Komnas HAM Selidiki Kasus Lapas Narkotika Yogyakarta
Setelah sejumlah mantan napi di LP Kelas IIA Yogyakarta mengaku disiksa dan mengadukan hal itu ke Ombudsman DIY, Komnas HAM akan selidiki dugaan penyiksaan itu. Jika terbukti benar, sanksi tegas bakal dikenakan.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM akan menyelidiki dugaan penyiksaan yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Yogyakarta. Jika nantinya terbukti ada pelanggaran HAM yang dilakukan petugas pemasyarakatan terhadap para narapidana, Komnas HAM menyatakan perlu ada tindakan tegas dalam kasus tersebut.
”Kalau perbuatan pidana, ya harus dibawa ke ranah pidana. Masak menyiksa orang ke ranah etik. Kalau perlakuan tidak manusiawi, itu harus dilihat dengan jernih. Kalau penyiksaan, ya pidana,” ujar Komisioner Bidang Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Choirul Anam, saat dihubungi pada Selasa (2/11/2021).
Seperti diberitakan sebelumnya, sejumlah mantan napi di LP Kelas IIA Yogyakarta mengaku disiksa saat menjalani pidana dan mengadu ke Ombudsman DIY. Salah satunya, Vincentius Titih Gita Arupadhatu yang mengaku dipukul dengan berbagai benda. Mantan napi lainnya, Yunan Effendi, disuruh berguling-guling, atau ditempatkan di sel dengan penghuni yang melebihi kapasitas. Sel yang seharusnya hanya untuk lima orang diisi 17 napi. Pendamping para mantan napi tersebut, Anggara Adiyaksa, mengungkapkan, sedikitnya 35 mantan napi yang mendapatkan siksaan saat menjalani masa pidana di LP tersebut (Kompas, 2/11/2021).
Baca juga : Mantan Warga Binaan Mengaku Disiksa di Lapas Narkotika Yogyakarta
Menurut Anam, kasus di Lapas Narkotika Yogyakarta memang menjadi perhatian Komnas HAM. Alarm Komnas HAM pasti berbunyi jika ada kasus-kasus penyiksaan yang terjadi di mana pun karena permasalahan tersebut menjadi concern lembaga tersebut. Ia menambahkan, kasus di salah satu LP di Yogyakarta ini harus dipandang sebagai pengingat mengenai mendesaknya dilakukan reformasi pemasyarakatan. Apalagi, kasus tersebut terjadi beberapa waktu setelah kasus kebakaran di LP Tangerang beberapa waktu lalu.
Kalau perbuatan pidana, ya harus dibawa ke ranah pidana. Masak menyiksa orang ke ranah etik. Kalau perlakuan tidak manusiawi, itu harus dilihat dengan jernih. Kalau penyiksaan, ya pidana.
Sementara itu, Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Rika Aprianti saat dikonfirmasi mengatakan, pihaknya berterima kasih atas aduan masyarakat terkait dugaan kekerasan di Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta. Ditjen Pemasyarakatan melalui Kantor Wilayah Yogyakarta telah melakukan audit internal, yaitu pemeriksaan melalui kepala divisi pemasyarakatan.
Namun, menurut Rika, pihaknya juga harus menunggu pemeriksaan yang akan dilakukan oleh Ombudsman RI Kantor Cabang Yogyakarta. Yang pasti, seluruh dugaan kekerasan itu harus dibuktikan kebenarannya.
”Kami menunggu proses pembuktian karena akan menjadi tidak adil juga bagi petugas kami apabila sudah bekerja dengan baik, tetapi dinyatakan melakukan kekerasan kepada warga binaan,” ujar Rika.
Dibantah
Berdasarkan keterangan sementara dari Kepala Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta, kata Rika, tidak terjadi kekerasan. Petugas bekerja sesuai dengan aturan pembinaan seperti diamanatkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1999 tentang Pemasyarakatan. Sejak ada regulasi itu, filosofi pemasyarakatan adalah melakukan pembinaan agar warga binaan siap kembali ke masyarakat. Kekerasan dalam bentuk apa pun tidak dibenarkan dalam upaya pembinan. Pembinaan bukanlah melakukan penghukuman, apalagi dengan kekerasan fisik.
”Penanggung jawab dari kantor wilayah Yogyakarta melalui Kepala Divisi Pemasyarakatan sudah mengecek laporan itu. Hal tersebut tidak benar. Seluruh kegiatan pembinaan kepada narapidana maupun tahanan dilakukan sesuai prosedur standar operasi (SOP),” kata Rika.
Penanggung jawab dari kantor wilayah Yogyakarta melalui Kepala Divisi Pemasyarakatan sudah mengecek laporan itu. Hal tersebut tidak benar. Seluruh kegiatan pembinaan kepada narapidana maupun tahanan dilakukan sesuai prosedur standar operasi (SOP).
Meskipun demikian, Ditjen Pemasyarakatan menghargai proses yang berjalan di Ombudsman Yogyakarta. Pihaknya meyakini bahwa Ombudsman pasti memiliki prosedur standar operasi (SOP) terkait dengan pengaduan dugaan kekerasan tersebut.
Rika menegaskan, siapa pun yang melakukan pelanggaran, baik itu petugas maupun warga binaan, akan dikenai sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku. Namun, terhadap kasus ini, masyarakat diminta untuk tidak menyimpulkan dini. Publik diminta menunggu proses yang dilakukan Ombudsman untuk menangani aduan tersebut.
”Tidak adil bagi petugas kami yang sudah berusaha bekerja dengan baik, tetapi dianggap melakukan kekerasan tanpa bukti yang jelas. Selama ini, perlakuan petugas kami sangat humanis kepada warga binaan. Kami menghormati proses yang sedang berjalan di Ombudsman,” kata Rika.
Melalui keterangan tertulis, Kepala Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta Cahyo Dewanto juga mengklarifikasi informasi adanya penyiksaan hingga waktu subuh. Cahyo menjelaskan tudingan itu tidak sesuai fakta lantaran pada pukul 17.00 kunci kamar hunian telah dimasukkan ke dalam kotak kunci. Selanjutnya, setiap hari kotak kunci tersebut akan diserahkan oleh regu pengamanan kepada kalapas untuk disimpan dan diambil kembali keesokan harinya pada pukul 05.00.
Cahyo juga menerangkan bahwa dalam penempatan narapidana atau tahanan di Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta didasarkan pada hasil assessment mereka masing-masing. ”Kami pisahkan antara narapidana risiko tinggi, risiko menengah, dan risiko minimum,” kata Cahyo.
Cahyo membeberkan kronologi eks narapidana yang melaporkan hal ini, Vincentius Titih Gita Arupadatu, yang dipindahkan ke Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta dari Rutan Kelas IIA Yogyakarta pada 12 April 2021. Vincentius langsung diisolasi mandiri selama 14 hari dengan masa pengenalan lingkungan selama satu bulan. Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta sendiri meniadakan kegiatan pemindahan kamar pada periode Juni hingga Agustus 2021 lantaran adanya penyebaran Covid-19.
Sementara, eks narapidana Vincentius, saat itu dipindahkan ke Paviliun Cempaka karena ada komorbid atau penyakit bawaan. Namun, yang bersangkutan melakukan pelanggaran dan dipindahkan ke kamar risiko tinggi untuk masa pengenalan lingkungan ulang.
”Vincentius telah bebas dari Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta melalui cuti bersyarat (CB) sejak 19 Oktober 2021 dan masih dalam proses pembimbingan oleh Balai Pemasyarakatan. Jadi, sekali lagi saya tegaskan, tidak benar pernyataan yang bersangkutan bahwa tidak bisa mengurus CB,” ungkap Cahyo.
Rentan alami penyiksaan
Secara umum, menurut Anam, pengguna narkoba memang rentan mendapatkan penyiksaan. Pendekatan untuk pengguna narkoba seharusnya dilakukan dengan pendekatan kesehatan atau masuk ke tempat rehabilitasi, bukan pendekatan pidana sehingga rentan mengalami penyiksaan.
Melawan narkoba itu ada dua hal, melawan jaringannya dan merampas kekayaannya. Itu bisa dilakukan dengan cara apa? Teknologi. Kalau pengakuan (yang dikejar) itu paling banter, kalau mengaku, ya levelnya level bawah. Tidak mengungkap jaringan.
Dalam catatan Komnas HAM, kasus penyiksaan terhadap orang yang berhadapan dengan hukum mulai dari tingkat penyelidikan/penyidikan di kepolisian, penuntutan, hingga pemasyarakatan banyak dilaporkan. Seharusnya, pola tersebut diubah.
Baca juga : Lapas Kelas I Tangerang Terbakar, 41 Warga Binaan Tewas
”Kenapa? Melawan narkoba itu ada dua hal, melawan jaringannya dan merampas kekayaannya. Itu bisa dilakukan dengan cara apa? Teknologi. Kalau pengakuan (yang dikejar) itu paling banter, kalau mengaku, ya levelnya level bawah. Tidak mengungkap jaringan,” ujar Anam.
Ia menjelaskan, kerawanan (terjadinya penyiksaan) dalam konteks pengungkapan kasus narkotika salah satunya adalah untuk mendapatkan pengakuan. ”Narkotika itu organized crime, kalau membongkar kejahatan terorganisasi dengan cara-cara biasa saja dengan nginjak orang dan melakukan penyiksaan, ya dapatnya orang lapangan,” ujarnya.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, menilai, perlakuan petugas LP Narkotika Kelas II Yogyakarta tersebut tidak manusiawi dan merendahkan martabat tersebut bertentangan dengan Pasal 16 UNCAT (The United Nations Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) yang sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998.
Dengan adanya peristiwa tersebut, Pemerintah Indonesia dinilai telah melanggar komitmennya selaku negara peserta UNCAT untuk mencegah terjadinya perlakuan tak manusiawi sebagai bentuk penghukuman di wilayah RI semaksimal mungkin.
Ditjen Pemasyarakatan juga diminta untuk segera turun tangan mengevaluasi secara mendalam pelaksanaan kode etik petugas pemasyarakatan. Kemenkumham dan Ditjen pemasyarakatan perlu menjatuhkan sanksi, baik administratif maupun moral, sesuai dengan peraturan Menkumham Nomor M.Hh-16.K.05.02 Tahun 2011 tentang Kode Etik Pegawai Pemasyarakatan.
”ICJR mendorong Kemenkumham dan Dirjen Pas untuk melakukan evaluasi secara mendalam atas tindakan ini, termasuk mengusut secara pidana tindakan kekerasan yang dilakukan,” kata Maidina.