Diksi gotong royong yang sering diteriakkan elite politik menemui bentuk nyatanya. Kedermawaan rakyat dan perusahaan jika disentuh dengan cara tepat oleh orang yang tepat menjadi modal dan kekuatan sosial luar biasa.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Sabtu, akhir pekan lalu, saya kembali meninggalkan kepengapan politik Jakarta menuju Ganjuran, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Di tempat ziarah Ganjuran ada gereja yang dibangun pada 1927 oleh Joseph Smutzer dan Julius Smutzer di kawasan dekat pabrik gula. Di pelataran luar, peziarah dari luar kota duduk takzim berdoa di depan candi. Protokol kesehatan ketat.
Ganjuran adalah kawasan asri. Sejumlah bangunan di area itu roboh saat gempa menerjang Yogyakarta beberapa tahun lalu. Perjalanan dari Yogyakarta menuju Ganjuran melewati daerah pertanian. Jalanan rindang penuh pepohonan. Beberapa baliho terpasang. Ada baliho berukuran kecil dengan wajah calon kepala desa. Memang sedang ada pemilihan kepala desa.
Hampir satu jam menyepi di Ganjuran, saya ngobrol dengan warga setempat. Mereka bercerita soal pandemi yang berdampak pada ekonomi rakyat. Mereka bercerita soal pelaksanaan vaksinasi. Cakupan vaksinasi, khususnya di sejumlah desa di Bantul, cukup baik. Keuletan warga menjadi kekuatan tersendiri. Mereka ”bantingan” untuk melakukan serbuan vaksinasi di desa.
Bercerita soal gerakan sukarelawan di Yogyakarta tak bisa dilepaskan dari peran dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Rimawan Pradiptyo PhD. Dosen yang mendalami game theory lulusan York University, Inggris, itu menjadi arsitek lahirnya Sonjo (Sambatan Yogya). Sambatan adalah kearifan lokal berupa gerakan membantu sesama.
Vaksinasi jimpitan adalah inovasi Sonjo yang diadopsi dari langkah awal sejumlah kepala desa di Bantul dan dr Glory, Kepala Puskesmas Bambanglipuro. Vaksin tergantung pada pemerintah, tetapi pelaksanaan vaksinasi menjadi program gotong royong.
Proposal vaksinasi jimpitan itu dilelang. Proposal senilai Rp 6 juta untuk 1.000 dosis vaksin bisa terdanai dalam tempo 7 menit. Pendonor tidak boleh membiayai seluruh proposal yang diajukan. ”Biar gerakan ini menjadi gerakan bersama dan tidak menjadi milik individu,” ujar Rimawan.
Kuncinya adalah trust. Rimawan mengaku membawa nilai trust yang diadopsi KPK 2004-2019 dalam manajemen jimpitan vaksinasi. Trust itu punya dua kata kunci: integritas dan transparansi. Penyusun proposal tidak bisa menggelembungkan biaya karena yang digunakan adalah dana publik dan diawasi bersama.
Laporan vaksinasi disampaikan melalui grup Whatsapp. Tanda terima atau kuintansi pembelian barang dilampirkan. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kata kunci. Keterbukaan itulah yang membuat pendonor ataupun perusahaan pengelola dana CSR rela antre membiayai proposal vaksinasi jimpitan.
Rimawan menceritakan, hingga Oktober 2021 vaksinasi jimpitan sudah mengumpulkan lebih dari Rp 445 juta dana publik untuk membiayai vaksinasi di desa dan melaksanakan vaksinasi untuk 67.000 dosis vaksin. Biaya rata-rata Rp 6.566 per dosis vaksin. Entah berapa besar dana pelaksanaan vaksinasi di tempat lain.
Di dalam grup Whatsapp yang dibangun Sonjo saya mencermati proses lelang proposal jimpitan vaksinasi. Mengumpulkan dana mulai dari enam juta rupiah hingga 11 juta rupiah terasa cepat. Hampir tak ada hambatan birokrasi apa pun. Padahal, dalam grup itu tidak semua saling kenal.
Diksi gotong royong yang sering diteriakkan elite politik menemui bentuk nyatanya. Kedermawaan rakyat dan perusahaan jika disentuh dengan cara tepat oleh orang yang tepat menjadi modal dan kekuatan sosial luar biasa.
Realitas akar rumput di Bantul dan mungkin di daerah lain mengonfirmasi tulisan Shane Preuss dalam The Diplomat, 24 April 2020. Preuss menulis, ”Pemerintah bisa saja terantuk, tetapi masyarakat sipil bangkit menghadapi bencana.” Dalam The World Giving Index yang diterbitkan Charities Aid Foundation yang berpusat di Inggris, Indonesia ditempatkan sebagai the most generous country. Ada tiga tindakan yang dilakukan, yakni berdonasi, membantu orang, dan kerelawanan.
Yudi Latif di Kompas menulis, solidaritas emosional warga yang sifatnya spontan sangat kuat. Akan tetapi, bagaimana dengan solidaritas fungsional yang bersifat terstruktur lewat tata kelola negara. Kendala soal prosedur, birokrasi jelimet, akan menjadi hambatan.
Saya tak tahu berapa dana yang digunakan memasang baliho. Jika dana itu dialihkan untuk ikut lelang proposal jimpitan vaksinasi bisa jadi banyak manfaatnya bagi rakyat kecil.
Matahari menjelang tenggelam. Saya masih mencermati percakapan lelang proposal vaksinasi jimpitan di grup Whatsapp. Rimawan muncul dalam grup itu, ”Jangkep Bapak-Ibu. Lelang kita tutup, nuwun.” Dalam tempo 30 menit, lelang proposal pelaksanaan vaksinasi jimpitan tahap pertama di Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, sebesar Rp 14,5 juta untuk 3.000 dosis terbiayai. ”Jangkep, nggih. Nuwun.”
Solidaritas akar rumput menunjukkan hidupnya jiwa altruis. Gerakan tersebut jauh dari model timokrasi (kekuasaan yang gila popularitas). Vaksinasi jimpitan mewujudkan vaksinasi dengan minim kerumitan prosedur, tanpa kemewahan seremonial, dan nirkorupsi.