Komisi Kejaksaan: Cegah Penyelewengan, Jaksa Awasi Juga Jaksa
Komisi Kejaksaan meminta kejaksaan terapkan mekanisme jaksa awasi jaksa ataupun ”whistleblowing system” dalam pengawasan. Selain kinerja, perilaku oknum kejaksaan juga harus terus diawasi karena kini banyak pengaduan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Kejaksaan meminta kejaksaan menerapkan mekanisme jaksa awasi jaksa ataupun whistle blowing system dalam sistem pengawasan melekat. Kejaksaan pun diingatkan bahwa selain menyoroti kinerja, laporan pengaduan masyarakat juga semakin banyak menyoroti perilaku jajaran kejaksaan.
Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak, ketika dihubungi, Jumat (8/10/2021), di Jakarta, mengatakan, mekanisme pengawasan melekat dua tingkat di atasnya harus untuk mencegah penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang. Sebenarnya, melalui mekanisme pengawasan melekat, yang diharapkan adalah keberanian jaksa untuk menegur rekan kerja.
”Berani menegur rekan jaksa atau jaksa awasi jaksa ini membutuhkan integritas yang ekstra. Dan Bidang Pengawasan Kejaksaan harus membangun pengawasan yang seperti itu, termasuk kita harapkan membangun mekanisme whistleblowing,” kata Barita.
Menurut Barita, belajar dari kasus yang melibatkan oknum jaksa, sudah saatnya mekanisme pengawasan disusun dengan pendekatan kuantitatif. Dengan demikian, hal itu akan membuat lebih terukur, lebih transparan, obyektif, serta menghindari terjadinya disparitas sanksi.
Berani menegur rekan jaksa atau jaksa awasi jaksa ini membutuhkan integritas yang ekstra. Dan Bidang Pengawasan Kejaksaan harus membangun pengawasan yang seperti itu, termasuk kita harapkan membangun mekanisme whistleblowing.
Terkait dengan laporan pengaduan masyarakat kepada Komisi Kejaksaan, lanjut Barita, respons kejaksaan semakin baik. Hingga pertengahan Oktober ini, dari rekomendasi yang diberikan atas laporan pengaduan ke Komisi Kejaksaan, 89,6 persen laporan pengaduan telah ditindaklanjuti oleh kejaksaan. Jumlah itu meningkat dari tahun 2020, yakni hanya 36 persen yang ditindaklanjuti.
Dari jenis aduan, lanjut Barita, selain laporan pengaduan tentang kinerja, Komisi Kejaksaan juga semakin banyak menerima laporan pengaduan terkait perilaku jajaran kejaksaan. Jika penilaian kinerja dapat dilakukan dengan pendekatan kuantitas, untuk perilaku tersebut, kejaksaan harus menerapkan kode etik dan norma standar yang berlaku. Di sisi lain, kejaksaan mesti memanfaatkan teknologi informasi dalam rangka pengawasan.
”Sistem pengawasan melekat itu harus detail sehingga lubang yang bocor bisa
ditutup. Kasus yang lalu menjadi jalan masuk untuk perbaikan. Misal, setiap pagi atasan mengecek keberadaan bawahannya dengan memanfaatkan teknologi, seperti fitur share location. Pengawasan bukan untuk menciptakan ketakutan, melainkan agar berjalan dengan benar,” kata Barita.
Kegagalan membina anak buah
Sebelumnya, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengeluarkan Surat Jaksa Agung R-95/A/SUJA/09/2021 yang memerintahkan kepada seluruh Kepala Kejaksaan Tinggi untuk meneguhkan kembali komitmen integritas jajaran kejaksaan. Salah satu poin penting dalam surat tersebut adalah melakukan pengawasan melekat kepada seluruh jajaran kejaksaan.
Burhanuddin mengingatkan, apabila ditemukan pelanggaran oleh seorang pegawai kejaksaan, ia akan mengevaluasi atasan yang bersangkutan hingga dua tingkat ke atas. Evaluasi tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban atasan tersebut atas kegagalannya membina anak buahnya.
Secara terpisah, anggota Komisi Kejaksaan, Bhatara Ibnu Reza, memandang positif penegasan Jaksa Agung untuk melaksanakan mekanisme pengawasan melekat hingga dua tingkat ke atas. Namun, dari mekanisme itu perlu dibedakan antara pertanggungjawaban administratif dan pertanggungjawaban yang bersifat komando atau perintah atasan. Hal itu penting karena institusi kejaksaan dalam menjalankan organisasi bersifat semi-militer.
”Semisal, dalam suatu kasus, jaksa menuntut terdakwa sekian tahun, dan hakim memvonis kurang dari dua pertiga dari tuntutan. Meski seharusnya jaksa banding, tetapi karena ada perintah dari atas tidak banding, maka dia tidak banding. Seperti kasus jaksa Pinangki itu campur aduk. Atasannya tampak tenang-tenang saja,” kata Bhatara.
Menurut Bhatara, mekanisme pengawasan melekat sudah lama diterapkan di kejaksaan. Namun, kasus yang melibatkan jaksa, seperti Pinangki, masih saja terjadi. Maka, yang mendasar diperlukan adalah niat dan komitmen tersebut harus dibuktikan.
Apabila ditemukan pelanggaran oleh seorang pegawai kejaksaan, ia akan mengevaluasi atasan yang bersangkutan hingga dua tingkat ke atas. Evaluasi tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban atasan tersebut atas kegagalannya membina anak buahnya.
Di sisi lain, kejaksaan harus terbuka terhadap pengawasan atau laporan langsung dari masyarakat. Keterbukaan itu dibuktikan dengan menindaklanjuti setiap laporan yang masuk. Dengan demikian, Bhatara berharap kejaksaan akan semakin baik dan ia yakin masih banyak jaksa yang idealis dan mau bekerja keras.
Pastikan juga dilakukan pengawasan melekat oleh pimpinan terhadap anggotanya agar pelaksanaan tupoksi dapat berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, prosedur operasi standar, ataupun kebijakan pimpinan.
Sementara itu, Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi, dalam keterangan tertulis mengatakan, dirinya meminta bidang pengawasan merespons setiap laporan dan pengaduan masyarakat dengan cepat. Selain itu, bidang pengawasan juga diminta melakukan monitoring dan evaluasi terhadap hal tersebut untuk memperbaiki kelemahan yang ada.
”Pastikan juga dilakukan pengawasan melekat oleh pimpinan terhadap anggotanya agar pelaksanaan tupoksi dapat berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, prosedur operasi standar, maupun kebijakan pimpinan,” kata Setia.