Penegakan Hukum Tak Cukup untuk Atasi Potensi ”Fraud” di Perbankan
Laporan ACFE menyebut terjadi 2.504 kasus fraud di 125 negara dengan kerugian 8.300 dollar AS per bulan. Sebanyak 29 kasus di antaranya terjadi di Indonesia.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Potensi terjadinya penyelewengan atau fraud di perbankan masih cukup besar. Untuk itu, strategi anti-fraud melalui upaya pencegahan perlu diperkuat dibandingkan dengan mengandalkan proses penegakan hukum yang memerlukan waktu, tenaga, dan biaya yang lebih besar.
Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi, dalam webinar series I bertajuk ”Strategi Pencegahan dan Deteksi Fraud di Perbankan melalui Integrasi Fraud Early Warning System”, Selasa (12/10/2021), mengatakan, perbankan memainkan peranan strategis dalam perekonomian dan pembangunan karena fungsinya untuk menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali untuk berbagai tujuan. Hal itu menunjukkan bahwa dasar dari bisnis perbankan adalah kepercayaan masyarakat.
”Namun, tidak jarang banyak nasabah kehilangan kepercayaan terhadap bank karena uang yang disimpan sudah hilang dan digelapkan oleh oknum perbankan, atau justru bank dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk melakukan kejahatan atau menampung hasil kejahatannya,” kata Untung melalui keterangan tertulis.
Berdasarkan laporan Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), terjadi 2.504 kasus fraud di 125 negara dengan kerugian 8.300 dollar AS per bulan dengan 29 kasus terjadi di Indonesia. Kasus tersebut terjadi baik di bank milik negara maupun bank swasta.
Menurut Untung, kasus kejahatan di perbankan tidak akan terjadi jika pengawasan dilakukan otoritas secara ketat. Dengan demikian, ketika terjadi kejanggalan sudah langsung ditindak tegas sehingga tidak berbuntut panjang hingga menimbulkan hilangnya dana nasabah.
Terkait dengan potensi terjadinya fraud di perbankan, lanjut Untung, kejaksaan dapat berperan dalam hal penegakan hukum ketika terjadi tindak pidana korupsi ataupun dalam gugatan keperdataan yang terkait dengan badan usaha milik negara. Namun, hal itu akan lebih optimal ketika dilakukan kolaborasi dan sinergi, khususnya aparat penegak hukum dengan bank BUMN.
Untuk itulah, dilakukan penandatanganan nota kesepahaman Sinergi Pencegahan Fraud pada Bank Milik Negara dan Perjanjian Kerja Sama tentang Sinergi Pencegahan Fraud pada Bank Milik Negara antara Kejaksaan RI dan Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Dengan demikian, kolaborasi dan penyamaan persepsi dapat dilakukan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan, strategi pengendalian anti-fraud sudah tercantum di dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No 39/POJK.03/2019 tentang Penerapan Strategi Anti-Fraud bagi Bank Umum. Di dalam peraturan tersebut terdapat empat pilar, yakni pencegahan; deteksi; deteksi, pelaporan, dan sanksi; serta pemantauan, evaluasi, dan tindak lanjut.
Menurut Leonard, strategi pencegahan dan deteksi dini perlu diperkuat. Sebab, ketika fraud terjadi, proses penanganan membutuhkan tenaga, biaya, dan waktu yang lebih banyak.
”Penanganannya pun memerlukan tenaga dan biaya yang lebih banyak. Penegak hukum pun tidak bisa bergerak sendiri-sendiri. Tetapi, harus bersinergi,” ujar Leonard.
Dalam kesempatan itu, Direktur Kepatuhan dan Sumber Daya Manusia PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Agus Dwi Handaya mengatakan, terjadinya fraud di perbankan dipicu lalu lintas keuangan karena digitalisasi dan perkembangan bisnis ke sektor lain. Hal itu menyebabkan tidak ada lagi sekat antarsektor.
Kejaksaan dapat berperan dalam hal penegakan hukum ketika terjadi tindak pidana korupsi ataupun dalam gugatan keperdataan yang terkait dengan badan usaha milik negara. Namun, hal itu akan lebih optimal ketika dilakukan kolaborasi dan sinergi, khususnya aparat penegak hukum dengan bank BUMN.
Hal senada disampaikan Direktur Kepatuhan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Achmad Solichin Lutfiyanto. Menurut Achmad, pandemi Covid-19 mengubah perilaku nasabah dalam berhubungan dengan bank. Akibatnya, jumlah nasabah konvensional yang beralih ke digital akan menimbulkan perubahan perilaku nasabah.
”Melihat hal tersebut, kami berharap aparat penegak hukum dapat memahami perubahan perilaku dan di mana fraud bergeser ke digital dan menimbulkan masalah baru karena semakin masif,” ujar Achmad.
Direktur Compliance and Legal PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Eko Waluyo mengatakan, kasus fraud di perbankan paling banyak terjadi dalam bentuk korupsi yang terungkap dari audit. Sementara pihak yang paling banyak berkontribusi terhadap terjadinya fraud adalah karyawan.
”Fraud terjadi di seluruh lapisan pekerja, berarti tidak terbatas pada level tertentu sehingga strategi yang dilakukan tidak boleh fokus hanya pada satu layer tertentu, maka pengamanannya harus berlapis-lapis,” ujar Eko.
Presiden ACFE Indonesia Chapter Gatot Trihargo berpandangan, penggunaan teknologi perlu terus didorong agar dipergunakan dalam mencegah terjadinya penyelewengan atau penipuan. Demikian pula dalam melakukan pengawasan hendaknya menggunakan data yang kredibel. Selain itu, para pemangku kepentingan juga perlu dengan sengaja mencari celah kecurangan yang mungkin terjadi untuk mencegah terjadinya fraud.