Selama 50 tahun CSIS konsisten memajukan kebijakan publik berbasis riset sebagai kontras terhadap kebijakan publik berbasis insting atau naluri semata. CSIS berusaha memberikan sumbangan bagi ”informed public policy”.
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
Centre fo Strategic and International Studies (CSIS) genap berusia 50 tahun pada 1 September 2021. Dalam pergulatannya selama setengah abad ini, CSIS berkontribusi bagi tumbuh kembangnya pengambilan kebijakan berbasis riset, yang menjadi landasan bagi pembangunan Indonesia di masa depan.
Resepsi perayaan HUT Ke-50 CSIS itu digelar secara virtual, Rabu (27/10/2021) di Jakarta. Hingga puncak acara, lebih dari 100 hadirin yang mengikuti ruang pertemuan di Zoom maupun mereka yang mengakses melalui siaran langsung di kanal Youtube. Kendati lebih sederhana, ulang tahun emas CSIS ini menjadi tonggak awal bagi keberlanjutan generasi peneliti CSIS.
Optimisme tergambar dari sambutan yang disampaikan oleh Ketua Pembina Yayasan CSIS Harry Tjan Silalahi. Sembari menggunakan tongkat dan mengenakan udeng (pengikat kepala Jawa), Harry menyampaikan ucap syukurnya kepada Tuhan YME yang telah memungkinkan semua perjalanan ini dilakoni oleh CSIS. Perjalanan 50 tahun yang tidak selalu mulus, tetapi juga penuh warna, terutama jika dimaknai dalam relasi antara CSIS dengan pengambil kebijakan di republik ini.
Kekuatan ilmu yang menjadi basis dari kerja-kerja CSIS selama ini, menurut Harry, mesti disertai dengan watak dan budi pekerti yang utama. Kejujuran dan keikhlasan adalah fondasi dari perjalanan CSIS 50 tahun ini. Dengan watak demikian, pemikiran-pemikiran CSIS dapat diterima oleh semua rezim pemerintah.
”CSIS sebagai lembaga padepokan yang mengatur pikir manusia bisa berjalan dengan baik. Tidak perlu terus-menerus disetujui, tetapi bisa diterima oleh semua pemerintah semenjak pemerintahan yang lampau,” ucapnya.
Kekuatan ilmu yang menjadi basis dari kerja-kerja CSIS selama ini, menurut Harry, mesti disertai dengan watak dan budi pekerti yang utama. Kejujuran dan keikhlasan adalah fondasi dari perjalanan CSIS 50 tahun ini.
Kecerdasan ilmu yang dibarengi dengan budi pekerti luhur itulah, menurut salah satu pendiri CSIS itu, sebagai kunci dalam pergerakan bangsa ini, dan CSIS. ”Yang lainnya selalu bisa diganti, tetapi kalau pekerti, itikad, kesopanan, itu semua keluar dari lubuk hati,” ungkap Harry yang malam itu muncul layaknya seorang guru sepuh yang menyampaikan pesan kepada para muridnya.
Wakil Ketua Pembina Yayasan CSIS Jusuf wanandi mengatakan, perjalanan 50 tahun ini membawa CSIS pada refleksi mendalam. Tidak hanya tentang menjalankan organisasi ini 50 tahun mendatang, tetapi juga memikirkan perjalanan bangsa. CSIS ingin berkontribusi dan terlibat lebih dalam kepada pembangunan negeri.
Perjalanan CSIS 50 tahun ini disebut Jusuf melibatkan kematangan spiritual, mental, dan intelektual. Kematangan spiritual dijalani dengan sikap menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan YME dalam mengembangkan CSIS. Kematangan mental ditunjukkan dengan sikap disiplin, adaptif, etos kerja tinggi, keberpihakan kepada kelompok yang termrjinalkan, dan passion (hasrat) pengembangan ilmu pengetahuan tersebut.
Adapun kematangan intelektual itu dirupakan dalam berbagai kegiatan seminar, diskusi ilmiah, dan dialog publik yang berorientasi pada publik. Kajian itu membahas berbagai hal, mulai dari pembuatan kebijakan, komitmen kuat terhadap demokrasi, kebangsaan, serta perdamaian di kawasan.
Lembaga pemikir
Apa yang sesungguhnya digumuli oleh CSIS selama 50 tahun ini, menurut Djisman Simandjuntak, Ketua Pengurus Yayasan CSIS, adalah konsistensi memajukan kebijakan publik berbasis riset sebagai kontras terhadap kebijakan publik berbasis insting atau naluri semata.
”Kami berusaha memberikan sumbangan bagi informed public policy yang berarti memerlukan input atau masukan terus-menerus dari delapan penjuru mata angin. Sekali input itu berhenti, maka policy making akan tertutup, dan kita menderita kemunduran,” katanya.
Untuk memastikan input informasi itu terus mengalir, CSIS menempatkan keterbukaan dalam setiap riset yang dilakukannya, selain juga terbuka terhadap perkembangan terbaru dari dalam maupun luar negeri.
Tantangan yang dihadapi CSIS pun tidak homogen, dan kini makin penuh dinamika, terutama dengan adanya perkembangan terbaru mengenai posisi China yang semakin kuat dalam kancah global. Beberapa isu baru juga perlu menjadi konsen lembaga, seperti kerusakan lingkungan dan daya pikul Bumi yang semakin turun.
Djisman meyakini, di bawah kepemimpinan dan manajemen generasi baru CSIS, lembaga think tank pertama di Indonesia itu akan bisa melangkah ke 50 tahun kedua perjalanannya.
Sejalan dengan komposisi demografi Indonesia yang didominasi oleh kelompok muda, saat ini lebih dari 60 persen peneliti dan staf CSIS berusia di bawah 35 tahun.
Generasi baru
Optimisme itu tidak berlebihan jika melihat komposisi peneliti muda di CSIS saat ini. Direktur eksekutif CSIS Philips J Vermonte mengatakan, selama enam tahun terakhir ini dirinya menjadi jembatan bagi kelangsungan regenerasi di CSIS, yakni antara generasi pendiri dan peneliti muda.
Sejalan dengan komposisi demografi Indonesia yang didominasi oleh kelompok muda, saat ini lebih dari 60 persen peneliti dan staf CSIS berusia di bawah 35 tahun. ”Kami berharap dapat terus relevan dengan zamannya, belajar dan berjangkar dari masa lalu, dan dari wisdom (kebijaksanaan) pendiri CSIS, serta rasa optimistis menghadapi Indonesia di masa depan,” ucap Philips.
Untuk menandai 50 tahun CSIS dan harapan bagi generasi penerus selanjutnya, sebuah buku berjudul 50 Years of CSIS: Ideas and Policy in Indonesia juga diluncukan, Rabu malam. Buku itu mengulas pendirian CSIS di era 1970-an hingga panas dingin hubungan lembaga itu dengan Orde Baru di bawah Soeharto. Hingga pada era pasca-Reformasi, di mana CSIS bersama elemen masyarakat sipil lainnya berkontribusi pada konsolidasi demokrasi dan penyusunan kebijakan publik berbasis riset.
Dalam sejarahnya, CSIS menjadi lembaga think tank pertama di Indonesia. Lembaga ini juga kerap dirujuk dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah, termasuk di era Orde Baru. Afiliasi yang baik dengan para petinggi Orba di masa lalu, seperti Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani, yang juga adalah pembina CSIS, berperan dalam kemampuan CSIS memberi masukan kepada pembuatan kebijakan.
Buku itu juga memaparkan situasi konfliktual yang mesti dihadapi oleh CSIS ketika Soeharto pada sekitar 1987 mengatakan kepada kabinetnya untuk tidak lagi berhubungan dengan CSIS. Soeharto bahkan tidak mau tahu urusan apa pun dengan CSIS. Masa-masa tidak mudah itu akhirnya berhasil diatasi, tetap dengan praksis pembuatan kebijakan berabasis riset.
Situasi zaman pun kian mendukung karena lama-kelamaan lembaga think tank yang awalnya hanya satu, kini bertambah banyak. Pertumbuhan lembaga think tank itu bukan melemahkan, melainkan justru menjadi sistem pendukung yang baik bagi CSIS untuk mengonsolidasikan diri sesuai dengan visi lembaga. Ketika reformasi terjadi, CSIS bersama dengan kekuatan masyarakat sipil lainnya lebih aktif dalam memberikan masukan kepada pembuat kebijakan.
Kini, seiring dengan suasana demokratis yang terbangun di Indonesia, lembaga think tank seperti CSIS terbukti memiliki arti penting yang signifikan bagi upaya memajukan bangsa dan negara. Namun, tantangan 50 tahun ke depan tidaklah mudah. Generasi baru CSIS akan menjadi pandu menuju ke sana....