Dua Tahun Jokowi-Amin, Situasi Kebebasan Sipil Dinilai Memburuk
Kontras mencatat, sepanjang periode September 2019-September 2021 telah terjadi setidaknya 360 peristiwa pelanggaran kebebasan berekspresi.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Ma’ruf Amin, kondisi demokrasi dinilai semakin memburuk. Ini dinilai dengan abainya negara terhadap perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang menjadi mandat konstitusi.
Hal itu terungkap di dalam jumpa pers daring tentang ”Catatan 2 Tahun Pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Demokrasi Perlahan Mati di Tangan Jokowi” yang diselenggarakan Kontras, Selasa (19/10/2021).
Penilaian tersebut merupakan rangkuman penilaian dari situasi kebebasan sipil yang memburuk, serangan terhadap pembela HAM yang makin masif, serta abainya negara terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Selain itu, penilaian tersebut juga didasarkan pada pendekatan represif di Papua yang minim koreksi, minimnya komitmen terhadap instrumen HAM Internasional, serta nihilnya partisipasi dalam pembuatan regulasi.
Kontras mencatat, sepanjang periode September 2019-September 2021 telah terjadi setidaknya 360 peristiwa pelanggaran kebebasan berekspresi. Aktor pelaku dari peristiwa tersebut didominasi aparat kepolisian dengan bentuk pembubaran paksa yang sering kali diikuti dengan penangkapan sewenang-wenang.
Wakil Koordinator II Kontras Rivanlee Anandar mengatakan, selama periode tersebut, sebanyak 5.389 orang ditangkap saat menyampaikan aksi. Selain itu, pembatasan kebebasan sipil juga ditandai dengan maraknya serangan digital terhadap masyarakat yang aktif mengkritik dalam media digital, khususnya isu korupsi, dengan bentuk serangan paling banyak berupa peretasan.
Hingga 2021, serangan digital angkanya cenderung meningkat, yaitu 42 kasus dengan pola yang paling sering terjadi adalah doxing dan peretasan.
Hal ini diperparah dengan keberadaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta pembentukan virtual police yang justru mengatur dan menindak ekspresi warga negara. Virtual police dinilai memantau aktivitas media sosial masyarakat secara bebas tanpa adanya ukuran-ukuran tertentu dan dapat mengirim pesan tertentu secara langsung kepada yang masyarakat.
”Kalau dilihat dari isu-isu yang ramai menjadi sasaran kritik publik dan direspons dengan UU ITE, ini menunjukkan bahwa memang negara membiarkan pembungkaman terhadap individu,” ujar Rivanlee.
Masih terkait kebebasan berpendapat atau berekspresi, lanjut Rivanlee, terdapat pola ancaman baru berupa somasi oleh pejabat yang ditujukan kepada aktivis atau pembela HAM. Sepanjang tahun kedua pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, Kontras mencatat terjadinya 66 kasus kekerasan terhadap pembela HAM di sektor lingkungan yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hal itu dinilai semakin memperlihatkan wajah pemerintah yang otoriter, antikritik, dan tidak demokratis. Langkah semacam itu justru menjadi preseden buruk bagi kondisi demokrasi di Indonesia.
Catatan lainnya, menurut Ahmad Sajali dari Divisi Pemantauan Impunitas Kontras, adalah mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang tak kunjung diselesaikan. Alih-alih segera mengambil langkah penuntasan, yang terjadi justru melibatkan para terduga pelanggar HAM berat untuk menduduki jabatan di pemerintahan. Bahkan, belum lama ini terduga pelaku pelanggaran HAM berat di Timor Timur, yakni Eurico Guteres, justru diberi Bintang Jasa Utama oleh Presiden.
Di sektor keamanan, Rozy Brilian dari Divisi Riset dan Dokumentasi mengatakan, masih belum direvisinya UU tentang Peradilan Militer menjadi jalan untuk melegitimasi impunitas dan tidak memberikan efek jera. Sementara keterlibatan militer di ranah sipil justru semakin meluas, bahkan dibiarkan oleh Presiden.
Khusus terhadap konflik dan rangkaian kekerasan yang terus terjadi di Papua, menurut Rozy, hal itu disebabkan Presiden terus menggunakan paradigma sekuritisasi dan tidak pernah mengevaluasinya. Beberapa pola yang terus dijalankan adalah pendekatan kekerasan, pendekatan berbasis stigma, serta pelabelan kelompok kriminal bersenjata sebagai organisasi teroris.
”Ini menjadi legitimasi dikerahkannya militer dalam jumlah besar ke Papua. Hal itu tentu berlebihan karena seharusnya yang dilihat adalah jalan dialogis yang bisa lebih humanis,” kata Rozy.
Menurut Fatia, catatan Kontras tersebut telah memperlihatkan maraknya tindakan represif dan tidak adanya prioritas dari pemerintah terhadap HAM di tengah kemerosotan demokrasi. Presiden Jokowi dianggap sebagai aktor utama di balik berbagai fenomena tersebut.
Sementara itu, Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan surat telegram yang isinya meminta anggota Polri yang melakukan kekerasan berlebihan terhadap masyarakat untuk dihukum.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono ketika dikonfirmasi membenarkan adanya surat telegram tersebut. Telegram tersebut ditujukan kepada para kepala kepolisian daerah dan ditandatangani Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo.
Berdasarkan contoh kasus kekerasan yang terjadi di Medan Tangerang baru-baru ini, Kapolri memerintahkan agar kasus serupa tidak terulang kembali. Kapolri juga memerintahkan agar dilakukan penegakan hukum secara tegas dan keras terhadap anggota Polri yang melakukan pelanggaran dalam kasus kekerasan yang berlebihan terhadap masyarakat.
”Memberikan punishment/sanksi tegas terhadap anggota yang terbukti melakukan pelanggaran disiplin/kode etik maupun pidana, khususnya yang berkaitan dengan tindakan kekerasan berlebihan, serta terhadap atasan langsung yang tidak melakukan pengawasan dan pengendalian sesuai tanggung jawabnya,” demikian salah satu bunyi surat telegram tersebut.