahwa MK sudah ’terbeli’. Diikuti dengan berbagai kasus yang melibatkan panitera atau pegawai MK lain yang kian membuat MK jauh dari harapan,” ujarnya.
Juru Bicara MK Fajar Laksono Suroso mengungkapkan, pujian dan kritik terhadap MK disikapi secara seimbang sebagai bentuk kecintaan dan perhatian kepada MK, sekaligus suplemen penting untuk turut meningkatkan kinerja lembaga. MK berterima kasih terhadap hal tersebut.
Baca juga : Sikap Hakim soal Pengujian UU MK Akan Tentukan Marwah Lembaga di Mata Publik
Menurut dia, sejauh ini yang dapat dilakukan MK adalah memeriksa dan mengadili perkara dengan proses yang akuntabel dan transparan, dalam artian semua prosedur jelas dan terukur sesuai hukum acara. Ini termasuk dalam pemanfaatan teknologi terkini untuk mendukung pelaksanaan kewenangan dan memudahkan akses keadilan publik.
Terkait putusan, Fajar mengatakan, putusan MK memang tak dapat memuaskan semua pihak. ”Selalu akan ada pihak-pihak yang setuju, senang, dianggap adil, puas, dan lain-lain dengan putusan MK. Demikian pula sebaliknya, ada yang tidak puas, merasa tidak adil, dan lain-lain. Bagi MK, hal itu fenomena yang wajar saja,” ujar Fajar.
Berkaitan dengan kasus-kasus di masa lalu, MK mengakui bahwa hal itu merupakan fakta sejarah. Namun, kasus seperti Akil dan Patrialis sudah direspons sebagai bagian yang tak terpisahkan dari seluruh langkah perbaikan yang terus dilakukan MK hingga saat ini. MK akan terus berkinerja secara lebih baik, lebih akuntabel, dan transparan dengan kualitas putusan yang semakin baik sebagai salah satu misi MK.
Baca juga : Menjaga Marwah MK
Sejarah MK
Keberadaan MK merupakan amanat dari konstitusi, khususnya setelah perubahan ketiga UUD 1945 yang menghasilkan rumusan Pasal 24 C yang memuat tentang MK. Ayat (1) pasal tersebut mengatur tentang kewenangan MK sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir dengan putusan yang bersifat final dalam menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan Lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilu. Ayat (2) Pasal 24 C UUD 1945 memberi kewenangan kepada MK untuk memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Untuk merinci dan menindaklanjuti amanat Pasal 24C konstitusi tersebut, pemerintah bersama DPR membentuk UU MK yang kemudian disahkan dalam sidang paripurna DPR pada 13 Agustus 2003. Hari itu juga UU MK ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan dimuat dalam lembaran negara. Tanggal 13 Agustus kemudian diperingati sebagai hari lahir MK RI. Indonesia merupakan negara ke-78 di dunia yang membentuk MK.
Ketua MK pertama Jimly Asshiddiqie masih mengingat dengan jelas momen-momen bersejarah lahirnya MK tersebut. Ia turut membidani lahirnya, atau bahkan diadopsinya ide pembentukan MK melalui perubahan ketiga dan keempat UUD 1945. Saat itu, ia menjadi tim ahli MPR lalu dilanjutkan menjadi tim ahli pemerintah dan DPR dalam pembentukan UU MK.
”Hanya empat hari jelang tenggat yang ditetapkan di dalam aturan peralihan UUD 1945 hasil perubahan keempat tahun 2002, MK telah terbentuk. UU MK baru disahkan 13 Agustus. Kami bersembilan rombongan hakim pertama, mengemban amanat lima tahun pertama. Membentuk, mendirikan, dan membangun dari nol,” kata Jimly.
Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 memang memerintahkan, MK dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003. Dalam kondisi waktu yang tidak banyak ini, sembilan hakim konstitusi periode pertama dipilih kemudian diangkat oleh Presiden Megawati dengan keputusan presiden pada 15 Agustus 2003. ”Tanggal 16 Agustus, kami mengucapkan sumpah jabatan hakim konstitusi pertama dalam sejarah,” ujarnya.
Dalam perjalanannya, MK sudah mengalami masa-masa emas dan juga masa-masa kegelapan. MK berhasil membuktikan diri sebagai peradilan modern pertama yang lahir setelah reformasi. Semua proses beperkara dijalankan secara transparan, mulai dari pendaftaran, pelaksanaan sidang, dan juga pengucapan putusan. Publik dapat mengakses dokumentasi sidang, mulai dari risalah sidang, audio, maupun video persidangan secara gratis. Salinan putusan pun langsung dapat diakses pihak berperkara dan publik begitu sidang pengucapan putusan selesai.
Baca juga : Anwar Usman Terpilih Jadi Ketua MK, Aswanto Jadi Wakil Ketua
Hanya saja, MK sempat ”terjatuh” ketika Akil Mochtar dan Patrialis Akbar ditangkap KPK. Alhasil, dalam kurun 18 tahun sejak MK berdiri, sudah dua hakim konstitusi yang terjerat korupsi.
”Ya, itu cuma kasus-kasus kerikil kecil dalam perjalanan panjang negara konstitusional Indonesia masa depan. Pengalaman seperti itu justru baik untuk pelajaran bahwa pelembagaan kerja bernegara butuh proses dengan kesengajaan dikelola,” ungkap Jimly saat diminta pendapat mengenai turun-naiknya lembaga penjaga konstitusi tersebut.
Citra Mahkamah Konstitusi (%)
Periode Survei | Baik | Buruk | Tidak Tahu |
Januari 2015 | 75,1 | 22,0 | 2,9 |
April 2015 | 62,0 | 23,0 | 15,0 |
Oktober 2015 | 72,3 | 21,2 | 6,5 |
April 2016 | 63,3 | 18,8 | 17,9 |
Oktober 2016 | 62,7 | 18,3 | 19,0 |
April 2017 | 58,5 | 25,9 | 15,6 |
Oktober 2017 | 68,9 | 16,4 | 14,7 |
April 2018 | 66,8 | 12,4 | 20,8 |
Oktober 2018 | 65,1 | 17,3 | 17,6 |
Maret 2019 | 62,6 | 16,0 | 21,4 |
Oktober 2019 | 62,9 | 20,4 | 16,7 |
April 2021 | 75,9 | 14,8 | 9,3 |
Sumber: Survei Nasional Kompas, Litbang Kompas/RFC/YOH
Menurut dia, saat ini tengah ada gelombang besar, yaitu proses yang terbalik. Negara hukum yang demokratis dan demokrasi konstitusional mesti diinstitusionalisasikan. Akan tetapi, menurut dia, saat ini sedang terjadi proses deinstitusionalisasi yang luas.
”Mana pendapat dinas, mana statement jabatan, dan mana statement pribadi berkembang makin campur aduk di ruang publik. Komunikasi publik juga makin mis dan disinformatif, mana yang fake news mana yang faktual dengan konteks berbeda dan mana yang faktual dan kontekstual susah dibedakan. Maka, sekarang kita meluncur ke era miskomunikasi dan disinformasi sehingga lembaga-lembaga negara kita, termasuk MK, mengalami kesulitan semua. Maka perlu dibantu untuk reinstitusionalisasi secara lebih tepat supaya kasus-kasus seperti Akil Mochtar dan Patrialis tidak terjadi lagi,” ujarnya.
Selain integritas, Jimly juga mengingatkan tentang perlunya peningkatan kualitas para hakim konstitusi, baik kualitas kenegarawanan maupun jangkauan pemikirannya untuk membangun peradaban demokrasi konstitusional yang makin tinggi.
”Maka, sembilan hakim MK harus punya impian jauh ke depan yang dicerminkan dalam pendapat-pendapat hukum tertulis yang dibuatnya ketika menyumbangkan pikiran dalam memutus tiap perkara,” pungkas Jimly.