Setidaknya ada tiga celah korupsi dalam pengadaan jasa konstruksi yang dipetakan oleh KPK, yakni di tahap perencanaan, proses pengadaan, serta pelaksanaan.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Suap dalam pengadaan barang dan jasa menjadi modus korupsi terbanyak yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi. Pelaku kerap memanfaatkan celah, mulai dari tahapan perencanaan, proses pengadaan, hingga pelaksanaan. Padahal, jika korupsi itu terjadi dalam pengadaan jasa konstruksi, dapat mengancam keselamatan publik.
Berdasarkan data penanganan tindak pidana korupsi oleh KPK pada 2004 hingga Juni 2021, modus korupsi paling tinggi adalah penyuapan dengan 761 kasus. Kemudian, sepanjang 2020 sampai Maret 2021, KPK telah menangani 36 kasus korupsi yang berkaitan dengan infrastruktur.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, dalam diskusi virtual bertajuk ”Cegah Korupsi di Pengadaan Jasa Konstruksi”, Rabu (6/10/2021), mengatakan, modus yang biasa dilakukan dalam proses pengadaan barang dan jasa di bidang konstruksi, seperti penyuapan, pemberian gratifikasi, nilai harga perkiraan sendiri (HPS) terlalu tinggi atau penggelembungan dari harga wajar.
Fakta-fakta tersebut, menurut Alexander, sangat mengkhawatirkan. Apalagi, Presiden Joko Widodo tengah merencanakan percepatan pembangunan dengan fokus utama, yaitu pembangunan di bidang infrastruktur. Ini dapat terlihat dari besaran anggaran yang terus meningkat dari tahun ke tahun, mulai dari tahun 2019 (Rp 119 triliun), 2020 (Rp 120 triliun), hingga 2021 (Rp 150 triliun).
”Oleh karena itu, dengan adanya korupsi dan kolusi pada pengadaan infrastruktur dan jasa, pasti percepatan pembangunan yang diharapkan menjadi tidak optimal, dan tentu saja akan berdampak pada kualitas pekerjaan yang diadakan,” ujar Alexander.
Adapun Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono hadir memberikan sambutan. Dalam diskusi juga hadir, antara lain, Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan, Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian PUPR Yudha Mediawan, Dirjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Hari Nur Cahya Murni, serta Ketua Umum Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) Iskandar Z Hartawai.
Alexander melanjutkan, Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) telah mendorong Kementerian PUPR dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) untuk terus-menerus memperbaiki sistem pengadaan yang mengedepankan prinsip pencegahan korupsi.
Optimalisasi digitalisasi pengadaan barang dan jasa, misalnya, dengan memanfaatkan katalog elektronik terhadap pekerjaan-pekerjaan konstruksi yang standar atau yang dapat distandarkan. Kemudian, pengembangan platform berisi informasi HPS agar dapat menjadi acuan dan pedoman penyusunan HPS yang wajar kompetitif serta profesional.
Selain itu, Alexander berharap agar independensi aparatur pengawas internal pemerintah (APIP) ditingkatkan. Sebab, ia melihat, masih banyak pengawas internal di daerah-daerah yang berada di bawah kendali kepala daerahnya. Akibatnya, hasil pengawasan cenderung tidak independen.
”Independensi inspektorat ini penting agar dalam menjalankan kegiatan pencatatan pengawasan utamanya menyangkut tindak lanjut dari laporan masyarakat juga lebih bisa dipercaya hasil pengawasannya, tidak dipengaruhi oleh pejabat-pejabat di daerah, terutama kepala daerah,” ucap Alexander.
Mengancam keselamatan
Pahala Nainggolan menambahkan, setidaknya ada tiga celah korupsi dalam pengadaan jasa konstruksi, yakni di tahap perencanaan, proses pengadaan, serta pelaksanaan. Dalam tahap perencanaan, misalnya, itu biasanya seputar komitmen kepastian anggaran, komitmen fee proyek, dan pengaturan pemenang tender.
Lalu, dalam proses pengadaan, seperti meminjam nama perusahaan lain untuk ikut tender atau sering disebut pinjam bendera, mark up HPS, serta manipulasi syarat lelang. Terakhir, di tahap pelaksanaan, celah korupsi itu terjadi, misalnya manipulasi penyusunan laporan pekerjaan dan pekerjaan fiktif.
Celah korupsi di tiga tahapan tersebut, menurut Pahala, dimanfaatkan sehingga menyusutkan nilai dari yang sudah dianggarkan. Jika nilai kontrak 100 persen, misalnya, setelah dikorupsi, nilai riil pekerjaan hanya sekitar 50 persen. Ini tentu berpengaruh pada kuantitas dan kualitas dari proyek karena kontraktor pasti akan menyiasati pembangunan dengan nilai riil yang ada.
”Jadi, sekarang kita menikmati hasil dari konstruksi, mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan, yang mengurangi nilai proyek. Oleh karena itu, kalau kita baca di media dan kasus-kasus, di mana ada jembatan roboh dan atap roboh. Keselamatan warga pun terancam. Dan, kita sadari, ini akibat dari sistem panjang yang harus kita segera cegah semaksimal mungkin,” tutur Pahala.
Hari Nur Cahya Murni sependapat dengan Pahala, korupsi dalam pengadaan jasa konstruksi ini memiliki dampak negatif yang panjang.
Korupsi diawali dengan penggelapan atas anggaran pembangunan infrastruktur, anggaran pembangunan infrastruktur berkurang, infrastruktur yang dibangun berkualitas rendah, kemudian mengganggu akses masyarakat ke pusat perekonomian dan pusat pertumbuhan.
”Akhirnya, dampak korupsi di bidang konstruksi ini bahkan sampai mengganggu pertumbuhan ekonomi suatu wilayah,” ujar Nur.
Permainan
Iskandar Z Hartawai pun tidak memungkiri bahwa dalam pengadaan jasa konstruksi kerap kali ada permainan antara oknum pengusaha dan kepala daerah di kabupaten, kota, dan provinsi. ”Jadi, seluruh anggota kami mengatakan, memang ada kewajiban (membayar komitmen fee),” ucapnya.
Ia juga mengakui, pembayaran komitmen yang terlalu tinggi tentu juga akan berpengaruh pada pengerjaan proyek tersebut. Untuk itu, jika korupsi dalam pengadaan jasa konstruksi ini ingin dicegah, menurut dia, pemerintah perlu meninjau kembali aturan-aturan yang ada, serta menutup celah-celah korupsi yang telah diidentifikasi oleh KPK.
Basuki Hadimuljono menyampaikan, upaya pencegahan korupsi dalam pengadaan jasa konstruksi, salah satunya, dilakukan melalui pembentukan Balai Pelaksana Pemilihan Jasa Konstruksi di 34 provinsi. Ini bertujuan untuk memperkuat penerapan SNI ISO 37001:2016 atau sistem manajemen anti-penyuapan sehingga mencegah tekanan internal ataupun eksternal pada pelaksanaan tugas tender atau seleksi.
Selain itu, penguatan sumber daya manusia secara kualitas dan kuantitas yang nanti berperan dalam proses pemilihan jasa konstruksi. Penguatan SDM ini diiringi dengan kebijakan remunerasi khusus bagi pemegang jabatan pengelola barang dan jasa.
”Ini semua merupakan rekomendasi dari KPK,” kata Basuki.
Kemudian, Kementerian PUPR juga telah memperbaiki mekanisme penyusunan HPS yang menjadi salah satu celah tindak korupsi. Kementerian PUPR juga menyusun basis data terintegrasi mengenai harga satuan pekerjaan melalui sistem informasi HPS integrasi yang mutakhir.
Namun, sayangnya, meski beberapa upaya telah dilakukan, korupsi pengadaan barang dan jasa tetap terjadi. ”Tindak pidana korupsi yang saat ini masih sering kita dengar terjadi karena tadi niat dan adanya peluang atau kesempatan,” ujarnya.