Pengusutan Teror terhadap Keluarga Veronica Koman Harus Sampai ke Auktor Intelektualis
”Kerabat veronica tak dikenal orang, apalagi rumahnya. Pelaku bisa tahu karena ada beberapa kemungkinan, punya akses pada data atau ada pihak ketiga yang bisa mengakses data pribadi,” kata Ketua Umum YLBHI Asfinawati.
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku peristiwa teror terhadap keluarga dan kerabat Veronica Koman diduga bukan orang sembarangan. Untuk menghindari spekulasi, teror atau serangan tersebut harus diungkap sampai tuntas hingga menyasar auktor intelektualis serta motifnya.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, Selasa (9/11/2021), mengatakan, rangkaian teror terhadap orangtua Veronica serta kerabatnya memperlihatkan bahwa pelaku memiliki keahlian atau akses ke data kependudukan atau sejenisnya. Sebab, kerabat tidak terkait dengan apa yang dilakukan Veronica secara langsung dan mereka juga tidak terekspos.
”Kerabat Veronica tidak dikenal orang, apalagi rumahnya. Pelaku bisa tahu karena ada beberapa kemungkinan, yakni memiliki akses terhadap data atau ada pihak ketiga yang bisa mengakses data pribadi. Dengan kata lain, data pribadi kita tidak aman dan bisa jatuh ke tangan orang lain untuk berbuat kejahatan,” kata Asfinawati.
Sebelumnya, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid yang menjadi juru bicara keluarga Veronica mengatakan, selain terhadap keluarga Veronica, teror juga menyasar kerabat Veronica berupa paket yang berisi bangkai ayam (Kompas.id, 8/11/2021).
Asfinawati mengatakan, teror yang terjadi pada keluarga dan kerabat Veronica tersebut mengindikasikan perlindungan terhadap pembela atau aktivis HAM di Indonesia yang buruk. Hal itu bisa dilihat dari jumlah ataupun tindakan teror yang selama ini terjadi.
Saat dihubungi, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Rusdi Hartono mengatakan, pihaknya masih terus menyelidiki teror bom yang terjadi di rumah keluarga aktivis Papua, Veronica Koman. Namun, ia enggan menjelaskan perkembangan penyelidikan tersebut. ”Penyelidikan masih berproses,” ujarnya.
Berdasarkan catatan Koalisi Pembela HAM, pada Januari hingga Oktober 2020 terjadi 116 kasus serangan terhadap pembela HAM. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat setidaknya 206 laporan pelanggaran HAM yang dilakukan terhadap pembela HAM terjadi tahun 2015-2019. Sebagian besar pelanggaran berupa kriminalisasi, dengan 92 kasus dilaporkan ke Komnas HAM.
Sementara YLBHI mencatat, sepanjang 2020 terdapat 43 kasus yang ditangani dengan 151 korban yang dapat dikategorikan sebagai pembela HAM (human rights defender). Sementara pada 2015-2021, sebanyak 23 pekerja dari beberapa lembaga bantuan hukum (LBH) juga mendapatkan serangan, seperti ditangkap atau dikriminalisasi. Isu yang ditangani pekerja LBH tersebut antara lain mengenai Papua, konflik agraria, pelemahan KPK, serta Aksi Kamisan.
Menurut Asfinawati, memburuknya perlindungan terhadap pembela HAM terjadi karena selama ini terjadi pembiaran oleh negara. Sebab, hampir tidak ada kasus yang diungkap hingga tuntas dengan membawa pelaku ke pengadilan. Kalaupun ada, pengungkapan hanya berhenti di aktor lapangan.
”Misalnya hanya sampai pada preman. Padahal, tidak mungkin preman melakukan tanpa ada yang menyuruh,” ujar Asfinawati.
Menurut Asfinawati, teror terhadap aktivis HAM maupun antikorupsi terkait erat dengan fokus pemerintah, yakni pembangunan skala besar. Dalam proses itu, terjadi pengambilan atau perampasan ruang hidup masyarakat yang kemudian menimbulkan perlawanan dari masyarakat. Seiring banyaknya perlawanan, meningkat pula teror atau serangan terhadap mereka.
Meski demikian, lanjut Asfinawati, peristiwa teror semacam itu tidak membuat takut para pembela HAM walaupun harus diakui teror tersebut dapat mengakibatkan orang lain menjadi ragu atau takut ketika hendak menyuarakan hal atau isu yang sama. Padahal, turut serta dalam urusan pemerintahan termasuk hak asasi manusia.
”Isu yang diangkat Veronica sebenarnya relatif biasa. Namun, karena terjadi di Papua, isu itu menjadi sangat sensitif dan merupakan isu paling keras di Indonesia,” tutur Asfinawati.
Berkaca dari hal itu, Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Amiruddin Al Rahab mendorong agar peristiwa teror yang terjadi di rumah keluarga dan kerabat Veronica pertama-tama ditempatkan sebagai peristiwa pelanggaran hukum, bukan politik. Sebab, terlepas dari sosok Veronica dan kegiatannya, teror yang dilakukan tersebut merupakan tindak pidana.
”Yang paling penting adalah kecepatan dari kepolisian untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. Itu yang diperlukan hari ini. Jika itu terjadi, masyarakat akan percaya pada proses hukum atas peristiwa-peristiwa serupa,” katanya.
Menurut Amiruddin, selama ini peristiwa teror semacam itu selalu menjadi spekulasi politik karena tidak pernah diungkapkan secara terang melalui proses hukum di pengadilan. Hanya dengan proses hukum di pengadilan, pelaku beserta motifnya akan terungkap.
Namun, lanjut Amiruddin, proses hukum yang berjalan sudah seharusnya dilakukan dengan tuntas, yakni menggali sampai ke auktor intelektualisnya. Jika tidak, perkara tersebut hanya menyasar pelaku di lapangan tanpa memberikan motif yang utuh.
”Kalau proses penegakan hukum tidak tuntas, dua hal dapat terjadi, yakni kemungkinan peristiwa tersebut akan berulang menjadi lebih besar dan orang akan terus berspekulasi. Kalau itu terjadi, menjadi beban negara,” terang Amiruddin.
Menurut Amiruddin, pihaknya akan berkomunikasi dengan kepolisian dan akan memberikan masukan, baik diminta maupun tidak, terkait proses penegakan hukumnya. Penegakan hukum merupakan proses terbaik terhadap perkara ini dan menjadi pekerjaan rumah aparat penegak hukum.
Hal senada diungkapkan Komisioner Pemantauan/Penyelidikan Komnas HAM Mohammad Choirul Anam. Menurut Anam, teror di rumah keluarga Veronica harus diusut tuntas oleh kepolisian. Pengusutan tersebut harus dapat mengungkap pelaku, latar belakang pelaku, serta motif pelaku.
Pesan pelaku
Kepala Advokasi Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Nelson Nikodemus Simamora yang menjadi kuasa hukum keluarga Veronica mengatakan, pihak kepolisian telah mendatangi rumah keluarga Veronica, Selasa (9/11/2021) dini hari. Pada saat itu, aparat langsung memeriksa ayah Veronica, seorang kerabat Veronica, dan pekerja rumah tangga dari kerabat Veronica tersebut.
Menurut Nelson, peristiwa teror tersebut diduga terkait dengan aktivitas Veronica sebagai aktivis HAM. Sebab, dalam teror berupa paket berisi bangkai ke rumah kerabat Veronica, tertulis pesan, ”Siapa pun yang menyembunyikan Veronica akan bernasib sama dengan bangkai ini”.