Politik Dua Kaki
Boleh jadi tawaran Kapolri merekrut para pegawai KPK yang tak lolos TWK adalah politik jalan tengah Presiden Jokowi. Namun, ada yang juga menyebut politik dua kaki.
…Kulihat terang meski tak benderang
Sehingga gelap lambat laut kan lenyap
Kulihat terang meski tak benderang
Sehingga gelap lambat laun kan lenyap
Lirik lagu ”Kupinta Lagi” yang ditulis Cornel Simanjuntak tiba-tiba terngiang saat membaca berita di media online soal rencana Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo merekrut 56 pegawai KPK sebagai aparatur sipil negara di lingkungan Polri. Ke-56 pegawai KPK itu ”dipecat” oleh KPK dengan alasan tak lolos tes wawasan kebangsaan atau TWK. Tawaran Jenderal Listyo bisa saja menjadi terang atas kegelapan alih status pegawai KPK yang tak kunjung selesai. Namun, terang itu belum tentu menjadi benderang atau malah kembali ke kegelapan atau malah kebingungan.
Kisruh alih status pegawai KPK jadi kontroversi panjang. UU KPK hasil revisi mengharuskan adanya alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN). UU KPK tidak menyebutkan perlunya seleksi untuk proses itu. Namun, nyatanya instrumen TWK digunakan untuk menyeleksi pegawai KPK. Sebanyak 75 pegawai KPK tidak memenuhi syarat menjadi ASN. Kemudian jumlahnya berkurang menjadi 56 pegawai. Lalu bertambah lagi menjadi 57 setelah satu pegawai yang baru mengikuti tes susulan karena studi di luar negeri juga dinyatakan tak lulus.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebut, ”berdasarkan asesor, mereka sudah dicap merah dan tak bisa dibina lagi”. Sebuah vonis politik yang menghabisi karier para pegawai KPK. Kepala Satgas Penyidik Korupsi Bantuan Sosial Andre Deddy Nainggolan, lulusan Akademi Kepolisian tahun 2000 dan lulusan SMA Taruna Nusantara, salah satunya.
Baca juga : ”Sampai Jumpa Lagi. Titip KPK, Ya”
”Saya sudah berulang kali ikut pendidikan mental ideologi sejenis tes wawasan kebangsaan. Saya tak tahu kenapa saya tak lulus,” ujar Andre yang merasa ditarget untuk disingkirkan setelah menyampaikan laporan perkembangan korupsi bantuan sosial yang lebih besar kepada pimpinan.
Ia tidak menyesal disingkirkan karena tekadnya membongkar korupsi besar yang melibatkan elite politik.
”Saya tidak akan menyerah dan untuk mendapatkan keadilan dan terus mendekatkan diri kepada Tuhan,” ujar Bang Nanggo, yang menyebut dirinya ”Saliban”, dalam percakapan dalam kanal Youtube Backtobdm.
Keputusan Ketua KPK Komjen Firli Bahuri mengundang perlawanan. Ombudsman RI memberikan rekomendasi. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai terjadi pelanggaran hak asasi manusia dalam pelaksanaan TWK. Mahkamah Agung menilai peraturan KPK soal alih status tidak bermasalah secara konstitusional. Mahkamah Konstitusi menyebut aturan soal alih status juga tidak bermasalah secara konstitusional. Permasalahan terjadi pada level pelaksanaan. Itulah yang ditemukan Ombudsman dan Komnas HAM.
Mendapat legitimasi dari MA dan MK, Firli Bahuri memutuskan memberhentikan 56 pegawai KPK plus satu pegawai KPK yang tak lolos tes TWK susulan per 30 September 2021. Para pegawai KPK menyebut sebagai G30S/TWK. Filri adalah polisi aktif pertama yang memimpin KPK. Ia akan pensiun dari anggota Polri pada November 2021 setelah berusia 58 tahun.
Menjelang batas akhir waktu pemberhentian para pegawai KPK tersebut, Kapolri mengambil langkah politik berani. Dia bersurat kepada Presiden Jokowi untuk merekrut para pegawai KPK yang tidak lolos TWK. Presiden Jokowi melalui Mensesneg Pratikno menyebutkan, Presiden secara prinsip menyetujui usulan Kapolri dan memerintahkan dilakukan koordinasi dengan Menteri Pendayagunaan Aparturan Negara dan Reformasi Birokrasi.
Sikap Presiden Jokowi sejak awal jelas di panggung depan. Presiden tidak ingin instrumen TWK dijadikan alasan untuk memberhentikan pegawai KPK yang telah berjasa. Namun, imbauan terbuka itu tidak diikuti Firli dan pembantu Presiden lainnya. Dan, Presiden Jokowi diam saja. Para pegawai KPK itu tetap diberhentikan.
Saat Firli memberhentikan para pegawai, Presiden Jokowi di depan pemimpin redaksi menyebutkan, ”Jangan apa-apa dibawa ke Presiden.” Pernyataan Presiden Jokowi bisa saja ditafsirkan agar pembantunya menyelesaikan kisruh tak berkesudahan alih status pegawai KPK. Dalam panggung depan, hampir tak ada ikhtiar untuk menyelesaikan kisruh.
Tawaran solusi justru datang dari Jenderal (Pol) Listyo. Kapolri sebagai orang kepercayaan Presiden itu mengambil risiko dengan menyatakan secara terbuka akan merekrut pegawai KPK. Melihat dekatnya hubungan Listyo dengan Presiden Jokowi, tentunya tawaran Kapolri adalah sikap Presiden untuk menyelamatkan para pegawai KPK yang tidak lolos TWK. Dan, Presiden punya kewenangan mengangkat, memberhentikan, dan memindahkan ASN.
Saat menjadi Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Listyo menangkap dan kemudian membawa ke pengadilan anggota Polri yang kemudian dinyatakan terbukti menyiram wajah penyidik KPK, Novel Baswedan, dengan air keras.
Boleh jadi langkah Kapolri adalah politik jalan tengah Presiden Jokowi. Namun, ada yang juga menyebut politik dua kaki. Saat gelombang protes atas UU KPK direvisi, Presiden Jokowi memilih tidak menandatangani UU KPK hasil revisi. Meski demikian, dalam proses pembahasan, Presiden Jokowi mengutus menterinya untuk membahas. Selalu ada politik dua kaki. Meski tanpa tanda tangan Presiden, konstitusi menyebut 30 hari sejak disetujui, undang-undang itu berlaku.
Dengan kekuatan politik yang berserak, dan pertautan kepentingan yang saling berkelindan, lingkungan politik menjadi tidak mudah. Politik dua kaki yang kadang digunakan Presiden Jokowi berakhir dengan kekalahan. UU KPK direvisi meski Presiden tidak tanda tangan. Pegawai KPK dipecat meski Presiden menyetujui usulan Kapolri untuk merekrut para pegawai KPK yang tidak lolos TWK tersebut.
Baca juga : Sejarah Sedang Ditulis
Di mata publik, kadang pilihan kebijakan menjadi sulit dibaca. Langkah Kapolri merekrut pegawai KPK yang tidak lolos TWK bisa saja merupakan bentuk koreksi tidak langsung Presiden terhadap para pembantunya yang mengurusi soal TWK. Koreksi langsung atas pernyataan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata yang menyebut, berdasar asesor, para pegawai itu sudah dicap merah dan tak bisa dibina lagi.
Drama KPK belum tahu kapan akan berlalu. Semua tergantung pada elite negeri ini. Masih banyak riak di sana. Namun, membaca politik di Indonesia memang tidak bisa hitam dan putih. Politik kadang abu-abu. Politik penuh dengan transaksi dan negosiasi. Butuh kesabaran dan butuh kearifan untuk menunggu waktu.
Namun, kebijakan politik dua kaki tak bisa selamanya dipertahankan. Untuk hal prinsip harus tegas. Tak bisa abu-abu. Lain panggung depan, lain panggung belakang, meski diakui konstelasi politiknya rumit.
Dalam kisruh KPK memang terlihat ada terang, meski belum benderang, sehingga gelap lambat laun ’kan lenyap. Namun, ketika terang tak kunjung benderang, dan gelap tak kunjung lenyap, yang bersenang-senang adalah koruptor, perampok uang rakyat, dan para sekondannya, yang memang ingin cari aman dari jeratan para pegawai KPK yang sudah mengendus jejak korupsi dan memegang setumpuk bukti.