Mengaku Terintimidasi, Keluarga Korban Kebakaran Lapas Tangerang Mengadu ke Komnas HAM
Tujuh keluarga korban kebakaran Lapas Tangerang mengadu ke Komnas HAM bahwa mereka diminta menandatangani surat keterangan tidak boleh menggugat negara terkait dengan kerabat mereka yang meninggal dalam kebakaran itu.
JAKARTA, KOMPAS —Tujuh keluarga korban kebakaran Lapas Kelas I Tangerang mengadukan dugaan pelanggaran hak asasi manusia dalam penanganan korban meninggal di lapas tersebut pada awal September. Keluarga korban mengaku ada intimidasi yang dilakukan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM saat mereka menandatangani surat keterangan tidak boleh menuntut negara dalam kejadian tragis itu.
Aduan itu disampaikan ketujuh keluarga itu kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta, Kamis (28/10/2021). Mereka didampingi tim advokasi korban kebakaran yang terdiri dari LBH Masyarakat, Imparsial, LBH Jakarta, dan LPBH NU Tangerang. Mereka melaporkan kepada Komnas HAM soal dugaan pelanggaran hak asasi manusia dalam penanganan jenazah korban kebakaran Lapas Kelas I Tangerang.
Menurut anggota tim advokasi, Maruf Bajammal, ada setidaknya empat persoalan mendasar yang menjadi perhatian keluarga korban. Tim menemukan bahwa ada penyalahgunaan keadaan saat penyerahan jenazah korban yang berdampak pada dugaan pelanggaran HAM yang dialami keluarga korban.
Pada saat penyerahan jenazah, keluarga diminta menandatangani surat pernyataan bahwa mereka tidak akan menuntut negara secara pidana, perdata, dan administrasi negara dalam kasus kebakaran tersebut. Penandatanganan dilakukan secara tergesa-gesa bersamaan dengan serah terima jenazah. Keluarga korban juga merasa diintimidasi karena tidak bisa membaca isi surat dan dikelilingi banyak orang saat menandatangani surat.
”Penandatanganan surat tersebut bertentangan dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Di pasal tersebut, setiap orang tanpa diskriminasi berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik perkara pidana, perdata, maupun administrasi, serta diadili dengan proses peradilan yang bebas dan tidak memihak,” kata Maruf.
Temuan tim, ada ketidakterbukaan informasi pengidentifikasian jenazah korban meninggal. Salah satu keluarga korban, Gebby, mengatakan, dirinya hanya mendapatkan surat kematian dari tim forensik Polri. Surat itu pun seolah hanya formalitas administrasi.
Selain itu, temuan tim, ada ketidakterbukaan informasi pengidentifikasian jenazah korban meninggal. Salah satu keluarga korban, Gebby, mengatakan, dirinya hanya mendapatkan surat kematian dari tim forensik Polri. Surat itu pun seolah hanya formalitas administrasi. Di keterangan penyebab kematian, tidak disebut korban meninggal karena luka bakar. Justru, surat kematian menyebut korban meninggal karena penyebab lain-lain.
”Tidak ada kejelasan bahwa benar jenazah korban ini mati terbakar. Mereka hanya menjelaskan dengan keterangan ’lain-lain’. Di surat itu juga tidak ada keterangan sama sekali bahwa DNA yang diambil dari kami itu terkait dengan korban untuk meyakinkan kami bahwa jenazah yang kami terima adalah benar keluarga kami, bukan jenazah orang lain,” kata Gebby.
Baca juga : Keluarga Korban Kebakaran Lapas Tangerang Minta Keadilan
Maruf menjelaskan, dokumen surat kematian yang diberikan pemerintah kepada keluarga korban tidak jelas. Tidak ada dasar alasan yang kuat yang menunjukkan dari mana jenazah tersebut teridentifikasi sebagai keluarga korban. Selain itu, korban juga tidak diizinkan sama sekali untuk melihat jasad korban untuk terakhir kalinya. Mereka hanya diserahkan jenazah korban yang sudah dimasukkan ke dalam peti.
"Korban masih ragu, benarkah peti yang dimakamkan keluarganya atau bukan. Karena, dokumen yang diserahkan tidak clear. Sekain itu, korban juga tidak boleh melihat keluarganya untuk yang terakhir kali," kata Maruf.
Selain minimnya transparansi soal pengidentifikasian korban, persoalan lainnya yang dipetakan tim advokasi adalah ketidaklayakan pemulasaraan jenazah korban meninggal dunia. Kualitas peti yang diberikan oleh pemerintah dinilai rendah karena hanya terbuat dari bahan tripleks tipis. Salah satu korban bahkan harus menggantinya dengan peti yang baru.
Tim advokasi menilai pertanggungjawaban dan ganti rugi yang diberikan negara kepada keluarga korban tidak memadai dan tidak sesuai dengan janji awal. Maruf menjelaskan, uang ganti rugi Rp 30 juta yang diberikan pemerintah kepada keluarga korban hanya cukup untuk biaya penghiburan atau pendoaan korban. Korban masih harus menanggung beban ekonomi lainnya, apabila korban yang meninggal adalah kepala keluarga atau tulang punggung keluarga.
Keluarga korban juga tidak mendapatkan pendampingan psikologis pasca ditinggalkan keluarganya dalam peristiwa yang tragis itu. Padahal, korban banyak yang mengalami trauma dan membutuhkan pemulihan mental. Salah satu keluarga korban sangat trauma dengan kejadian itu. Bahkan trauma itu bisa terungkit kembali saat melihat makanan yang diproses dengan cara dibakar.
Baca juga: Tiga Tersangka Baru Kasus Kebakaran Lapas Tangerang
Pemulihan hak korban
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menjelaskan, hal-hal yang mendasar yang harus dipikirkan pemerintah adalah bagaimana pemulihan terhadap korban dan keluarga korban. Pertama, para korban seharusnya dimakamkan tanpa status narapidana. Caranya, bisa dilakukan dengan mekanisme hukum seperti pemberian grasi atau mekanisme hak asasi manusia. Sebab, kepergian korban dengan cara yang tragis tidak pernah dibayangkan oleh para kelurga. Korban berhak mendapatkan rehabilitasi nama baik setelah meninggal karena kebakaran di lapas.
”Peristiwa ini tidak pernah diminta oleh keluarga korban. Bahkan, salah satu korban ini Gebby mengalami hal yang sangat memprihatinkan. Sehari sebelum ayahnya dibebaskan, ayahnya itu meninggal akibat kebakaran di lapas. Ini harus dipikirkan juga pertanggungjawabannya oleh pemerintah,” kata Anam.
Setelah itu, lanjut Anam, pemerintah juga harus memenuhi hak-hak keluarga korban. Pemerintah pasca kejadian kebakaran, telah berjanji akan menangani pemulihan korban dari sisi psikologis. Namun, faktanya, sebulan pasca kejadian, janji itu belum dipenuhi. Padahal, seharusnya pertanggungjawaban negara harus dilakukan secara berkelanjutan pasca kejadian tersebut.
Pemerintah juga harus memenuhi hak-hak keluarga korban. Pemerintah pasca kejadian kebakaran, telah berjanji akan menangani pemulihan korban dari sisi psikologis. Namun, faktanya, sebulan pasca kejadian, janji itu belum dipenuhi.
Anam juga mendorong keluarga korban yang kehilangan keluarganya secara tiba-tiba itu harus dipikirkan mekanisme kompensasi atau restitusinya. Apalagi, jika keluarga yang meninggal itu adalah kepala keluarga. Negara harus bisa memberikan kompensasi yang layak agar korban bisa melanjutkan hidupnya.
”Di awal-awal proses, karena banyak yang memberikan perhatian, pemerintah berjanji baik kepada korban maupun Komnas HAM untuk memberikan pemulihan terhadap hak korban. Sekarang, penting bagi pemerintah untuk melaksanakan janji tersebut,” tegas Anam.
Sementara itu, terkait dengan pengaduan yang dilayangkan kepada Komnas HAM Choirul Anam menegaskan, Komnas HAM akan melakukan pemanggilan terhadap semua pihak khususnya Ditjenpas Kemenkumham. Mereka akan dipanggil untuk memberikan tanggung jawab kepada korban dan keluarga korban secara berkelanjutan.
Selain memproses pengaduan keluarga korban, menurut Anam, Komnas HAM juga menurunkan tim pada saat kejadian untuk memperkaya informasi dan menindaklanjuti kasus kebakaran Lapas Kelas I Tangerang itu. "Pemerintah jangan hanya selesai dengan memberikan uang tali kasih senilai Rp 30 juta saja untuk untuk pemakaman atau ritual pemakaman saja. Tetapi harus pula memikirkan pemulihan psikologisnya, status korban, maupun keberlangsungan hidup keluarga korban yang ditinggalkan," kata Anam.
Menurut Anam, kejadian kebakaran Lapas I Tangerang harus memacu negara untuk mengaudit seluruh manajemen lapas di Indonesia. Jangan sampai kejadian yang sama terulang lagi di kemudian hari. Selain membenahi manajemen lapas, pemerintah juga diminta untuk mengevaluasi penanganan dan pemulihan keluarga korban. Pemerintah diharapkan menangani persoalan itu dengan pendekatan yang lebih manusiawi.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Bagian Humas Kemenkumham Tubagus Erif Fathurahman mengatakan, prinsipnya, Kemenkumham sudah mengikuti proses dan prosedur dalam penanganan korban maupun keluarga korban dalam peristiwa kebakaran Lapas Kelas I Tangerang. Saat ini, Kemenkumham juga sedang mengikuti proses hukum yang sedang ditangani oleh Polri.
”Untuk kasus ini, ranahnya sudah ada di Polri. Kami mengikuti proses hukum yang ada,” kata Tubagus.
Baca juga: Kemenkumham Nonaktifkan Kepala Lapas Kelas I Tangerang
Diberitakan sebelumnya, Polda Metro Jaya telah menetapkan enam tersangka, baik dari kalangan pegawai lapas maupun narapidana, dalam kejadian tersebut. Tersangka RU, S, dan Y dikenai Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang kesalahan atau kealpaan yang menyebabkan orang lain meninggal. Adapun JMN, PBB, dan RS diduga melanggar Pasal 188 KUHP juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dan Pasal 187. Pasal 187 terkait dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan, atau banjir. Sementara Pasal 188 tentang kesalahan (kealpaan) menyebabkan kebakaran, ledakan, atau banjir, (Kompas, 9/10/2021).
Kebakaran Lapas Kelas I Tangerang terjadi pada Rabu (8/9/2021) dini hari. Kebakaran diduga akibat hubungan pendek arus listrik (korsleting). Kebakaran menyebabkan 49 warga binaan tewas, 8 warga binaan luka berat, dan 72 warga binaan lainnya mengalami luka ringan.