50 Tahun Pertama CSIS, dari Dianggap Antek hingga Mengawal Demokrasi
Sebagai lembaga pemikir, 50 tahun pertama telah dilalui. Kini saatnya mengestafetkan obor pencapaian CSIS. Di masa akan datang akan diberitahukan kepada generasi mendatang untuk memperhatikan rakyat kecil.
Oleh
RINI KUSTIASIH/IQBAL BASYARI
·5 menit baca
Lembaga think tank atau wadah pemikir Centre for Strategic and International Studies (CSIS) merayakan usia ke-50, Rabu (1/9/2021). Selama 50 tahun pertama, pemikiran dari CSIS banyak berkontribusi terhadap perkembangan pembangunan Indonesia.
Pada 50 tahun kedua, CSIS ingin tetap berperan sebagai lembaga pemikir untuk kemajuan Indonesia. Ada banyak hal baru yang ingin dikerjakan CSIS untuk menjawab tantangan bangsa serta regenerasi untuk keberlanjutan CSIS ke depan.
Berikut petikan wawancara Kompas dengan dua pendiri CSIS, Harry Tjan Silalahi dan Jusuf Wanandi, yang dilakukan secara virtual, Selasa (31/8/2021).
Bagaimana CSIS melihat Indonesia masa depan?
Harry Tjan Silalahi: Setelah berumur 50 tahun, kami, terutama Jusuf dan saya sebagai pemula dari CSIS, merasa berterima kasih dan bersyukur kepada Tuhan. Dalam pengertian, selama kita hidup di dunia dan memiliki semangat, tidak akan puas 100 persen. Sebab, begitu satu pekerjaan selesai, yang kedua, ketiga, akan muncul.
Yang penting adalah bagaimana menciptakan kader-kader, mengestafetkan obor pencapaian CSIS khususnya dan masyarakat pada umumnya. Memang ada yang kurang, yang di masa akan datang akan kita beri tahu kepada generasi mendatang, misalnya adalah memperhatikan rakyat kecil.
Tidak hanya membuat konsep, tetapi berbuat sesuatu karena, seperti Ki Hajar Dewantara pernah menekankan, semua ini (Pancasila) sudah dikerjakan, hanya sila kelima yang belum. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kalau para pendiri masih diberi kekuatan, 51 tahun yang akan datang menjadi starting point. Kita pasti tidak mencapai apa-apa, tetapi meninggalkan bibit-bibit untuk diteruskan dan bisa melebar ke masyarakat dan diteruskan juga oleh Kompas yang memperhatikan hati nurani rakyat.
Jusuf Wanandi: Memang kita sudah mencapai sesuatu, mungkin ada kekurangan. Namun, tanpa kita sadari, kita telah sumbangkan pemikiran. Think tank dalam negara berkembang berbeda fungsi dengan di negara maju.
Di negara maju terbatas, pemikiran disumbangkan biar orang lain yang pakai, semua lapisan masyarakat dan pemerintah dan parlemen. Kita malah melihat negara berkembang seperti Indonesia, apalagi pada 1971 saat CSIS berdiri, belum ada apa-apa. Dalam arti, masyarakat belum berpartisipasi sepenuhnya seperti sekarang, LSM dan pemikiran-pemikiran di segala bidang ada. Fungsi kita tidak hanya memikirkan, tetapi menggalakkan masyarakat, tidak hanya pemerintah.
Kita juga melaksanakan berbagai bidang yang belum banyak digarap dengan serius, misalnya lingkungan, bencana alam, dan kesehatan. Masalah lingkungan adalah masalah 50 tahun yang akan datang dan menyangkut persoalan hidup mati. Kemudian bencana alam karena kita hidup di negara cincin api, sedangkan soal kesehatan adanya Covid-19.
Bagaimana pandangan CSIS mengenai masalah bangsa kekinian, seperti soal ketimpangan sosial, poltik identitas, dan demokratisasi?
Harry Tjan Silalahi: Yang kita hadapi masih sama, nation and character building. Ini yang secara intensif kita pelajari, tetapi kadang-kadang nation building belum digarap, apalagi character building, bagaimana korupsi tidak pernah diperhatikan secara mendalam. Oleh karena itu, kita harus menangani nation building; dan nation ini bisa teguh kalau memiliki karakter. Jadi, harus ada penanaman karakter melalui kebersatuan.
Jusuf Wanandi: Demokrasi bisa menjadi anarkistis kalau dilepas semua. Kegotongroyongan menjadi penting karena ada persatuan itu. Kebetulan dalam rangkaian HUT Ke-50, CSIS mengundang semua ketua umum parpol dan semua parpol sadar pentingnya bergotong royong dan persatuan. Partai Keadilan Sejahtera pun mengatakan tidak bisa sendiri, harus bersama-sama agar bisa mencapai tujuan. Artinya, ada kesadaran yang mulai tumbuh dalam parpol supaya ini mulai diperhatikan secara serius.
Kedua, selalu kita mempunyai cita-cita membangun ekonomi nasional yang baik dan semua dapat bagian. Meskipun teorinya ekonomi akan menetes ke bawah, ini tidak akan terjadi kalau tidak diperhatikan dengan serius. Karena semua tidak segampang itu.
Maka, kita harus koreksi karena yang kecil memang tidak akan mampu kalau tidak dibantu. Kita melihat contoh China. Mereka dalam 10 tahun terkahir mampu menghilangkan 100 juta orang miskin, itu suatu pencapaian yang hebat sekali.
CSIS dikenal dekat dengan Orde Baru. Bagaimana dinamika hubungan CSIS dengan Presiden Soeharto saat itu?
Jusuf Wanandi: Kita itu punya hubungan yang baik sekali karena kita yang memenangkan Soeharto sebagai presiden, selama enam bulan kita di jalan hanya untuk menjadikannya sebagai presiden. Malah sempat CSIS mau dimasukkan sebagai think tank-nya presiden. Kita bilang terima kasih, tetapi CSIS lebih berguna kalau berada di luar. Sebab, kalau di dalam, hanya akan menjadi anak buah presiden dan semua yang CSIS lakukan atas perintah presiden.
Hubungan dengan Soeharto mulai dari 1966 ketika masih menjadi Ketua Presidium sebagai pelaksana pemerintahan Bung Karno. Karena itu, kita punya hubungan yang baik, setiap dua minggu memberikan masukan lewat ajudan.
Kemudian, pada 1986 atau setahun sebelum Pemilu 1988, kami berpendapat Soeharto sudah berkuasa 20 tahun, sudah banyak pencapaian dalam stabilitas ekonomi dan kemakmuran. Namun, masyarakat sudah majemuk, tidak seperti dahulu yang ideologinya sama, antikomunis dan nasionalis. Akan tetapi, lambat laun muncul generasi baru mulai menguasai 20 tahun Soeharto berkuasa.
Akhirnya kami bilang, kami membuat memo, isinya tentang keberhasilan pemerintahan Soeharto. Demikian, ada generasi baru dengan banyak pemikiran sehingga perlu mempersiapkan generasi baru itu. Sebab, siapa lagi yang bisa? Yang bisa hanya Soeharto. Untuk mempersiapkan calon-calon pemimpin, termasuk presiden.
Mendapat memo itu, dia marah. Maka, Soeharto tidak mau berhubungan dengan CSIS lagi dan, setelah 20 tahun, pada kabinet 1987, Soeharto bilang kepada kabinet bahwa jangan berhubungan dengan CSIS lagi. Kita ingatkan, tetapi dia marah. Sejak itu, kita tidak lagi dianggap antek. Kita sudah dibuang.