Regenerasi Kelompok Teroris Jamaah Islamiyah Diprediksi Terus Berlanjut
Selain membentuk lembaga pendanaan untuk membiayai operasional organisasi, Jamaah Islamiyah juga masih bertahan karena mampu meregenerasi anggota. Diperkirakan, saat ini kelompok itu beranggotakan 6.000-7.000 orang.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri mewaspadai regenerasi kelompok teroris Jamaah Islamiyah. Meski beberapa waktu terakhir penangkapan telah dilakukan secara masif, pertumbuhannya diprediksi belum akan berhenti. Puluhan lembaga pendidikan yang terafiliasi dengan kelompok tersebut masih aktif beroperasi.
Direktur Identifikasi dan Sosialisasi Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri Komisaris Besar MD Shodiq menjelaskan, selama 19 tahun terakhir atau sejak peristiwa Bom Bali I tahun 2002 hingga saat ini, pihaknya telah menangkap 2.914 teroris dari semua jaringan. Dari total jumlah tersebut, 876 orang di antaranya merupakan anggota Jamaah Islamiyah (JI). ”Dari rangkaian penangkapan yang kami lakukan, paling banyak adalah kelompok JI, yaitu 876 orang. Puncaknya kemarin saat penangkapan Abu Rusydan (salah satu unsur pimpinan JI),” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk ”Al Jamaah Al Islamiyah Dahulu, Kini, dan di Masa Mendatang”, Selasa (12/10/2021).
Diskusi yang diselenggarakan Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI) ini sekaligus mengenang Bom Bali I, 12 Oktober 2002. Selama dua dekade terakhir, pengeboman itu merupakan peristiwa dengan dampak terbesar, yakni mengakibatkan 203 orang tewas dan 209 orang terluka. Peristiwa tersebut didalangi oleh kelompok JI.
Sejak saat itu, penegakan hukum terhadap anggota JI terus-menerus dilakukan. Bahkan, pada 2008 JI telah dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Akan tetapi, tindakan tersebut tidak serta-merta mematikan JI. Ditangkapnya amir atau pemimpin JI, Para Wijayanto, pada 2019 terungkap sejumlah strategi bertahan kelompok tersebut.
Shodiq menambahkan, selain membentuk lembaga pendanaan untuk membiayai operasional organisasi, JI masih bertahan karena mampu meregenerasi anggota. Diperkirakan, saat ini kelompok itu beranggotakan 6.000-7.000 orang. Regenerasi yang dimaksud berlangsung di dalam lembaga pendidikan. Sebanyak 67 lembaga pendidikan yang berafiliasi dengan JI masih beroperasi di seluruh Indonesia.
Di samping memberikan pembelajaran dasar, lembaga-lembaga itu juga mengadakan pelatihan militer untuk para siswa. Ada pula mekanisme seleksi untuk siswa terbaik. Mereka yang lolos seleksi akan diberangkatkan ke beberapa negara, di antaranya Suriah dan Afghanistan, untuk melaksanakan jihad global.
Sebanyak 67 lembaga pendidikan yang berafiliasi dengan JI masih beroperasi di seluruh Indonesia.
Ia mengakui, hingga saat ini pihaknya belum bisa menghentikan aktivitas 67 lembaga pendidikan tersebut. ”Mereka meregenerasi terus-menerus sehingga ini perlu intervensi,” kata Shodiq.
Keberadaan lembaga pendidikan untuk perekrutan kader JI juga terungkap dalam dokumen Putusan No: 308/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Tim atas terdakwa Para Wijayanto. Putusan itu menyebutkan tujuh lembaga pendidikan. Enam di antaranya berada di Jawa Tengah, sedangkan satu lembaga ada di Jawa Timur.
Meski regenerasinya terus berjalan, Shodiq memastikan pasca-rangkaian penangkapan yang dilakukan beberapa bulan terakhir, peta kekuatan JI secara umum sudah melemah. Ini merupakan buah dari revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang memperkuat pencegahan aksi terorisme. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang, penegakan hukum sudah bisa dilakukan terhadap pihak terkait sejak dari tahap perencanaan.
Edukasi masyarakat
Visiting Fellow Sir Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura, Noor Huda Ismail, menambahkan, upaya untuk menekan perkembangan JI tidak cukup dengan penangkapan anggota. Itu juga perlu diperkuat dengan edukasi masyarakat. Sebab, selama puluhan tahun JI tidak sekadar tumbuh sebagai kelompok teroris, tetapi juga kelompok sosial. ”Orang-orang cenderung tertarik masuk JI bukan karena teror, melainkan rasa memiliki,” katanya.
Selain itu, saat ini JI juga semakin mendekatkan diri ke masyarakat. Jika sebelumnya hadir melalui lembaga pendidikan, saat ini mereka menyamarkan kegiatan lewat tempat-tempat penitipan anak. Dengan begitu, aktivitasnya semakin samar dan tidak terduga.
Pengajar Program Studi Kajian Terorisme SKSG UI, Amanah Nurish, membenarkan, alih-alih menjadi kumpulan yang eksklusif, JI justru bersikap inklusif di tengah masyarakat. Sebab, selain jihad, agenda utama kelompok ini adalah dakwah. Untuk itu, mereka harus membangun relasi dengan orang-orang di luar JI dalam rangka perekrutan.
Sudirman, pegiat Yayasan Penyintas Indonesia, mengatakan, edukasi yang dilakukan untuk mencegah perkembangan terorisme salah satunya dapat diberikan melalui perspektif korban. Ia mencontohkan, dirinya adalah salah satu penyintas dari peristiwa bom Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia pada 2004. Akibat pengeboman itu, ia kehilangan mata kiri, mengalami kecacatan pada kedua tangan dan kepala, serta hidup bergantung pada obat hingga saat ini.
Sudirman menambahkan, pihaknya selama ini aktif memberikan pemahaman dari perspektif korban ini kepada pelaku terorisme. Harapannya, pendekatan yang dilakukan dengan hati ini dapat menyentuh rasa kemanusiaan.
Sudirman menambahkan, pihaknya selama ini aktif memberikan pemahaman dari perspektif korban ini kepada pelaku terorisme. Harapannya, pendekatan yang dilakukan dengan hati ini dapat menyentuh rasa kemanusiaan untuk menyadari bahwa dampak terorisme sangat merusak. ”Harapan kami ke depan, kita sama-sama perang terhadap terorisme. Jangan sampai ada korban dari terorisme lagi,” katanya.