Jamaah Islamiyah cukup lihai menyesuaikan diri. Secara terselubung, kelompok ini menghimpun dana dari masyarakat untuk kepentingan mereka dan memperbesar anggotanya.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penangkapan anggota kelompok teroris Jamaah Islamiyah selama tiga tahun terakhir mengungkap bahwa organisasi ini tengah membangun basis massa dengan struktur birokrasi yang sistematis. Hal ini perlu diantisipasi karena bisa menjadi bekal untuk melakukan serangan dalam waktu dekat atau terus memperkuat organisasi untuk mempersiapkan serangan besar dalam jangka panjang.
Berdasarkan catatan Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri, penangkapan teroris yang terafiliasi dengan kelompok Jamaah Islamiyah (JI) meningkat dalam tiga tahun terakhir. Pada 2019, Densus menangkap 25 tersangka, bertambah pada 2020 menjadi 64 tersangka, dan sepanjang Januari-Agustus 2021 terdapat 123 tersangka yang ditangkap.
Penangkapan pada 2021 salah satunya dilakukan sepekan terakhir, yakni pada 12-20 Agustus 2021. Dalam kurun waktu tersebut, Densus menangkap 55 anggota JI yang berasal dari sejumlah provinsi. Daerah yang dimaksud, yakni Jawa Tengah, Sumatera Utara, Jambi, Banten, Kalimantan Barat, Lampung, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Maluku, dan Sulawesi Tengah.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, sejumlah tersangka memiliki peran beragam. Mulai dari pengurus lembaga penggalangan dana, pimpinan wilayah, pengajar pembuatan dan penggunaan senjata serta bahan peledak, hingga mantan anggota yang pernah mengikuti pelatihan di luar negeri. Selain itu, ada pula yang berperan sebagai pemalsu dokumen identitas anggota JI, penampung buron, dan peminjam akun rekening bank untuk pengiriman dana terorisme.
Dari para tersangka, Densus menyita sejumlah kotak amal yang digunakan sebagai sarana penggalangan dana dari masyarakat umum dan senjata api rakitan sebagai bukti. Barang bukti lain yang diamankan di antaranya pistol, peluru, dan buku-buku.
Dari keterangan para tersangka, kata Argo, diketahui bahwa saat ini terdapat 1.600 anggota JI yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Sebagian dari mereka merencanakan serangan dengan memanfaatkan momentum hari kemerdekaan RI, tetapi berhasil digagalkan. ”Sesuai dengan keterangan tersangka yang kami tangkap, memang kelompok JI ingin menggunakan momentum 17 Agustus 2021,” kata Argo, Minggu (22/8/2021).
Dari keterangan para tersangka, kata Argo, diketahui bahwa saat ini terdapat 1.600 anggota JI yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Meski tidak menjelaskan detail hal-hal yang mengindikasikan terjadinya serangan, Argo mengatakan bahwa hal itu didasarkan pada bukti dan data yang dimiliki Densus. Sejumlah tersangka yang ditangkap pun terkait dengan tersangka dan peristiwa-peristiwa sebelumnya.
Kepala Bagian Bantuan Operasi Densus 88 Antiteror Polri Komisaris Besar Aswin Siregar mengingatkan, selain soal serangan, penangkapan yang meningkat dari tahun ke tahun juga memperlihatkan bahwa JI merupakan organisasi gerakan yang mampu beradaptasi dan mengembangkan gerakan tanpa disadari masyarakat. ”JI sangat lihai menyesuaikan dengan kondisi yang ada, mungkin ikut berpolitik, menyusup ke masyarakat, menggunakan cara-cara yang terlihat damai,” katanya.
Salah satunya tampak dari metode penggalangan dana yang dilakukan. Dari penangkapan pekan lalu terungkap, mereka mengumpulkan dana melalui Syam Organizer, lembaga yang mengklaim sebagai penyalur dana kemanusiaan, baik ke dalam maupun luar negeri. Mereka juga menempatkan sejumlah kotak amal di toko-toko yang banyak dikunjungi masyarakat. Alih-alih digunakan untuk kegiatan kemanusiaan, bantuan yang terkumpul, antara lain, digunakan untuk membiayai pemberangkatan kombatan ke Suriah dan pembelian senjata.
Membangun basis massa
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS) Alif Satria mengatakan, terungkapnya jumlah anggota dan strategi pendanaan JI memperlihatkan keberhasilan Densus mengantisipasi ancaman jangka panjang dari keberadaan kelompok tersebut. Sebab, sejak dinyatakan terlarang pada 2008, kelompok teror ini fokus untuk membangun basis massa. Hal itu sejalan dengan konsep dasar membangun ”jamaah” untuk mempersiapkan gerakan besar dalam jangka panjang.
”(Penangkapan terus-menerus) Ini juga menandakan bahwa proyek mereka membangun kader sejak 2008 itu berhasil,” kata Alif.
JI tidak hanya kelompok teroris yang menggunakan kekerasan, tetapi juga (tumbuh) sebagai kelompok sosial. Oleh karena itu, mereka membangun organisasi yang dekat dengan masyarakat. (Alif Satria)
Selama beberapa tahun, polisi juga mengungkap bahwa JI telah mengirim banyak ulama ke desa-desa di luar Jawa. Mereka membangun lembaga pendidikan yang memungkinkan adanya pertemuan secara rutin. Mengacu putusan sidang mantan pimpinan JI Para Wijayanto pada 2020, diketahui pula organisasi ini memiliki birokrasi yang sistematis. Terdapat struktur yang menghubungkan antarsel untuk saling memberitahukan capaian di setiap daerah, kemudian diteruskan ke pimpinan sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan.
Selain itu, kelompok ini juga bersifat adaptif di tengah masyarakat. ”JI tidak hanya kelompok teroris yang menggunakan kekerasan, tetapi juga (tumbuh) sebagai kelompok sosial. Oleh karena itu, mereka membangun organisasi yang dekat dengan masyarakat,” kata Alif.
Dengan modal yang telah dibangun lebih dari satu dekade itu, kata Alif, ada dua kemungkinan pola gerakan yang akan diambil ke depan. Pertama, melakukan serangan untuk membalas tekanan terus-menerus yang dilakukan Densus oleh faksi di dalam JI yang enggan bersabar dengan konsep gerakan jangka panjang. Hal itu terindikasi dari adanya perampokan sejumlah toko di Banten pada 2019, pengiriman senjata oleh anggota JI di Bangka Belitung kepada kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) melalui anggota JI di Jakarta pada Juli 2021, dan rencana serangan 17 Agustus lalu.
”Kemungkinan kedua, JI kembali lagi ke fase persiapan sama seperti yang dilakukan pada 2008. Alih-alih segera menyerang, mereka justru mengumpulkan kembali kekuatan, melihat jangka panjang,” kata Alif. Sebab, hal itu sesuai dengan pedoman pendirian JI pada 1993, yakni membangun ”jamaah” untuk mempersiapkan serangan 25 tahun berikutnya. Selain itu, kemenangan Taliban di Afghanistan akan menjadi inspirasi pembangunan kapasitas dan gerakan yang tidak terburu-buru.
Menurut Alif, untuk mengantisipasi itu semua, Densus serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) perlu lebih jeli memantau setiap pergerakan dan pendanaan kelompok JI. Selain itu, diperlukan pula pelibatan seluruh elemen masyarakat untuk memperkuat kontranarasi dan membangun ketahanan masyarakat. Ketahanan yang dimaksud terkait dengan rasa kebersamaan sebagai warga bangsa. ”Salah satu temuan yang menyebabkan orang bergabung dengan kelompok teroris adalah ketika mereka merasa bukan bagian dari masyarakat sehingga mencari jaringan yang bisa menerima mereka. Untuk itu, masyarakat harus menumbuhkan kembali makna untuk hidup dan rasa kebersamaan,” ujarnya.