Institusi Demokrasi Dituntut Lebih Aspiratif
Populisme diyakini lahir dari demokrasi yang cacat. Karena itu munculnya populisme semestinya direspons sebagai sebuah tuntutan bagi institusi demokrasi, baik eksekutif dan legislatif, untuk lebih aspiratif.

Para mahasiswa memadati Jalan Gatot Subroto saat berunjuk rasa di depan Gedung DPR Senayan, Jakarta, Selasa (24/9/2019). Mereka menuntut dibatalkannya Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang baru saja direvisi dan menolak Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
JAKARTA, KOMPAS — Banyak kalangan menilai populisme adalah antitesis dari demokrasi. Sebab, populisme cenderung mengabaikan institusi-institusi mapan yang ada dalam demokrasi, seperti lembaga legislatif dan eksekutif. Untuk merespons populisme yang lahir dari demokrasi yang cacat, institusi-institusi demokrasi dituntut lebih terbuka dan aspiratif pada kepentingan publik.
Simpulan itu mengemuka dari kuliah umum yang disampaikan oleh Direktur dan Profesor dari Asian Studies di Asia Institute dan Deputi Asisten Vice-Chancellor International Universitas Melbourne, Australia, Vedi R Hadiz, yang disiarkan secara daring, Senin (1/11/2021). Kegiatan bertajuk ”Demokrasi dan Populisme dalam Perspektif Komparatif” itu difasilitasi oleh komunitas kajian Public Virtue.
Vedi mengatakan, populisme menjadi topik yang sangat hidup dan kontroversial. Banyak pihak menilai populisme adalah antitesis dari demokrasi. Sebab, populisme cenderung ingin mengabaikan institusi-institusi mapan yang ada dalam demokrasi, seperti kekuatan legislatif dan eksekutif. Namun, pada dasarnya populisme adalah demokrasi itu sendiri, atau lahir dari demokrasi yang mengandung kecacatan.
”Populisme itu di satu sisi dimaknai sebagai antitesis dari demokrasi. Namun, dari sudut pandang lain, adanya populisme ini membuat institusi-institusi yang telah mapan di demokrasi untuk merespons situasi itu. Populisme membuat mereka harus lebih terbuka dan aspiratif dalam menerima kepentingan publik. Artinya, kecacatan demokrasi itu memungkinkan lahirnya populisme,” kata Vedi.

Para peserta diskusi Public Virtue. Acara itu diisi dengan kuliah umum oleh Vedi R Hadiz, Direktur dan Profesor dari Asian Studies di Asia Institute dan Deputi Asisten Vice-Chancellor Internasional di Universitas Melbourne, Australia, Senin (1/11/2021).
Secara umum, populisme dapat dimaknai sebagai suatu pemikiran yang mengatasnamakan ”people” atau rakyat. Definisi mengenai siapa ini ”people” dapat bersifat distributif atau dapat digantikan. Dalam konteks populisme Islam di Indonesia, misalnya, ”people” ini dapat dimaknai sebagai ”umat”. Sebagai satu kelompok, ”umat” berhadapan dengan kelompok lain yang dinamai ”elite.” Mereka yang dimaksudkan sebagai elite ialah kelompok mapan pemegang kekuasaan.
Menurut Vedi Hadiz, gerakan populisme cenderung untuk menunjukkan tarikan atau tegangan antara kelompok elite dengan kelompok ”people”. Dalam kacamata populis, kelompok elite dipandang buruk, korup, tidak bermoral, dan tidak memerjuangkan kepentingan ”people”. Sebaliknya, kelompok ”people” adalah warga negara, orang baik, bermoral, dan ini kelompok rakyat kebanyakan.
Di Indonesia, fenomena populisme kerap dikaitkan dengan munculnya kekuatan ”kanan” sehingga populisme yang berkembang digolongkan sebagai populisme kanan. Namun, pada dasarnya, tidak semua populisme itu kanan. Ada pula populisme ”kiri” yang bermakna progresif. Baik populisme kanan maupun kiri sama-sama menempatkan kelompok ”people” berhadapan dengan kelompok elite.
Populisme membuat institusi-institusi yang telah mapan di demokrasi untuk merespons situasi itu. Populisme membuat mereka harus lebih terbuka dan aspiratif dalam menerima kepentingan publik
Namun, pada kenyataannya, populisme kanan tidak hanya mengganggu kelompok di papan atas kekuasaan. Ini karena pada titik tertentu populisme kanan ini juga merugikan kelompok lain di bawahnya, yakni kelompok minoritas atau marjinal. Mereka yang ada di kelompok minoritas ini juga terganggu karena sifat eksklusi dari kelompok populis.
Sejauh mana populisme ini bermanifestasi juga tergantung pada sumber daya kultural, konteks sosio-politik negara yang berpengaruh. Di India, misalnya, populisme berakar dari budaya Hindu. Demikian halnya di Brasil, yang berkembang karena kristianitas.
Semua sumber daya kultural itu, menurut Vedi Hadiz, dapat digunakan sebagai kekuatan bagi gerakan populisme sebagai respons situasi neoliberalisme dan globalisasi, yang semua bertalian juga dengan bagaimana demokrasi bekerja. Di negara-negara tertentu dengan demokrasi maju, seperti Amerika Serikat, populisme berkembang dengan upaya memerjuangkan hak-hak warga negara AS. Hal itu berdampak pada eksklusi terhadap imigran seperti orang-orang Meksiko yang dianggap merebut lapangan kerja warga AS.
”Tidak mengherankan jika di lingkungan industri baja di Pittsburgh, misalnya, warga menyuarakan hal ini, dan mereka menjadi pendukung utama Trump, karena mereka merasakan ada persoalan kesenjangan yang dalam akibat dari kebijakan neo-liberalisme,” ujarnya.

Presiden Amerika Serikat petahana Donald Trump menyapa massa pendukungnya saat tiba di lokasi kampanye di Gastonia, Carolina Utara, Rabu (21/10/2020).
Neo-liberalisme dan globalisasi memberikan dampak pada koneksi masyarakat yang semakin baik, tetapi di sisi lain juga menyebabkan ketimpangan luar biasa. Vedi Hadiz kembali mencontohkan AS yang rasio ketimpangannya saat ini jauh lebih besar daripada ketimpangan yang dialami pada era tahun 1970-an. Kondisi ini memicu reaksi dari rakyat kebanyakan, yang merasa hak-haknya terabaikan.
”Mereka melihat kelompok elite, senat dan kongres AS telah dikuasai oleh lobbyst (pelobi politik), yang mementingkan kelompok mereka sendiri. Karena itulah, mereka tidak mau menyuarakan kepentingannya melalui institusi-institusi demokrasi tersebut. Di sinilah populisme memberikan tantangan bagi institusi demokrasi yang mapan,” ujarnya.
Persoalannya, kelompok populis ini rentan dimanfaatkan oleh kelompok elite lain. Di AS, misalnya, tidak dapat dinafikan bahwasanya Donald Trump, juga adalah bagian dari kelompok elite itu. Sekalipun wacana yang dibawakan populis, tetapi gerakan populisme yang mendukungnya semata-mata tidak dapat dilepaskan dari kepentingan kelompoknya untuk berkuasa.
Vedi Hadiz pun pada akhirnya tidak melihat ada garis tegas antara populisme, demokrasi, dan oligarki. Sebab, satu dengan yang lainnya saling memberikan stimulus dan respons. Kelompok oligarki dapat saja mewacanakan gerakan populisme untuk kepentingannya. Di satu sisi, oligarki juga bisa masuk melalui demokrasi.

Diskusi kerja sama Kompas dan Asia Institute, University of Melbourne dengan tema ”Indonesian Inequalities” di Redaksi Kompas, gedung Menara Kompas, Jakarta Pusat, Senin (8/7/2019). Diskusi menghadirkan sejumlah pembicara dari Asia Institute, University of Melbourne seperti (kiri ke kanan) Ariane Utomo, Rachel Diprose, John Murphy, dan Vedi R. Hadiz.
”Orang kerap memahami populisme adalah lawan dari oligarki, padahal tidak demikian. Keduanya dapat berkaitan satu sama lain. Demikian pula antara oligarki dengan demokrasi, dan demokrasi dengan populisme itu sendiri,” katanya.
Dalam konteks Indonesia, kelompok populisme kanan yang berkembang bukan menyoal tentang ideologi tertentu. Sebab, tidak ada pertarungan ideologi saat ini di Indonesia. Apa yang ada ialah pertarungan kepentingan oligarki dengan menggunakan sumber daya kultural yang ada.
Kondisi ini, menurut Vedi, memaksa institusi-institusi demokrasi harus lebih bergiat untuk memaksimalkan peran mereka menyerap aspirasi dan kepentingan masyarakat. Jika tidak, kelompok populis ini dapat memaksakan kekuasaan tanpa melalui institusi-institusi demokrasi yang ada.
Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Tamrin Tomagola mengatakan, demokrasi Indonesia menghadapi serangan dari atas maupun dari bawah. Dari atas, ada kelompok mapan yang seolah tidak menghendaki demokrasi itu berkembang. Sementara itu, di kelompok bawah muncul juga serangan dari kekuatan masyarakat sendiri.

Rilis survei SMRC terkait isu kebangkitan PKI, Jumat (29/9), di kantor SMRC, Menteng, Jakarta Pusat. Acara ini dihadiri Tamrin Amal Tomagola (kiri), Syamsuddin Haris (tengah), dan Salim Said (kanan).
”Serangan dari kelompok masyarakat ini juga membuat demokrasi kita stagnan dan bahkan mengalami regresi,” ujarnya.
Bukan resep tunggal
Pendiri Public Virtue dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan, tidak ada resep tunggal untuk menghadapi populisme di Indonesia, khususnya populisme kanan. Sebab, populisme kanan itu bersumber pada dua subkultur yang sangat dominan, yakni agama dan kebangsaan atau nasionalisme.
”Tantangan itu tidak mudah karena populisme kanan berhasil menyembunyikan pertarungan sesungguhnya, yaitu pertarungan ekonomi politik. Itu yang terlihat di dalam Pilkada Jakarta, maupun Pemilu Presiden di tingkat nasional,” ucapnya.
Untuk mengatasi hal ini, diperlukan respons dari dua lapis, yaitu di tingkat ”atas” maupun ”bawah”. Di tingkat bawah, harus dimunculkan narasi kebudayaan alternatif, untuk menghadapi narasi agama yang terseret ke dalam arus populisme. Di banyak negara, populisme kiri atau narasi progresif bisa menjadi jawaban. Namun, hal itu belum dimungkinkan di Indonesia, karena tidak ada kekuatan yang terorganisir di kalangan progresif.
Narasi kebudayaan alternatif yang dapat ditumbuhkan di Indonesia, menurut Usman, ialah dengan menggali narasi progresif dari agama itu sendiri. Misalnya, narasi agama mengenai keadilan sosial, keadilan jender, dan keadilan iklim. ”Narasi-narasi itu yang misalnya juga ingin dikembangkan oleh public virtue. Bahwa kewajiban agama itu juga menjaga lingkungan, bumi, menuntut pada kewajiban meredistribusi kekayaan material, menolong fakir miskin, keadilan antara perempuan dengan laki-laki, dan sebagainya,” katanya.

Ketua Panitia Seleksi (Pansel) Anggota Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Usman Hamid.
Dari agama, sekalipun saat ini tengah disorot karena dijadikan bahan baku bagi gerakan populisme kanan di Indonesia, menurut Usman, masih dapat ditemukan sisi progresif yang dapat menjadi subkultur altrnatif.
”Tidak mungkin kita meninggalkan wacana keagamaan dari sisi negatifnya saja. Dalam sosio-historis Indoensia, terbukti agama dan agamawan ikut di dalam perubahan positif, entah itu melawan kolonialisme, mewujudkan kemerdekaan bangsa, reformasi, meskipun saat ini agama disoroti pada cendekiawan karena daya destruksinya akibat gerakan populisme kanan,” ungkapnya.
Hal yang juga harus dipahami dalam melihat fenomena populisme di Indonesia, menurut Usman, ialah keterlibatan oligarki dalam memanfaatkan isu ketimpangan sosial-ekonomi dengan menggunakan agama. ”Karena yang terjadi sesungguhnya ialah pertaruangan oligarki, bukan pertarungan ideologi,” katanya.
Sementara itu, institusi-institusi demokrasi yang ada saat ini juga mesti merespons populisme kanan. Parlemen, misalnya, sebagai bagian dari institusi demokrasi, mesti menghadirkan suara kritis dan oposisi dalam mengawal kebijakan pemerintah. Kedua, perlu penguatan terhadap kebebasan berkespresi di ruang publik, utamanya untuk menyampaikan kritik. Ketiga, menghindari upaya penggelembungan kekuasaann ekseksutif, misalnya dengan wacana amandemen konstitusi yang ingin memperpanjang periode jabatan presiden.