Kekerasan Anggota Polisi terhadap Mahasiswa Berpotensi Melanggar HAM
Butuh pembenahan menyeluruh agar kekerasan oknum polisi, seperti terhadap mahasiswa di Kabupaten Tangerang, Banten, tak terulang. Kekerasan seperti itu berpotensi melanggar HAM.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardana Dany/Nobertus Arya Dwiangga Martiar/Edna C Pattisina
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap warga sipil terus berulang. Jika tidak ada sanksi tegas serta perbaikan secara menyeluruh, kekerasan terhadap warga sipil dikhawatirkan akan terus terjadi, bahkan meningkat.
Dalam pengamanan unjuk rasa sekelompok mahasiswa di depan Kantor Bupati Tangerang, Banten, pada Rabu (13/10/2021), seorang mahasiswa, MFA (21), dibanting oleh aparat kepolisian. Saat itu, yang juga bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Ke-389 Kabupaten Tangerang, para mahasiswa berunjuk rasa menuntut pemerintah daerah untuk serius menangani masalah lingkungan hidup, mengembalikan tugas pokok dan fungsi dari sukarelawan Covid-19, dan membenahi infrastruktur.
Pada mulanya polisi meminta perwakilan mahasiswa untuk bertemu dengan pejabat Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Tangerang. Namun, mahasiswa meminta Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar hadir secara langsung di lokasi. Akibat tak ada kesepakatan, antara anggota kepolisian dan mahasiswa pun terjadi saling dorong.
Video rekaman menunjukkan, saat sejumlah anggota polisi terlibat saling dorong dengan kelompok mahasiswa, salah satu anggota polisi, Brigadir NP, mendekap tubuh MFA dari arah belakang dan menyeretnya beberapa langkah menjauh dari kerumunan. Dengan gerakan cukup cepat, NP kemudian membanting tubuh MFA hingga punggung mahasiswa tersebut membentur permukaan jalan.
Brigadir NP sejak Rabu malam hingga hari ini (Kamis) masih menjalani rangkaian pemeriksaan oleh Bidang Propam Polda Banten. (Rudy Heriyanto)
Kepala Polda Banten Inspektur Jenderal Rudy Heriyanto, Kamis (14/10/2021), mengatakan Brigadir NP sejak Rabu malam hingga hari ini (Kamis) masih menjalani rangkaian pemeriksaan oleh Bidang Propam Polda Banten. Rudy berjanji NP akan ditindak tegas sesuai dengan aturan internal Polri. Sebab, dalam mengamankan unjuk rasa, NP diduga melakukan tindakan tidak sesuai prosedur standar operasi.
Sementara Bidang Propam Polda Banten masih belum meminta keterangan MFA. Setelah mengalami kekerasan, MFA mengalami kejang-kejang dan ia dibawa oleh kepolisian ke RS Ibu dan Anak Harapan Mulia, Tigaraksa, Tangerang. Rencananya, MFA akan dimintai keterangan setelah kondisinya pulih.
Kepala Polresta Tangerang Komisaris Besar Wahyu Sri Bintoro menyatakan, kepolisian bertanggung jawab penuh terhadap kondisi kesehatan MFA. Menurut dia, pihaknya juga telah berkomunikasi dengan orangtua MFA untuk bersama-sama mengambil hasil pemeriksaan MFA. ”Kami tanggung jawab penuh dengan kondisinya,” ujarnya.
Wahyu mengatakan, unjuk rasa mahasiswa yang berakhir ricuh itu tidak mengantongi surat pemberitahuan dari Satuan Intel Polresta Tangerang, salah satunya karena masih dalam PPKM level 3. Oleh karena itu, polisi pun menangkap 18 peserta aksi. Mereka dibebaskan Rabu malam seusai dimintai keterangan dan menjalani tes usap antigen dengan hasil negatif Covid-19.
Secara terpisah, komisioner Komisi Hak Asasi Manusia, Choirul Anam, menyatakan, kekerasan yang dilakukan anggota kepolisian terhadap mahasiswa berpotensi melanggar HAM. ”Oleh karena itu, (kekerasan) ini harus diupayakan agar tak berulang kembali oleh apa pun dan kepada siapa pun di Indonesia,” ucapnya.
Komnas HAM berharap agar Propam Polda Banten ataupun Mabes Polri yang memeriksa Brigadir NP dapat bekerja secara profesional agar peristiwa serupa tak terulang kembali. Selain itu, lanjut Choirul, perlu ada efek jera bagi aparat yang melakukan kekerasan.
”Respons cepat yang dilakukan oleh kepolisian baik oleh polda dan mabes, dan kapolres, kami apresiasi. Namun, kami (juga) tunggu akuntabilitas dan transparansinya bagaiman pemeriksaan tersebut,” ucapnya.
Kekerasan yang dilakukan aparat terhadap warga sipil bukan kali ini saja. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat, selama 2020 saja terdapat 65 kasus penangkapan sewenang-wenang oleh aparat kepolisian dengan korban 3.539 orang, dan 51 orang di antaranya meninggal. Mereka yang ditangkap rata-rata terkait dengan pelaksanaan demonstrasi. Jumlah tersebut dihimpun dari 17 kantor LBH di 17 provinsi.
Bahkan, menurut Ketua Umum YLBHI Asfinawati, kekerasan terhadap aksi massa terus terjadi dan cenderung meningkat sejak 2019. Selama 2019 terjadi 78 peristiwa pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat di muka umum. Pelakunya 69 persen adalah polisi, dan korbannya 43 persen mahasiswa.
Meski demikian, lanjut Asfina, berbagai peristiwa tersebut cenderung tidak diakui sebagai kesalahan dan sebaliknya disebutkan bahwa aksi kekerasan dilakukan peserta aksi. ”Karena tidak diakui, maka tidak ada perbaikan, seperti evaluasi terhadap pendidikan polisi dan evaluasi terhadap perintah dari atasan. Juga tidak ada evaluasi mengenai penanganan terhadap demonstrasi, termasuk evaluasi terhadap pelaksanaan berbagai peraturan Kapolri dalam menangani demonstrasi,” tuturnya.
Menurut Asfinawati, tindak kekerasan oleh aparat dalam menangani demonstrasi tak cukup diselesaikan lewat permintaan maaf.
Menurut Asfinawati, tindak kekerasan oleh aparat dalam menangani demonstrasi tak cukup diselesaikan lewat permintaan maaf. Aparat yang terlibat seharusnya dihukum lebih berat karena dia merupakan pihak yang memiliki otoritas.
Dengan adanya pemberian sanksi yang berat, sekaligus menjadi contoh bagi yang lain. Namun, karena peristiwa kekerasan tersebut tidak pernah diproses dan dihukum berat, peristiwa serupa terus berulang dan terjadi hampir merata di seluruh Indonesia. YLBHI sampai saat ini tidak memiliki catatan mengenai adanya pelaku kekerasan yang diproses hukum dan diberi sanksi.